Sementara itu, Nada masih menangis di dalam kamar.
Bayangan kejadian semalam bersama dengan pamannya terus berputar di benak gadis berusia 22 tahun itu. Nada merasa dirinya hina sekarang karena sudah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan layaknya keluarga—walau faktanya Adrian hanyalah keluarga angkat.
“Menjijikan!” ringis Nada yang memukul dirinya sendiri.
Untungnya, psikiater yang menangani Nada datang. Meski awalnya memberontak, tetapi ia berhasil ditenangkan.
Hari demi hari berlalu.Perlahan, gadis itu pun bisa memulihkan diri.
Hanya dalam waktu satu bulan, ia sudah bisa kembali mengontrol emosinya. Namun, Nada masih enggan bercerita pada siapa pun tentang insiden itu.“Nenek, aku ingin melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucapnya mendadak di waktu makan malam mereka.
Eva terkesiap mendengar ucapan dari cucunya itu, “Nenek tidak salah dengar, kan?” Dia mencoba mengkonfirmasi.
Nada segera mengangguk.
Wajar jika Neneknya berkata seperti itu. Karena sebelumnya Nada menolak dengan keras untuk melanjutkan pendidikannya. Bagi Nada bersekolah itu hanya formalitas belaka. Dia selalu berkata, tanpa sekolah pun uang akan selalu mengalir padanya.
“Baik. Kamu mau ke mana? Masih banyak universitas yang membuka pendaftaran. Kamu belum terlambat, Sayang,” ucap Eva antusias.
“Ke mana pun, asal Nenek menepati persyaratan yang aku minta,” tawarnya.
Eva langsung menatap wajah cucunya itu dengan penasaran.
“Jangan bilang pada Om Adrian. Mulai dari keberangkatanku sampai informasi di mana aku kuliah dan tinggal.”
Lagi, Eva terheran dengan permintaan dari cucu kesayangannya itu. Wanita itu tahu betul, bahwa Adrian adalah orang yang paling dekat dengan Nada. Bahkan jika dibandingkan dengan Eva, cucunya itu lebih nyaman bersama dengan paman angkatnya.
“Bisa, kan, Nek?” Nada mencoba memastikan lagi.
Wanita itu tersadar dari lamunannya, lalu menatap wajah sang cucu, yang entah kenapa terasa sangat lesu. Naluri keibuan Eva pun muncul, dia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh cucunya itu. Namun, lidahnya itu tak kuasa untuk bertanya.
“Bisa, Sayang,” jawab Eva dengan menyakinkan.
***
“Kamu jadi pergi ke Amerika?” tanya seorang laki-laki di ujung sana.
Saat ini Nada sedang melakukan panggilan telepon dengan Nicko, teman SMA yang juga kekasih palsunya. Dulu, hubungan ini terbentuk agar tidak banyak lelaki yang mendekati gadis cantik itu. Untungnya, permintaan dari Nada segera diterima oleh Nicko.
“Iya, aku kuliah di sana. Sepertinya hubungan simbiosis mutualisme kita pun harus kita akhiri sekarang, Nick,” terang Nada.
“Kamu yakin?” Pertanyaan Nicko sedikit terdengar meragukan keputusan Nada.
“Yakin.”
Hening sejenak, sebelum Nicko tiba-tiba berbicara, “Jangan-jangan, kamu mau mulai membuka hati untuk cowok-cowok bule di luar sana, ya?”
Mendadak hati Nada berdenyut nyeri. Dia tak segera menjawab pertanyaan Nicko.
“Nada?” panggil Nicko.
Keheningan masih menyapa perbincangan mereka. Tatapan Nada benar-benar kosong sekarang. Pertanyaan Nicko membuat luka di sudut hatinya—yang bahkan belum kering sama sekali—kembali terasa perih.
Mendadak, Nada merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Tenggorokannya terasa ada yang memaksa mendesak keluar. Bahkan mulutnya pun sangat tidak nyaman.
Nada merasakan mual.
“Hueeek.”
Buru-buru Nada beranjak dari tepian kasur. Dia berlari menuju toilet yang berada di dalam kamar. Meninggalkan Nicko yang terus memanggil namanya di seberang sana.
Di depan kloset Nada memuntahkan seluruh isi dalam perutnya. Tubuh gadis itu tak berdaya sekarang. Bahkan dia terduduk lemas di lantai, dan tangannya bertumpu pada kloset.
“Ah, sakit sekali,” rintih Nada sambil memegang perut.
Seolah belum puas dengan seluruh muntahan yang baru saja dikeluarkan. Mulut Nada kembali terasa tak nyaman, dan untuk kedua kalinya, Nada memuntahkan isi perutnya.
Entah mengapa, perasaannya menjadi tak nyaman.
Sementara itu, di tempat lain, Adrian baru saja selesai melakukan rapat dengan manajer umum dari masing-masing bidang yang menjadi naungan Victory Grup. Setelah menjabat sebagai pimpinan baru, banyak hal yang harus dikerjakan olehnya. Bahkan tak jarang dia harus lembur di kantor.
“Apa setelah ini aku masih ada jadwal lagi, Vivian?” tanya Adrian pada sekretarisnya.
“Tidak, Pak. Untuk hari ini jadwal Bapak hanya sampai sore. Setelah itu Bapak bisa pulang dan beristirahat.”
Mendengar itu, Adrian merasa sangat lega. Dia langsung melemaskan punggungnya dan langsung bersandar pada kursi.
“Apa ada yang Bapak perlukan lagi?” tanya sekretarisnya itu.
Adrian menggeleng. “Kamu boleh kembali ke tempatmu. Jika tidak ada yang dikerjakan lagi, lebih baik kamu pun istirahat,” terangnya.
Selama dua bulan ini, baik Adrian mau pun Vivian, mereka sama-sama disibukkan dengan pekerjaannya. Kalau tidak ada Vivian, mungkin Adrian sudah benar-benar kewalahan dengan ritme kerjanya yang sangat gila sekali.
Pantas saja kakak angkatnya itu selalu jarang pulang ke rumah. Ternyata, pekerjaannya lumanyan segila ini. Dan, pantas saja Nada selalu merasa kesepian, karena ayahnya jarang sekali memiliki waktu untuknya.
Ah, berbicara tentang Nada, Adrian jadi mengingat keponakannya yang sudah tidak ia temui sejak insiden hari itu. Ibunya berkata, kalau kondisi Nada sudah membaik, tapi belum ingin bertemu dengan siapa pun. Bahkan Adrian baru ingat, bahwa pesannya belum juga dibalas oleh sang keponakan.
“Vivian,” panggil Adrian.
Langkah perempuan itu terhenti, lalu segera membalikkan badannya.
“Kira-kira perempuan yang berumur 22 tahun suka dengan hal apa? Maksudnya saat mereka sedang marah, apa yang bisa membuat mereka sedikit lebih baik?” tanya Adrian tiba-tiba.
Walau laki-laki itu memiliki pacar, tapi dia belum pernah membelikan hal lain pada Sindy, selain bunga dan perhiasan.
“Hmm.” Vivian mencoba berpikir, “sebenarnya setiap orang mempunyai selera yang berbeda, Pak. Tapi mungkin bisa dibelikan sesuatu yang sederhana, misalkan makanan kesukaannya?” jawab Vivian, yang sebenarnya merasa tak yakin dengan jawabannya.
Adrian mengangguk.
“Memangnya kalau boleh tahu untuk siapa, Pak? Bukannya pacar Pak Adrian itu Sindy, seorang aktris kebanggaan ibu kota?”
Tidak ingin menaruh curiga pada sang atasan, Vivian langsung bertanya dan meminta penjelasan pada Adrian.
“Untuk keponakanku,” jawabnya dengan cepat.
“Aaah.”
Seketika hal negatif yang sempat Vivian pikirkan pun segera ditepis.
“Kenapa?”
Vivian sontak menggeleng, “Maaf, Pak. Saya hanya penasaran saja. Saya mohon izin permisi, Pak,” jawabnya cepat.
Setelah mendapatkan saran dari sekretarisnya. Adrian pun segera bangkit dan menuju sebuah toko kue. Keponakannya itu sangat menyukai kue tiramisu dari toko tersebut. Tanpa berpikir panjang Adrian segera membeli dan meluncur menuju kediaman sang ibu.
Sesampainya di sana, Adrian segera memasuki rumah besar tersebut. Kemudian sepasang matanya itu mendapati Nada bersama dengan seorang laki-laki di ruang tamu.
Mendapati sang paman yang datang ke rumahnya, Nada seketika tersentak.
Gadis itu bangkit dari sofa yang dia duduki, lalu segera pergi menuju kamarnya.
“Nada?” panggil Adrian terheran-heran.
Pasalnya, sikap Nada seperti sedang melihat setan yang tiba-tiba menampakkan dirinya.
Padahal, gadis itu sedari tadi tersenyum pada Nicko.
“Nada kenapa, Nick?” tanya Adrian pada laki-laki yang dia kenal sebagai kekasih Nada.
Nicko menghela napas.
Namun, tatapannya terlihat tak suka melihat keberadaan Adrian. “Sepertinya Nada sedang tidak ingin bertemu orang lain selain aku, Om.”
Seketika perasaan Adrian mendadak tidak nyaman saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Nicko.
BERSAMBUNG ....
Tubuh Nada bergetar hebat, tatkala sepasang mata cokelatnya mendapati sosok Adrian. Bayangan kejadian malam itu kembali memaksa berputar di benaknya.“Lupakan, Nada,” mohonnya pada diri sendiri.Tangan Nada kini sedang memukul kepalanya, berusaha menghentikan setiap momen mengerikan yang yang terjadi malam itu.Dua bulan ini Nada berpikir dalam keheningan. Dia paham betul, kalau pamannya saat itu sedang dalam kondisi mabuk. Apalagi melihat sikap pamannya sekarang, yang seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Nada sedikit yakin kalau pamannya itu memang menganggap kejadian itu hanya bunga tidurnya.Namun, tetap saja, hati Nada berdenyut ketika harus mengakui, bahwa faktanya sang pamanlah yang merenggut hal paling berharga dalam hidup Nada.“Nada.”Suara itu, suara laki-laki yang barusan memanggilnya, membuat jiwa Nada kembali terguncang. Dia langsung menutup kedua telinganya rapat-rapat.Sedangkan di luar, Adrian berdiam diri tepat di pintu kamar sang keponakannya.Mendengar per
“Mbak, boleh tolong pijat tengkuk leherku sebentar?” pinta Nada pada asisten rumah tangganya.“Boleh, Nada.”Dengan sigap Ratna menghampiri Nada dan segera memijit pelan tengkuknya. Kini mereka sudah sampai di Amerika dan sedang berada di apartemennya.“Mau Mbak belikan obat? Sepertinya kamu masuk angin, Nada.”Dengan cepat gadis itu menggeleng, “Tidak usah, Mbak. Dipijat sebentar sama dibalur dengan minyak hangat pasti sembuh,” jawabnya.Ratna mengangguk, walau dalam hati dia merasa sedikit ada yang aneh dari Nada.Sejak di pesawat Nada memang sering bolak-balik ke toilet. Ratna perhatikan gadis itu sepertinya sedang tidak merasa nyaman dengan perutnya. Namun, jauh dari sebelum itu, beberapa kali Ratna pernah mendengar kalau Nada sering sekali muntah di kamar mandinya.“Nad, kamu tidak melakukan hal aneh dengan Nicko, kan?”Tiba-tiba saja Ratna bertanya hal demikian. Instingnya sebagai perempuan begitu kuat.Nada menoleh sedikit ke arah belakang.“Hal aneh apa maksud, Mbak?”Dengan j
“Mbak, tolong jangan katakan apa pun, kalau Om Adrian bertanya tentangku,” pinta Nada yang terlihat sangat panik.Ratna baru saja mendapati panggilan dari anak angkat Eva. Dia pun segera mengangkat panggilan tersebut, sambil mata sembabnya terus memperhatikan Nada.“Halo, Mas,” sapa Ratna pada Adrian.“Mbak Ratna, apa benar Nada dan Mbak sedang di luar negeri?” tanya Adrian tanpa berbasa-basi.“Iya, Mas. Kenapa Mas Adrian bisa tahu?” Kini Ratna kembali melempar pertanyaan.Sedangkan Nada yang sedang berada di hadapan Ratna, menunjukkan ekspresi wajah yang harap-harap cemas.“Mama yang memberi tahuku. Kalau boleh tahu, Nada berkuliah di mana?” tanya pria itu lagi.Ratna tak segera menjawab, dia semakin menatap intens pada Nada. Seolah tahu dengan gestur dari Ratna, Nada pun menggeleng.“Maaf, Mas, tapi Nada meminta saya untuk tidak memberi tahu siapa pun. Sepertinya Nada tidak ingin diganggu, dia ingin fokus kuliah,” jawab Ratna beralibi.Entah Adrian akan percaya atau tidak dengan jaw
Hati cucu mana yang tidak khawatir, ketika mendengar berita kalau neneknya sakit sampai harus dirawat di ruang ICU? Nada merasa seperti dihantam dua kali oleh kenyataan. Kini tangannya benar-benar bergetar hebat. Perasaannya sudah tak karuhan. Antara merasa takut dengan masa lalunya, dan takut dengan keadaan neneknya. “Mama?” panggil Deven pelan. Anak itu merasa khawatir melihat wajah ibunya yang pucat pasi. Namun, Nada langsung menggeleng dan meletakkan telunjuk di bibirnya. Seketika Deven langsung diam. “Ne-nek kenapa, Om?” tanya Nada tergagap. “Tadi dini hari, Nenek pingsan di kamarnya. Setelah dicek ternyata tensi darahnya tinggi. Sekarang beliau sedang di ICU, karena sudah dua jam belum tersadar,” terang Adrian dengan suara terdengar panik. “Apa sudah dicek oleh dokter?” Nada berusaha untuk setenang mungkin. “Sudah, tapi hasil lab belum keluar,” jawab Adrian. Badan Nada terasa panas dingin. Neneknya kini sudah berumur delapan puluh tahun. Pastilah sudah terjadi penurunan
Pertanyaan yang diajukan oleh Deven, sungguh di luar nalar. Bahkan Nada sampai mematung—hampir satu menit lamanya. “Deven,” panggil Nada sambil mengelus puncak kepala putranya, “bukannya Mama sudah bilang perihal itu? Papamu sudah di Surga, Nak,” terang Nada yang tentu saja mengucapkan sebuah kebohongan.Sakit sebenarnya, ketika dia harus berbohong pada anaknya sendiri. Namun, bagaimana lagi, Nada sudah bertekad untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang ayah biologis Deven. Apalagi pada anaknya sendiri. “Iya, Ma, i know. Tapi bukannya Indonesia juga surga? Aku baca di internet, kalau Indonesia itu serpihan surga. Berarti Papaku ada di sana, kan?” Mata Nada sontak membulat. Lagi, Nada dibuat tak habis pikir dengan jawaban dari putranya itu. Sepertinya memang sedikit sia-sia Nada berbohong.“Konteksnya berbeda, Sayang. Sudah, bagaimana kalau kita makan malam saja? Tadi Mama lihat Tante Ratna sedang memasak pasta kesukaan Deven.”Mendadak raut wajah Deven berubah. Anak itu merasa tid
Tangan Nada gemetar sekarang, melihat sosok pamannya yang baru saja keluar dari kamar. Perawakan Adrian terlihat berbeda dari enam tahun lalu. Badannya tegap, garis wajahnya terlihat sangat tegas. Membuat dirinya terlihat lebih tampan dari kali terakhir Nada melihatnya. Bahkan auranya sekarang sudah berubah menjadi dominan dan karismatik. Secepat itukah fisik Adrian berubah?“Selamat malam, Om,” ucap Nicko memecah ketegangan yang bisa dia rasakan. Tangan laki-laki itu kini langsung meraih tangan Nada. Mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. “Malam. Kamu mau pulang, Nick?” tanya Adrian dengan suaranya yang berat dan tegas .“Iya, Om. Saya mohon izin pamit pulang,” jawabnya dengan sopan. Namun, Nada malah semakin mencengkeram pegangan tangan Nicko. Mulutnya itu masih bungkam, dan bahkan belum menjawab sapaan dari paman angkatnya. Nicko pun segera membalikkan badan. “Kembali saja ke kamarmu, Nada. Tidak usah mengantarku keluar,” ucap Nicko. Tatapan gelisah kini terpancar di
Agenda sarapan pagi bersama pun gagal. Setelah pengakuan Nada yang membuat tubuh Eva tak kuasa untuk bangkit. Wanita berumur delapan puluh tahun itu, akhirnya dibawa menuju kamar tidur.“Nada, bisa kita bicara sebentar?” tanya Adrian dengan suara tegasnya.Betapa khawatirnya perasaan Adrian, ketika melihat kondisi ibu angkatnya yang harus kembali drop, akibat pengakuan Nada.“Bukannya Om harus segera menuju kantor? Ini sudah pukul sepuluh pagi,” celetuk Nada sambil melihat ke arah jam dinding.“Aku masih punya banyak waktu,” jawab Adrian cepat.“Oh, apa Om sekarang selalu bermalas-malasan dalam memimpin Victory?” sela Nada mencibir.Sontak Adrian mengerutkan kening, “Maksudmu apa, Nada?” tanyanya.Nada menarik napas pelan, lalu dengan tangan yang meremas kedua sisi tubuhnya dia berbicara, “Ini sudah jam masuk kantor. Walau pun Om memiliki banyak waktu, tapi tetap saja Om harus datang ke kantor tepat waktu.”Intonasi Nada dalam berbicara terdengar menekan. Dia berusaha untuk membangun
“Anak siapa itu?”Pertanyaan dari Keenan barusan membuat Adrian tersentak. Matanya tidak bisa berbohong, kalau pria berumur 39 tahun itu sedang merasakan kepanikan. “Dari mana Mas Keenan tahu kalau Nada sudah kembali? Dan ….” Adrian mendadak ragu untuk melanjutkan kalimatnya, “dan dari mana Mas tahu kalau Nada tidak pulang sendirian?” “Ada informasi dari luar. Sepertinya seseorang atau mungkin banyak, sedang memperhatikan Victory. Jelas saja, karena perusahaan ini sangat sukses di industri perhotelan dan penerbangan,” terang Keenan. “Informasi dari mana, Mas?” tanya Adrian ngotot. “Orang luar. Aku tidak tahu persis, karena aku mendapatkan informasi dari istriku, Gladys. Tapi aku berpesan padamu untuk berhati-hati Adrian. Karena bisa saja rivalmu sedang mengawasi dan membuat bom waktu yang entah kapan akan meledak.”Sebagai mentor yang baik, Keenan memang sering kali memberi nasehat pada Adrian. Dia sudah menganggap Adrian sebagai juniornya yang harus dibimbing. Selain itu Keenan s