Share

3. TRAUMA

Sementara itu, Nada masih menangis di dalam kamar. 

Bayangan kejadian semalam bersama dengan pamannya terus berputar di benak gadis berusia 22 tahun itu. Nada merasa dirinya hina sekarang karena sudah melakukan hal yang tidak seharusnya dilakukan layaknya keluarga—walau faktanya Adrian hanyalah keluarga angkat.

“Menjijikan!” ringis Nada yang memukul dirinya sendiri.

Untungnya, psikiater yang menangani Nada datang. Meski awalnya memberontak, tetapi ia berhasil ditenangkan.

Hari demi hari berlalu.Perlahan, gadis itu pun bisa memulihkan diri.

Hanya dalam waktu satu bulan, ia sudah bisa kembali mengontrol emosinya. Namun, Nada masih enggan bercerita pada siapa pun tentang insiden itu.

“Nenek, aku ingin melanjutkan kuliah di luar negeri,” ucapnya mendadak di waktu makan malam mereka.

Eva terkesiap mendengar ucapan dari cucunya itu, “Nenek tidak salah dengar, kan?” Dia mencoba mengkonfirmasi.

Nada segera mengangguk.

Wajar jika Neneknya berkata seperti itu. Karena sebelumnya Nada menolak dengan keras untuk melanjutkan pendidikannya. Bagi Nada bersekolah itu hanya formalitas belaka. Dia selalu berkata, tanpa sekolah pun uang akan selalu mengalir padanya.

“Baik. Kamu mau ke mana? Masih banyak universitas yang membuka pendaftaran. Kamu belum terlambat, Sayang,” ucap Eva antusias.

“Ke mana pun, asal Nenek menepati persyaratan yang aku minta,” tawarnya.

Eva langsung menatap wajah cucunya itu dengan penasaran.

“Jangan bilang pada Om Adrian. Mulai dari keberangkatanku sampai informasi di mana aku kuliah dan tinggal.”

Lagi, Eva terheran dengan permintaan dari cucu kesayangannya itu. Wanita itu tahu betul, bahwa Adrian adalah orang yang paling dekat dengan Nada. Bahkan jika dibandingkan dengan Eva, cucunya itu lebih nyaman bersama dengan paman angkatnya. 

“Bisa, kan, Nek?” Nada mencoba memastikan lagi. 

Wanita itu tersadar dari lamunannya, lalu menatap wajah sang cucu, yang entah kenapa terasa sangat lesu. Naluri keibuan Eva pun muncul, dia merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan oleh cucunya itu. Namun, lidahnya itu tak kuasa untuk bertanya. 

“Bisa, Sayang,” jawab Eva dengan menyakinkan. 

***

“Kamu jadi pergi ke Amerika?” tanya seorang laki-laki di ujung sana. 

Saat ini Nada sedang melakukan panggilan telepon dengan Nicko, teman SMA yang juga kekasih palsunya. Dulu, hubungan ini terbentuk agar tidak banyak lelaki yang mendekati gadis cantik itu. Untungnya, permintaan dari Nada segera diterima oleh Nicko. 

“Iya, aku kuliah di sana. Sepertinya hubungan simbiosis mutualisme kita pun harus kita akhiri sekarang, Nick,” terang Nada. 

“Kamu yakin?” Pertanyaan Nicko sedikit terdengar meragukan keputusan Nada.

“Yakin.”

Hening sejenak, sebelum Nicko tiba-tiba berbicara, “Jangan-jangan, kamu mau mulai membuka hati untuk cowok-cowok bule di luar sana, ya?” 

Mendadak hati Nada berdenyut nyeri. Dia tak segera menjawab pertanyaan Nicko. 

“Nada?” panggil Nicko. 

Keheningan masih menyapa perbincangan mereka. Tatapan Nada benar-benar kosong sekarang. Pertanyaan Nicko membuat luka di sudut hatinya—yang bahkan belum kering sama sekali—kembali terasa perih. 

Mendadak, Nada merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Tenggorokannya terasa ada yang memaksa mendesak keluar. Bahkan mulutnya pun sangat tidak nyaman. 

Nada merasakan mual. 

“Hueeek.”

Buru-buru Nada beranjak dari tepian kasur. Dia berlari menuju toilet yang berada di dalam kamar. Meninggalkan Nicko yang terus memanggil namanya di seberang sana. 

Di depan kloset Nada memuntahkan seluruh isi dalam perutnya. Tubuh gadis itu tak berdaya sekarang. Bahkan dia terduduk lemas di lantai, dan tangannya bertumpu pada kloset. 

“Ah, sakit sekali,” rintih Nada sambil memegang perut.

Seolah belum puas dengan seluruh muntahan yang baru saja dikeluarkan. Mulut Nada kembali terasa tak nyaman, dan untuk kedua kalinya, Nada memuntahkan isi perutnya. 

Entah mengapa, perasaannya menjadi tak nyaman.

Sementara itu, di tempat lain, Adrian baru saja selesai melakukan rapat dengan manajer umum dari masing-masing bidang yang menjadi naungan Victory Grup. Setelah menjabat sebagai pimpinan baru, banyak hal yang harus dikerjakan olehnya. Bahkan tak jarang dia harus lembur di kantor.

“Apa setelah ini aku masih ada jadwal lagi, Vivian?” tanya Adrian pada sekretarisnya.

“Tidak, Pak. Untuk hari ini jadwal Bapak hanya sampai sore. Setelah itu Bapak bisa pulang dan beristirahat.”  

Mendengar itu, Adrian merasa sangat lega. Dia langsung melemaskan punggungnya dan langsung bersandar pada kursi. 

“Apa ada yang Bapak perlukan lagi?” tanya sekretarisnya itu.

Adrian menggeleng. “Kamu boleh kembali ke tempatmu. Jika tidak ada yang dikerjakan lagi, lebih baik kamu pun istirahat,” terangnya.

Selama dua bulan ini, baik Adrian mau pun Vivian, mereka sama-sama disibukkan dengan pekerjaannya. Kalau tidak ada Vivian, mungkin Adrian sudah benar-benar kewalahan dengan ritme kerjanya yang sangat gila sekali. 

Pantas saja kakak angkatnya itu selalu jarang pulang ke rumah. Ternyata, pekerjaannya lumanyan segila ini. Dan, pantas saja Nada selalu merasa kesepian, karena ayahnya jarang sekali memiliki waktu untuknya. 

Ah, berbicara tentang Nada, Adrian jadi mengingat keponakannya yang sudah tidak ia temui sejak insiden hari itu. Ibunya berkata, kalau kondisi Nada sudah membaik, tapi belum ingin bertemu dengan siapa pun. Bahkan Adrian baru ingat, bahwa pesannya belum juga dibalas oleh sang keponakan. 

“Vivian,” panggil Adrian. 

Langkah perempuan itu terhenti, lalu segera membalikkan badannya. 

“Kira-kira perempuan yang berumur 22 tahun suka dengan hal apa? Maksudnya saat mereka sedang marah, apa yang bisa membuat mereka sedikit lebih baik?” tanya Adrian tiba-tiba.

Walau laki-laki itu memiliki pacar, tapi dia belum pernah membelikan hal lain pada Sindy, selain bunga dan perhiasan.

“Hmm.” Vivian mencoba berpikir, “sebenarnya setiap orang mempunyai selera yang berbeda, Pak. Tapi mungkin bisa dibelikan sesuatu yang sederhana, misalkan makanan kesukaannya?” jawab Vivian, yang sebenarnya merasa tak yakin dengan jawabannya. 

Adrian mengangguk. 

“Memangnya kalau boleh tahu untuk siapa, Pak? Bukannya pacar Pak Adrian itu Sindy, seorang aktris kebanggaan ibu kota?” 

Tidak ingin menaruh curiga pada sang atasan, Vivian langsung bertanya dan meminta penjelasan pada Adrian. 

“Untuk keponakanku,” jawabnya dengan cepat. 

“Aaah.” 

Seketika hal negatif yang sempat Vivian pikirkan pun segera ditepis. 

“Kenapa?”

Vivian sontak menggeleng, “Maaf, Pak. Saya hanya penasaran saja. Saya mohon izin permisi, Pak,” jawabnya cepat. 

Setelah mendapatkan saran dari sekretarisnya. Adrian pun segera bangkit dan menuju sebuah toko kue. Keponakannya itu sangat menyukai kue tiramisu dari toko tersebut. Tanpa berpikir panjang Adrian segera membeli dan meluncur menuju kediaman sang ibu. 

Sesampainya di sana, Adrian segera memasuki rumah besar tersebut. Kemudian sepasang matanya itu mendapati Nada bersama dengan seorang laki-laki di ruang tamu.

Mendapati sang paman yang datang ke rumahnya, Nada seketika tersentak. 

Gadis itu bangkit dari sofa yang dia duduki, lalu segera pergi menuju kamarnya.

“Nada?” panggil Adrian terheran-heran. 

Pasalnya, sikap Nada seperti sedang melihat setan yang tiba-tiba menampakkan dirinya. 

Padahal, gadis itu sedari tadi tersenyum pada Nicko. 

“Nada kenapa, Nick?” tanya Adrian pada laki-laki yang dia kenal sebagai kekasih Nada.

Nicko menghela napas. 

Namun, tatapannya terlihat tak suka melihat keberadaan Adrian. “Sepertinya Nada sedang tidak ingin bertemu orang lain selain aku, Om.”

Seketika perasaan Adrian mendadak tidak nyaman saat mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Nicko.

BERSAMBUNG ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status