Share

Bab 6 Tugas Neraka

Auteur: Alexa Ayang
last update Dernière mise à jour: 2025-09-24 12:08:56

Dentingan sendok dan garpu masih ramai terdengar di kantin rumah sakit, menciptakan melodi aneh dari obrolan dan makan siang yang nyantai. Lidia baru saja menyelesaikan porsi baksonya, bergabung dengan bestie-bestie tercintanya, Franda dan Wulan, saat sosok berseragam perawat mendekat. Hayati, perawat asisten Dokter Bima yang dikenal sigap tapi sering juga gugup, terengah-engah menghampiri meja mereka.

"Dokter Lidia… maaf, Dokter Bima ingin Anda menghadap beliau sekarang," kata Hayati, suaranya sedikit terburu-buru, seperti baru saja lari maraton.

Jantung Lidia seperti berhenti berdetak sesaat, lalu mendadak melompat tak beraturan. Ada apalagi ini? Keluh Lidia dalam hati, merasakan secercah firasat buruk yang mulai mencengkeram. Kejadian semalam dan drama pagi tadi seperti bayangan gelap yang terus mengikuti ke mana pun dia pergi.

Franda langsung nyengir lebar, senyum jahil tergambar jelas di wajahnya. "Duh, gaswat ini. Siapkan diazepam satu strip... takutnya setelah ketemu Dokter Bima yang ganteng tapi super killer itu, kau kena mental, Lid!" godanya sambil tertawa geli, tapi ada sedikit nada khawatir yang samar di matanya.

Wulan menggelengkan kepala dramatis. "Wah, kayaknya rumit beneran hidup lu ya, Lid. Mimpi apa lu semalam sampai dipanggil si 'wajah malaikat maut'?" timpal Wulan, suaranya sengaja dipelankan agar tak terdengar terlalu mencolok, tapi matanya memancarkan rasa ingin tahu yang kuat.

Muka Lidia menegang. Jelas si wajah malaikat maut itu tak membiarkan urusannya selesai sampai di sini. Rasanya semua adrenalinnya terkuras habis hanya karena panggilan mendadak itu. Dengan langkah berat yang dibuat-buat, Lidia berdiri dan pamit kepada teman-temannya yang masih menatapnya dengan rasa iba bercampur penasaran.

Koridor rumah sakit yang biasanya terasa hidup dengan lalu lalang staf dan pasien kini terasa senyap bagi Lidia. Tiap langkahnya seperti menyeret beban seribu ton. Di depan pintu ruang kerja Dokter Bima, dia berhenti sejenak, mengumpulkan semua keberanian yang tersisa. Oke, Lidia, tarik napas, buang. Kamu bukan anak SMA lagi yang takut sama guru BK. Batinnya berusaha menyemangati diri sendiri, meski ia masih sedikit gemetar.

Lidia mengetuk pintu pelan.

"Masuk," suara berat dan dalam Dokter Bima terdengar dari dalam, berhasil membuat bulu kuduk Lidia merinding seketika.

Perlahan Lidia mendorong daun pintu dan masuk. Ruang kerja Dokter Bima adalah perwujudan sejati dari seorang perfectionist. Semuanya bersih, rapi, dan tersusun sempurna. Tidak ada satu pun kertas yang terlihat berantakan di mejanya yang luas. Penataannya minimalistis tapi terasa sangat elegan dan fungsional. Bahkan pulpen-pulpen diletakkan sejajar sempurna dalam kotak pensil kristal bening. Lidia tertegun sejenak. Orang ini... serius banget hidupnya, sampai pulpen saja harus rapi begitu.

Dokter Bima masih duduk di kursinya, membelakangi pintu, sibuk meneliti berkas-berkas tebal yang sepertinya akan digunakannya untuk menyusun HBL—Hospital By Law—semacam peraturan internal rumah sakit yang Lidia dengar akan segera direvisi besar-besaran. Dia bahkan belum berbalik sedikit pun saat Lidia sudah berdiri kaku di ambang pintu, menanti intruksi.

"Duduklah," perintah Dokter Bima dingin, tanpa membalikkan badan, membuat Lidia buru-buru mencari kursi di hadapannya dan segera mendudukkan diri. Kakinya terasa pegal, tapi hatinya jauh lebih pegal. "Bagaimana keadaan hari ini?" tanyanya, suaranya datar, tanpa emosi, membuat Lidia makin tak nyaman.

"Ehm… saya baik, Dokter," jawab Lidia, suaranya terdengar lebih kecil dari yang ia harapkan, nyaris berbisik.

Dokter Bima akhirnya memutar kursinya, menatap Lidia dengan sorot mata tajam yang menusuk, membuat Lidia langsung menunduk gugup. "Tidak sedang mabuk, kan?" Dokter Bima memastikan, ekspresinya masih tanpa senyum sedikit pun, serius.

Lidia mendongak, sedikit tersinggung dengan pertanyaan yang begitu mendalam. "Saya tidak minum saat bekerja, Dokter. Itu komitmen saya."

Mendengar itu, ada kerutan kecil di dahi Dokter Bima yang Lidia tidak yakin artinya apa. Mungkin terkejut? Atau justru tidak percaya? "Itu komitmen yang bagus. Kamu boleh saja punya kehidupan yang jadi milikmu di luar pekerjaan. Tapi saat di kantor, aturan adalah aturan." Dokter Bima menekan setiap katanya, kemudian meletakkan beberapa berkas rekam medik yang menggunung di hadapan Lidia. Jantung Lidia berdenyut cepat melihat tumpukan kertas itu. Ini… ini gila. Jumlahnya sangat banyak.

"Aku ingin kau merapikan ini sekarang, bersama Perawat Hayati," kata Dokter Bima, suaranya tegas tanpa kompromi. "Setelah itu, laporkan kepadaku, semalam apapun kamu selesai."

Lidia terkejut, matanya membelalak melihat tumpukan kertas di hadapannya. "Sebanyak itu?" pertanyaan itu terlontar dari bibirnya tanpa sadar, hampir seperti sebuah ratapan.

Dokter Bima menyeringai tipis, sebuah ekspresi yang sangat langka di wajahnya yang kaku. Itu bukan senyuman ramah, lebih mirip senyum tipis orang yang melihat lawan mainnya kesulitan. "Kalau ingin selesai, jangan cuma dipandangi. Mulailah bekerja." Ucapannya terdengar seperti perintah keras yang tak bisa dibantah.

"Baik, Dokter," Lidia pasrah. Tidak ada pilihan lain selain mematuhi. Dia tidak ingin menambah masalah.

Malam itu terasa sangat panjang. Bersama Perawat Hayati yang juga terlihat lelah namun patuh, Lidia benar-benar kerja keras. Dari mulai memilah, mencocokkan, menyusun kronologis rekam medik, hingga menyusun laporannya, semua butuh ketelitian ekstra dan waktu yang tidak sedikit. Mereka tenggelam dalam lautan kertas hingga nyaris lupa waktu. Saat akhirnya jarum jam menunjuk pukul tujuh malam, semua berkas itu baru berhasil dirapikan dan laporan pun tersusun rapi dalam flash disk. Lidia menghela napas panjang, lelah campur lega yang luar biasa.

"Perawat Hayati, kira-kira saya bisa melaporkan ini ke Dokter Bima di mana ya?" tanya Lidia, mengusap peluh di dahinya yang sedikit lengket. "Dokter Bima masih di rumah sakit?"

Hayati menggeleng, matanya sendu karena kelelahan. "Biasanya Dokter Bima sudah pulang jam segini kalau tidak ada operasi dadakan, Dok. Tadi beliau bilang kalau sudah selesai langsung laporkan."

Oh, astaga. Lidia menghela napas lagi. Perintah tadi siang itu tiba-tiba terngiang jelas di kepalanya: "...semalam apapun kamu selesai." Tidak salah lagi. Dia tahu ke mana dia harus pergi sekarang. Rasanya berat sekali, tapi ia tidak punya pilihan. Menunda artinya mencari masalah lebih lanjut dengan dr. Bima yang punya standar sempurna itu.

Dengan enggan, Lidia mengendarai mobilnya keluar dari area parkir rumah sakit yang sepi. Hanya lampu-lampu penerangan jalan yang setia menemani perjalanan menuju kompleks perumahan elite tempat dr. Bima tinggal. Saat akhirnya sampai di depan gerbang rumah megah yang tampak seperti istana mini dengan arsitektur modern itu, napas Lidia menjadi berat. Ada rasa gugup yang mencengkeram dadanya. Rumah dr. Bima terlihat jauh lebih mengintimidasi daripada orangnya langsung.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 25 Insiden IGD

    Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 24 Ancaman Bima

    Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 23 Titik Lemah

    Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 22 Sebuah Konspirasi

    Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 21 Strategi Kevin

    Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP

  • Malam Terlarang Bersama Dokter Pembimbingku   Bab 20 Kasih Seorang Ayah

    Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status