ANMELDENCirebon di awal pagi memang punya keistimewaan. Udara sejuk khas pesisir masih meresap sampai ke tulang, ditambah mentari yang baru setengah hati mengintip dari balik cakrawala. Namun, di depan rumah dinas Puskesmas yang tenang itu, atmosfirnya jauh dari damai. Kedatangan Dr. Leo Bima Adnyana ke Cirebon membawa aura dingin yang seolah mengiris udara, menciptakan ketegangan yang pekat.Saat Lidya Paramitha Wardhana membuka pintu, ia mendapati suaminya—sang dokter spesialis bedah jantung terkemuka sekaligus Direktur Utama Cendekia Medika—berdiri di sana dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada gurat kelelahan yang nyata di wajah tampannya, tapi juga sesuatu yang lain; sebuah campuran rasa bersalah dan tekad yang kuat.Lidya sudah bersiap untuk hal terburuk. Pikirannya melayang membayangkan caci maki yang pedas, tuntutan gugatan cerai, atau setidaknya kemarahan yang meluap-luap yang pernah ia saksikan. Lidya mematri hatinya untuk menerima semua itu, apa pun yang akan dilontarkan Bima, ia
Kemarahan Darren sudah tidak terbendung lagi. Begitu kakinya menginjak karpet lembut di ruang tengah kediaman keluarga Wisesa, ia langsung mendorong adiknya, Kevin Abimanyu Wisesa, hingga jatuh terduduk di sofa kulit mahal. Kevin tersentak kaget, nyaris saja oleng dan terpelanting kalau tidak buru-buru menahan diri."Kali ini kebodohan apalagi yang kau buat bersama teman-teman residen-mu itu?!" bentak Darren, suaranya menggelegar di ruangan yang luas dan tadinya sepi. Gema bentakannya seolah merobek ketenangan sore itu. "Kau mau menaruh dosa lebih panjang ke daftar kejahatanmu? Dasar bodoh dan tak bertanggung jawab!"Kevin terdiam, untuk pertama kalinya ia tidak membalas dengan kata-kata kasar yang biasanya langsung meluncur begitu saja dari bibirnya. Wajahnya pucat pasi, matanya menerawang kosong, seperti dihantui bayangan sesuatu. Rasa bersalah kini benar-benar memakan nuraninya, menghantamnya telak hingga tak mampu berucap sepatah kata pun. Kejadian yang menimpa Lidya bukanlah apa
Di salah satu lounge mewah paling private di Jakarta, aroma kopi mahal dan sedikit asap cerutu melayang tipis, bercampur dengan aura ketegangan yang menyesakkan. Tiga sosok pria duduk melingkar di sofa kulit hitam yang empuk, masing-masing dengan wajah yang mengukir kekhawatiran dan ambisi terpendam.Mereka adalah Dr. Rukmana, sosok karismatik dengan kemeja rapi yang kini sedikit berkerut di bagian siku karena sering bergerak gelisah, Dr. Surya Baskara Hardiwan, yang tampil lebih santai tapi sorot matanya tajam, serta Dr. Raditya, pria tenang yang sedari tadi hanya menyesap minumannya sambil sesekali melirik dua rekannya itu. Suasana saat itu, kalau digambarkan, seperti ruangan high stakes poker di mana semua pemain memegang kartu penting dan siap melakukan taruhan besar.“Jadi, Franda belum ada kabar juga?” tanya Surya, nada suaranya terdengar seperti sebuah desisan kecil, tidak sabar. Dia sedikit condong ke depan, sikunya bertumpu pada meja bundar di tengah mereka.Rukmana menghela
Alvin Mahawira memarkir sedan mewahnya di basement kondominium area PIK. Jam sudah menunjukkan lewat tengah malam, dan ia bersyukur lobi kondominium tampak sepi. Kepalanya terasa begitu berat, bukan hanya karena seharian bekerja di rumah sakit yang sibuk, tapi karena beban moral yang barusan menindihnya. Beban itu masih terasa nyata, bergentayangan seperti bayangan Lidya yang terus menghantuinya.Begitu sampai di unitnya yang terletak di lantai atas, dengan pemandangan kota yang menakjubkan, Alvin tidak memedulikan pemandangan tersebut. Pakaian dinasnya ia lepas dengan kasar, seolah-olah kain itu menempelkan sesuatu yang najis. Setelah dilucuti dari tubuhnya, seragam bedah dan kemeja putihnya segera ia masukkan ke mesin cuci, membiarkan mesin bergemuruh seolah ikut merayakan pemusnahan jejak yang menempel di serat-serat kain. Ia ingin mencuci semua sisa-sisa itu secepatnya.Telanjang bulat, Alvin masuk ke dalam bilik shower. Ia menyalakan air hangat, membiarkannya membasahi seluruh tu
Kevin Abimanyu Wisesa menerobos masuk ke dalam apartemen Kaiden tanpa mengetuk, dadanya naik turun dengan cepat, napasnya terengah-engah seolah baru saja berlari maraton. Wajahnya merah padam, rambutnya sedikit berantakan. Ia mendapati Vito, Gerald, dan Kaiden sudah berkumpul di ruang tengah yang remang, tegang seperti orang menunggu vonis, menatap ke arah pintu seolah tahu badai akan segera datang. Mata mereka menyipit, mencurigai dan menebak apa yang terjadi di RS.Kevin tidak berkata apa-apa. Gerakan tangannya kasar dan penuh emosi saat ia melemparkan koran yang tadi ia cengkeram erat di rumah sakit ke atas meja kopi di hadapan mereka. Koran itu meluncur dan membentur vas bunga mini hingga nyaris jatuh. Matanya menyala-nyala, menatap bergantian pada ketiga orang di depannya itu. Bukan lagi kilatan rencana atau strategis, melainkan bara amarah yang membakar."Bagaimana bisa justru Lidya yang ada di sana?!" raung Kevin, suaranya pecah, dipenuhi amarah yang membakar. Tangannya langsun
Suasana di ruang dokter Alvin terasa dingin, bahkan meskipun pendingin ruangan sudah mati. Dr. Leo Bima Adnyana menerima lembaran analisis kimia forensik dari tangan Dr. Alvin Mahawira, tatapan matanya tajam dan penuh harapan – atau lebih tepatnya, doa. Ia segera menyambar hasil itu dan membaca poin-poinnya dengan cepat, mata Biru tajam Bima menyapu tiap kata, berharap menemukan secercah harapan di sana."Gila! Kadar aphrodisiacnya tinggi banget," Alvin memecah keheningan, suaranya terdengar datar, seolah sudah tak sanggup lagi terkejut. Ada kemarahan tersembunyi di baliknya. "Jelas banget bukan aku yang bernafsu gila-gilaan karena mau nyelingkuhin Lidia, kan?"Bima hanya bergumam tidak jelas, fokusnya masih terpaku pada laporan. Matanya melambat, dan alisnya sedikit terangkat. Emosi yang sempat memuncak dan bercampur aduk antara amarah, bingung, dan kekecewaan di wajah Bima segera meredup. Ia menghela napas panjang. Ekspresinya kini berganti menjadi pemahaman yang dingin, namun diser







