Bima menghela napas dalam-dalam, menahan beban yang tiba-tiba memberatinya. Ia memandang punggung Lidia yang perlahan menjauh, menuju lift. Gadis itu menghilang di balik pintu baja, meninggalkan Bima sendiri dalam kesunyian koridor. Ia memejamkan mata sesaat, benaknya dipenuhi penyesalan. "Astaga, mengapa aku harus mabuk malam itu? Maafkan aku, Lidia," gumamnya dalam hati, menyesali peristiwa yang kini tak dapat ditarik kembali. Ia menata kembali tumpukan berkas dan buku medis di mejanya dengan gerakan robotis, pikirannya masih jauh mengembara.
Saat Bima melangkah pergi, menyusuri koridor rumah sakit dan berbelok menuju ruang jaga, ia masih samar-samar mendengar suara Kevin yang terdengar mencoba membujuk Lidia dari balik sebuah pintu. Kevin tampak sungguh-sungguh meminta Lidia untuk memberinya kesempatan lagi, memperbaiki segala kesalahpahaman yang terjadi di antara mereka. Suara Bima sendiri menghela napas, hatinya diliputi kegalauan yang mendalam. Ia berketetapan kuat untuk melupakan seluruh peristiwa di malam yang menyesatkan itu, sebuah resolusi yang ironisnya semakin memperjelas betapa gadis itu benar-benar telah menyentuh titik paling rawan di dalam hatinya, sebuah tempat yang selama ini ia kira terbuat dari batu.
Tiba-tiba, suara ramah Dr. Alvin memecah lamunannya. "Dr. Bima, kita ada operasi pengangkatan tumor hari ini, bukan? Apakah Anda baik-baik saja? Sepertinya Anda terlihat cukup lelah," ujarnya sambil menatap Bima dengan sorot mata yang penuh perhatian.
Bima menarik napas, berusaha menampilkan ekspresi setenang mungkin. "Aku baik-baik saja, Vin. Terima kasih atas perhatianmu. Siapkan saja segalanya; kemungkinan besar akan membutuhkan waktu sekitar empat jam maraton di meja operasi."
Dokter Alvin tersenyum tipis, memahami determinasi rekannya, lalu menepuk pundak Bima dengan gestur persahabatan. Ia sempat melirik ke arah Lidia yang baru saja keluar dari sebuah ruangan, dan secara kebetulan pandangan mereka bertemu sesaat. Sekilas, terbersit rasa bersalah dalam diri Bima ketika teringat interaksinya dengan Lidia. Namun, keangkuhan yang melekat pada profesinya, atau mungkin juga pada dirinya, memaksanya untuk segera menyembunyikan sisi lemahnya itu. Ekspresi wajahnya kembali tegak, tanpa cela.
Di sisi lain rumah sakit, Dr. Surya baru saja menyelesaikan praktik sorenya. Saat ia melintasi lorong, pandangannya tanpa sengaja menangkap sosok Dr. Bima yang baru saja selesai berdialog dengan Dr. Alvin. Sontak, rona ceria yang semula menghiasi wajah Dr. Surya menguap begitu saja, berganti menjadi ekspresi dingin yang tegas. Perubahan mendadak ini tidak luput dari pengamatan Perawat Esti dan Perawat Rido yang kebetulan berada di dekatnya.
"Aku sungguh bertanya-tanya, apa ia sesempurna itu ya sebagai manusia, tanpa celah sedikit pun dan tanpa titik lemah, sehingga bisa seenaknya menunjuk jari pada kesalahan setiap orang?" gumam Surya dalam hati, nada sindiran menyertai pemikirannya.
Perawat Esti memandang Surya dengan tatapan yang sedikit berbeda dari biasanya, sarat dengan simpati sekaligus pemahaman. "Dokter masih sakit hati ya dengan Dokter Bima? Memang beliau sangat disiplin dalam menegakkan etika dan peraturan rumah sakit. Itu sebabnya rumah sakit ini berhasil selamat dari kebangkrutan, setelah melalui masa-masa sulit, tapi ya... tak bisa dipungkiri bahwa banyak orang juga yang kemudian tersingkir karenanya."
Surya mendengus pelan, raut kekesalan tak mampu disembunyikannya. "Aku hanya tidak menyukai caranya ikut campur dalam urusan pribadi orang lain, Esti. Lagipula, aku dan Debbi juga tidak berkencan pada jam kerja, bukan?" Ia berujar, mencoba membela diri atas hukuman skorsing yang pernah diterimanya.
Perawat Esti hanya mampu terdiam, mengangguk kecil sebagai respons atas keberatan Surya yang tampak jelas tertulis di wajahnya. Sementara itu, Rido hanya bisa menghela napas panjang. Bagi Rido, keputusan skorsing yang dijatuhkan pada dr. Surya, meskipun pahit, sejatinya merupakan konsekuensi logis dari tindakan yang melanggar etika profesional. Ia menyadari bahwa kebijakan yang diberlakukan dr. Bima, walau tegas, adalah esensial untuk menjaga kredibilitas dan stabilitas institusi medis tersebut.
Surya, yang tidak peduli dengan reaksi Rido, melanjutkan ocehannya dengan nada sinis. "Yah... seolah-olah dia itu tidak pernah jatuh cinta saja. Atau jangan-jangan hatinya memang terbuat dari es yang dingin membatu?" Ia bergumam penuh kejengkelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada rekan-rekannya.
Tepat pada saat itu, Dr. Rukmana datang menghampiri mereka. Sebuah senyum tersungging di bibirnya ketika ia menepuk bahu Surya. "Nah, itu sebabnya besok, kau harus mendukungku untuk menjadi penggantinya," ucap Dr. Rukmana dengan suara berbisik, menyiratkan adanya sebuah konspirasi kecil.
"Wah, itu sudah pasti, Rukma! Kau pasti akan menjadi pimpinan yang jauh lebih manusiawi dibandingkan Bima," balas Surya cepat, bersemangat menerima ajakan Dr. Rukmana. Mereka lantas melakukan salam tinju khas, sebuah tanda solidaritas dan kesepahaman di antara keduanya. Perawat Rido hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan, menyaksikan drama politik rumah sakit yang tak berkesudahan di hadapannya.
Tepat saat itu, ponsel Dr. Rukmana bergetar. Sebuah pesan masuk, dan saat ia membacanya, seringai licik tersungging di bibirnya. Ia melirik Surya, matanya menyala penuh kemenangan. "Bersiaplah, Surya," bisiknya, nadanya dingin dan penuh perhitungan. "Fakta-fakta baru akan terungkap, dan topeng kesempurnaan Dr. Bima sebentar lagi akan jatuh, lebih cepat dari yang kita bayangkan."
Ruang IGD yang semula lengang, mendadak riuh. Jeritan pilu membelah keheningan. Monitor pasien berbunyi nyaring, mengiris suasana yang sebelumnya tenang.“Ada apa itu?” Perawat Dedi sontak menoleh, matanya membesar melihat kekacauan di bilik itu.Seorang wanita paruh baya meraung histeris, disusul suara tangis dan makian. “Anakku! Ya Tuhan, Erlan kenapa? Erlan!”Seketika, ruangan itu dipenuhi kepanikan. Monitor pasien di bilik Erlan menunjukkan garis lurus panjang, alarmnya meraung mengerikan. Beberapa perawat langsung berlari.“Ayo, tolong mundur, Pak, Bu! Mohon kerja samanya! Keluarga pasien harap menunggu di luar, beri kami ruang untuk bekerja!” seru Perawat Rido. “Cepat siapkan alat-alat! Erlan arrest!” teriak seorang perawat lain dari dalam bilik, menggenapi kekalutan yang ada.Dari kejauhan, dua sosok berjas dokter bergegas melesat seperti anak panah yang lepas dari busurnya. Kevin dan Gerald. Wajah mereka nampak panik, tercetak jelas kekhawatiran yang mendalam. Tanpa basa-basi
Udara di kamar itu tiba-tiba terasa tebal, membebani setiap helaan napas Lidia. Matanya terpaku pada Bima yang menatapnya dengan intensitas mematikan, sorotnya bagai magnet yang menarik semua kekuatannya.Napas Bima yang teratur dan hangat di kejauhan terasa seperti bara yang merayap di kulitnya, namun di waktu yang bersamaan, hawa ancaman darinya terasa sedingin pisau belati. Internship yang ia kira akan menjadi akhir dari satu fase kehidupannya, ternyata malah menjadi awal dari ikatan gila yang tak pernah ia bayangkan. Ikatan yang kini terasa membakar sekaligus membelenggu dirinya erat-erat."Kau tidak serius, kan, Mas?" Suara Lidia terdengar seperti pecahan kaca, tipis, nyaris tenggelam dalam desah napasnya sendiri yang tak beraturan. Bima tersenyum—senyum mematikan yang selalu berhasil merobek setiap pertahanan Lidia lapis demi lapis, membuatnya luluh dan tak berdaya. Bima bukan sekadar seorang pria baginya—ia adalah dr. Leo Bima Adnyana, kepala rumah sakit besar ini, figur yang
Udara di apartemen mewah itu terasa sesak, membebani setiap tarikan napas Lidia. Jemari Bima masih menjelajahi punggungnya yang terbuka, sentuhan yang kini terasa seperti rantai, bukan belaian."Kevin telah membaui hubungan kita." Suara Lidia terdengar bergetar, lebih seperti bisikan yang nyaris tak tertangkap, "Mungkin ini waktunya kita saling mengambil jarak." Ia menghela napas dalam, aroma sampo Lidia memenuhi indra Bima.Bima mendengus pelan, senyum tipis tersungging di bibirnya. "Begitukah?" ia balik bertanya, melanjutkan ciuman ringan di antara tulang belikat Lidia. Suaranya rendah, sarat otoritas yang tak terbantahkan. "Keinginanmu, atau kau ingin melindungi kita?"Lidia menegang. Kalimat Bima menusuk tepat pada inti kegelisahannya. Ia membalikkan badan, menghadapi wajah tampan Bima yang kini menatapnya dengan intensitas yang tak bisa ia hindari. Mata Bima gelap, seperti lautan dalam yang menyembunyikan badai."Kau adalah Ketua Dewan Etik, dokter Bima." Lidia berucap, penekanan
Sementara bisikan gosip soal karma Bima masih ramai di kalangan residen dan internship—tentang kasusnya di masa lalu yang entah kenapa kini ramai dibahas lagi—di sebuah ruang kosong tak terpakai di lantai atas rumah sakit, suasana justru terasa tegang. Tiga sosok dokter senior – Dr. Rukmana, Dr. Surya, dan Dr. Raditya – duduk melingkar dengan serius. Obrolan mereka bukan soal karma yang datang sendiri, tapi bagaimana cara menciptakannya."Oke, cukup sudah main santainya," Dr. Surya memulai, nadanya rendah tapi penuh tekad. Ia meletakkan secangkir kopi yang sudah dingin di meja. "Kita harus cari celah untuk si Bima itu.""Betul," sahut Dr. Raditya, sambil mengelap kacamata. "Dia kan bukan Superman. Pasti punya sisi lemah, selain isu lama soal sejarah dan kepemilikan saham rumah sakit ini yang selama ini dia mati-matian tutupi."Dr. Surya menyeruput sisa kopi. "Begini... kudengar, ia sedang mendekati salah satu anak internship."Jantung Dr. Rukmana sontak berdebar. Pikirannya langsung m
Semua kenangan itu berputar seperti film yang diputar ulang di benak Kevin. Dari cerita Kakeknya, ayahnya, hingga desas-desus di balik pintu rumah besar mereka di Paris. “Sumpah deh, kalau Kakek sama ayahku bisa begitu gampangnya ngelepasin orang-orang yang mereka cintai cuma demi karier, harta, atau bahkan ego kosong mereka, aku enggak akan pernah kayak gitu. Aku nggak akan melepaskan Lidia untuk Bima,” gumam Kevin pelan, suaranya tercekat. Resolusinya kali ini kuat sekali, membara di dalam dada, berbeda dari gumpalan dilema yang sering menyelimutinya.Tapi, pikiran lain menyelinap masuk, lebih mengganggu dan membangkitkan kecemasan. “Tunggu… Bima? Kenapa nama ini familiar banget?” Alis Kevin berkerut, tangannya otomatis memijat pelipisnya. “Apakah Bima… ini Bima yang sama yang sering Ibu ceritakan? Atau Bima yang lain?” Pertanyaan-pertanyaan itu menggerogotinya. Otaknya bekerja keras menyambung kepingan informasi yang tersebar, seperti detektif yang menemukan petunjuk krusial di TKP
Tangan-tangan takdir kadang terlalu kejam merenggut kedamaian, bahkan untuk sekadar kebahagiaan sepasang ayah dan anak. Hari itu, angin kemarau di Jakarta terasa menyesakkan, tidak hanya di luar, tetapi juga di dalam ruang kerja dr. Asri yang steril. Sebuah atmosfer tegang menyelimuti mereka—mantan suami istri dan putri mereka—seolah udara di ruangan itu dipenuhi bubuk mesiu, siap meledak oleh percikan terkecil.Dr. Rafael Irwanto berdiri kokoh di hadapan dr. Asri, matanya memancarkan kesedihan mendalam sekaligus tekad membaja. Posturnya masih tegap, mencerminkan keturunan bangsawan yang menjunjung tinggi harga diri. Sementara itu, di dekat pintu, Riana yang berusia delapan belas tahun berdiri, meremas tas tangan di genggamannya, napasnya tertahan. Kata-kata kasar Asri masih mengiang, menusuk luka hatinya yang baru saja merasakan kegagalan pahit ujian masuk fakultas kedokteran."Aku akan membawa Rian