Share

Bab 5 Pengakuan yang Tertahan

Author: Alexa Ayang
last update Last Updated: 2025-09-24 10:36:19

Aroma kari ayam campur sayur asem mengepul di kantin dokter dan karyawan di belakang rumah sakit, tapi Lidia tidak berselera. Nasi di piringnya sudah dari tadi diaduk-aduk tanpa tujuan, sementara di seberangnya Riris, Wulan, dan Franda menikmati makan siang mereka dengan tenang. Hanya Lidia yang otaknya rasanya sedang berputar 1000 putaran per menit, gelisah seperti cacing kepanasan. Jantungnya berdegup tak karuan setiap kali bayangan Bima, dokter senior itu, terlintas di benaknya. Ini sudah beberapa hari sejak kejadian malam itu, tapi Lidia masih tak menemukan ketenangan.

"Ris," panggil Lidia pelan, menarik perhatian sahabatnya itu. "Menurutmu… apa sebaiknya aku putus aja sama Kevin, ya?"

Riris yang lagi sibuk menyeruput kuah sup ayamnya sampai keselek saking kagetnya. "Uhuk! Ha? Kok gitu tiba-tiba?" Dia menatap Lidia dengan dahi mengernyit, sendoknya melayang di udara. "Yakin kau mau putus? Kevin tuh sayang banget lho sama kamu. Waktu kamu ngilang dari apartemenmu itu, semalaman dia nyariin kamu. Panik bukan main sampai nyaris bikin laporan orang hilang tahu!"

Lidia pura-pura mengembuskan napas panjang. Sebenarnya dia tahu Riris ada benarnya, Kevin memang mencintainya. Tapi ada yang lebih besar dan mengerikan sedang menimpa dirinya. "Habis dia gitu banget sih sama pasien. Aku kan jadi ill feel," ujarnya, memainkan sendok dengan ujung jarinya. Ill feel karena Kevin menyentuh pasiennya, katanya? Bukan, sebenarnya dia sedang bermain drama saja, berusaha mati-matian menutupi perasaan berdosa yang mengiris-iris jiwanya. Perasaan menyesal karena sudah melakukan hal bodoh dan menjijikkan di malam Kevin kelabakan mencarinya. Lidia sungguh tidak berharap Bima menidurinya malam itu. Sama sekali tidak.

Wulan, yang sejak tadi menyimak, meletakkan gelas es jeruknya. Raut mukanya terlihat tenang tapi serius. "Iya Lid, pikir lagi. Lagian kalau aku lihat, masih batas aman kok hubungan dokter-pasien antara Kevin dan Mbak Dian itu. Kevin juga kan cuma sekadar respons ramah." Ia menghela napas. "Masalah Dian-nya yang ke-geeran atau menaruh hati, ya kan bukan salah Kevin. Dia cuma berusaha memberikan kenyamanan." Wulan mengangguk pada dirinya sendiri, seolah memperkuat argumennya. "Cuma untuk menolak Dian, Kevin kan nggak bisa kasar juga, Lid. Kita ini terikat etika profesi yang jelas. Kita harus menjaga kepercayaan dan kenyamanan pasien itu. Itu bagian dari tanggung jawab kita."

"Iya, aku ngerti etika, Wulan!" Lidia memutar bola mata, berusaha menyembunyikan kekesalannya pada dirinya sendiri. "Tapi kan nggak usah dielus-elus juga lengan Dian-nya! Cukup jaga jarak secara profesional. Kalau udah begini kan jadi repot semua. Aku kan yang malu kalau ada yang lihat mereka!" Lidia menaikkan intonasi suaranya, mencoba seolah-olah dia adalah pihak yang tersakiti di sini.

Franda, yang selalu punya jawaban untuk setiap hal, mengangkat tangannya seperti mau menjawab soal ujian. "Lho, sentuhan itu bagian dari terapi, Lidia. Ada lho jurnalnya. Untuk memberikan rasa aman, menenangkan kecemasan, bahkan untuk memvalidasi perasaan pasien. Apalagi kalau konteksnya dokter yang mengurus luka pasca operasi atau pasien trauma," jelas Franda dengan mata berbinar-binar seperti dosen. "Banyak penelitian yang menunjukkan sentuhan non-erotis bisa meningkatkan respons pasien terhadap pengobatan dan membangun trust."

"Aku ngerti, aku tahu, Franda, ada jurnalnya," Lidia memotong dengan cepat, nada suaranya terdengar kesal. Entah kenapa rasanya Lidia justru jengkel pada penjelasan masuk akal teman-temannya ini. Seharusnya mereka memihaknya! "Tapi…." Ia tidak menyelesaikan pembicaraannya, merasa percuma saja membantah argumen para kutu buku ini. Toh Kevin salah satu pembimbing dan teman terbaik mereka.

Riris mendengus pelan, menatap Lidia lekat-lekat dengan mata menyipit. "Udah deh, Lid. Sebenarnya ini masalahnya bukan di Kevin." Ia memajukan sedikit tubuhnya, membuat suaranya lebih rendah, serius, dan menusuk. "Masalahnya itu di lu."

"Di gue?" Lidia berlagak bego. Bola matanya bergerak-gerak liar, berharap ada keajaiban yang bisa membuatnya lolos dari interogasi ini. Ia sudah menyiapkan berbagai alasan dan pengalihan isu untuk situasi semacam ini, namun ia juga tidak yakin apakah itu akan berhasil menghadapi tatapan menyelidik Riris. Wulan dan Franda pun kini mengalihkan pandangan penuh perhatian padanya.

Riris menyandarkan punggungnya, senyum tipis, nyaris tak terlihat, tersungging di bibirnya. Sebuah senyuman tahu-semuanya. "Ya he-eh, karena lu udah tidur sama pria asing itu dalam kondisi mabuk. Ya kan?" Nadanya terdengar tanpa emosi, datar, tapi berhasil menusuk tepat di ulu hati Lidia.

Seketika Lidia diam membisu. Seluruh isi kantin mendadak terasa senyap, meskipun suara dentingan sendok dan tawa ringan dari meja lain masih terdengar. Lidia tak berani menatap wajah ketiga sahabatnya. Rasa bersalah menghantamnya bertubi-tubi, lebih hebat dari mabuk apa pun yang pernah ia alami. Ia menunduk, matanya fokus pada remahan kerupuk di pinggir piringnya yang kini tampak lebih menarik daripada apa pun di dunia ini. Pikirannya melayang kembali ke kamar hotel yang asing, bau alkohol, dan sentuhan tak dikenal. Dadanya sesak. Ia sungguh berharap bisa memutar waktu kembali.

"Lagian lu juga kebiasaan sih," kini giliran Franda yang menyahut, nada suaranya tak se-keras Riris, tapi jelas tersirat kekecewaan. "Kalau ada masalah itu selesaikan, bukan lari ke minuman. Tiap stres sedikit, kabur ke bar. Mau sampai kapan kayak gini, Lid? Kalau seperti ini bagaimana? Kevin pasti kepikiran banget kalau dia tahu. Kan jadi bikin khawatir semua."

Lidia hanya bisa menunduk semakin dalam, tak mampu membela diri. Lidahnya kelu.

"Tapi lu beneran nggak tahu siapa laki-laki itu?" Wulan bertanya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, seperti memberi kesempatan pada Lidia untuk jujur.

Lidia mendongak sejenak, menatap ketiga sahabatnya bergantian, mata mereka penuh pertanyaan. Ada harapan di mata Lidia untuk mengatakan kebenaran. Untuk membongkar beban berat di hatinya. Namun, takut akan penilaian dan konsekuensi jauh lebih besar dari keberanian.

"Nggak," jawab Lidia cepat, suaranya kecil dan nyaris tak terdengar, namun sangat tegas dan meyakinkan. Sebuah kebohongan lagi, yang justru semakin memperberat dadanya. Ia kembali menunduk, jantungnya berdebar kencang, takut teman-temannya akan menyadari nada bohongnya.

Ketiga sahabatnya saling bertukar pandang. Beberapa detik terasa seperti keabadian. Mereka tampaknya tahu ada yang disembunyikan Lidia, namun memilih untuk tidak mendesak lebih jauh. Lidia tahu persis kenapa mereka tidak berkoar-koar mencercanya, melainkan memilih diam dan menganggap serius pernyataan Lidia barusan. Akhirnya, mereka hanya mengangkat bahu, pasrah dengan jawaban Lidia, meskipun Lidia yakin di dalam hati mereka masing-masing menyimpan kecurigaan yang sama. Keheningan itu justru terasa jauh lebih menusuk dan mengikat Lidia dalam jaringan kebohongannya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 25 Insiden IGD

    Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 24 Ancaman Bima

    Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 23 Titik Lemah

    Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 22 Sebuah Konspirasi

    Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 21 Strategi Kevin

    Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 20 Kasih Seorang Ayah

    Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status