Share

Elang Putra Kelana

Jadi, wanita ini istri baru papa? Kenapa masih muda sekali? Cantik sih, tapi ahh, gue tetap tidak setuju.

Suara hati Elang ketika bertatapan langsung dengan istri baru papanya. 

Pertama lihat tadi, Elang juga kaget plus heran. Wanita mana pula yang dibawa papanya ke rumah. Sempat terbersit kemungkinan papanya juga punya anak sambung seorang wanita yang seumuran dengannya. Tapi begitu melihat cara berjalan si wanita, Elang langsung nangkap, kalau yang berbadan kurus di hadapannya ini ibu sambungnya.

Lihat apa itu? Dia bawa remote tv buat nimpukin gue karena dikira maling? Enak aja. Tck!

Tanpa mempedulikan ocehan si mama sambung alias Naomi, Elang berlalu membawa langkahnya menuju kamar, tapi lagi-lagi wanita itu meneriakinya. Mana suaranya melengking pula, nggak sepadan sama ukuran badannya.

Tck! kalau dengar dia teriak ngoceh-ngoceh tiap hari bisa pecah kuping gue.

"Den, nggak perlu diladenin Nyonya ya, dia kan lagi nggak enak badan hari ini." Bi Inah menghampiri bermaksud menenangkan Elang.

Nggak enak badan apanya? Segar bugar gitu kok. Cuma ya ... Paham-paham sendirilah, kalau orang habis malam pertama. Elang juga bukan remaja pasif untuk tahu apa kegiatan orang dewasa di malam pertama pernikahan, kan?

Tapi, apa motif papanya tiba-tiba menikah lagi? Semua serba dadakan pula.

"Bik, aku lapar, tapi anterin ke kamar ya. Malas ketemu sama wanita itu." Dengan ekor matanya, Elang menunjuk ke arah sofa di mana Naomi sudah pula merebahkan punggungnya dibantu oleh bi Inah.

"Baiklah den. Bibik ambilkan dulu ya."

Elang, remaja 17 tahun yang ketampanannya turunan dari sang papa masuk ke kamar yang di pintunya bertuliskan 'Do not Disturb' lalu menutup pintu dengan membanting keras hingga menimbulkan bunyi 'BAM'.

Bibik yang masih berada dalam jarak beberapa langkah dari sana sampai mengurut dada. Beruntung jantung orang tua itu masih sehat wal'afiat, jika tidak pasti sudah lama masuk rumah sakit akibat serangan jantung.

Setibanya di kamar, Elang langsung menghempas tubuh ke kasur empuknya. Kangen pula dengan ranjang tidurnya itu karena beberapa hari ini dia tidak pulang dan tidur di rumah teman. Sebagai bentuk protes pada papanya yang menikah lagi, Elang memutuskan pergi dari rumah, tidak menghadiri pesta pernikahan.

Namun Elang harus menelan pil pahit, karena temannya malah mengejeknya yang akan punya mama baru, bla bla bla ejekan tak enak lainnya yang membuatnya geram.

Kampret si Aldo.

"Den, bibik datang bawa makan siangnya."

Suara Bi Inah dari luar kamarnya.

"Masuk aja bik, nggak dikunci kok."

Elang menegakkan kembali punggungnya begitu bi Inah masuk membawa nampan berisi makan siang untuknya. Perutnya udah keroncongan banget. Elang pun tak menunggu lama untuk menyantap makan siangnya.

"Den, kenapa nggak ikut hadir di pesta pernikahan Tuan? Pasti Tuan kecewa sekali."

Alih-alih keluar, bi Inah malah berdiri di samping ranjang, memperhatikan Elang yang sedang makan. Elang sih tidak masalah bi Inah masih betah berada di kamarnya, karena orang tua itu juga yang banyak membantu merawatnya selama ini, sudah Elang anggap seperti nenek sendiri.

"Bibik tau Elang nggak suka papa nikah lagi, kan? Ngapain nanya?" Ia menjawab dengan acuh.

Ngapain sih bi Inah bahas ini?

"Nyonya Naomi baik kok, Den. Orangnya juga sopan dan kelihatannya nggak neko-neko. Kalau nggak, mana mungkin Tuan mau menikahinya. Den Elang tau sendiri, Tuan gimana orangnya."

Oh, jadi Naomi namanya? Yakin tuh orangnya baik, sopan dan nggak neko-neko? Dari namanya aja udah bisa ditebak orangnya kecentilan. Pasti dia yang lebih dulu menggoda papa.

Elang dipenuhi pikiran buruk seolah ada sekumpulan awan hitam mengerubungi di atas kepalanya.

"Tetap aja bik, Elang nggak suka. Apalagi masih muda banget gitu. Terus, Elang mau panggil dia apa? Mama? Kakak? Apa Tante sekalian?"

"Ya... Panggil mama dong, den." Bi Inah menjawabnya dengan tersenyum.

"Udah deh bik, jangan ngomong wanita itu lagi, ntar jadi hilang selera makan Elang. Betewe, papa mana bik? Kok nggak kelihatan?"

"Tuan kerja, den."

Ugh! Sama halnya dengan Naomi yang terbelalak kaget, Elang refleks tersedak makanannya. Mana lauknya ada sambal merah pedas lagi, tenggorokan rasanya mau terbakar, namun Elang beruntung karena bi Inah cepat tanggap menyodorkan minum buatnya.

Gulp... gulp... gulp.

Elang menenggak gelas minumnya sampai tuntas.

"Pelan-pelan dong, den." Bi Inah menasehati.

Kenyataan bahwa papanya langsung pergi bekerja bahkan saat pernikahan belum terhitung dua hari, membuat asumsi Elang soal Naomi yang kecentilan dan menggoda papanya makin kuat. Dia pun makin tak menyukai mama sambungnya itu.

Beberapa saat kemudian.

"Udah bik, makasih ya makanannya, selalu enak kalau bi Inah yang masak, makanya Elang pulang karena kangen masakan bibik." 

Seperti anak kecil, Elang begitu akrab dan manja pada bi Inah yang telah merawatnya sejak kecil hingga besar tinggi kini. Lihatlah sekarang, dia bahkan bermain mata menggoda wanita tua itu sembari menyungging senyum yang menawan.

Bi Inah sampai tersenyum kikuk karenanya.

"Kalau gitu, den Elang istirahat, bibik keluar dulu ya."

"Sip, makasih bik."

Seperti kata bi Inah, menyuruh Elang beristirahat, remaja tanggung itu pun kembali menghempas badannya ke kasur dengan posisi menelungkup dan terbalik kepalanya di ujung ranjang. Harapnya bisa tidur menghilangkan beban pikiran soal papa yang menikah lagi, ejekan teman-temannya soal mama kandungnya, tapi ponsel pintarnya malah mengganggu dengan berdenting secara beruntun.

Pesan chat masuk bertubi-tubi dari si kampret Aldo.

Woy, udah sampai rumah?

Gimana mama baru lo?

Cantik, bahenol apa biasa aja?

Woy, balas woy!

Kampret banget, kan? Salah satu contoh teman nggak ada akhlak. Teman yang harusnya ikut bersuka cita karena Elang dapat mama baru, ada mama tempat berbagi keluh kesah, tapi Aldo malah kepo soal seperti apa rupa mama barunya. 

Mana Elang tidak 'sreg' dengan wanita itu. 

"Berisik banget lo, Do." Elang mengetik pesan balasan dengan jemari yang menekan kesal layar keyboard ponselnya, seolah ponsel itu ialah Aldo.

Setelah memastikan ponselnya di non aktifkan, Elang menutup kepalanya dengan bantal masih pada posisi menelungkup, kepalanya di ujung ranjang.

Beberapa menit, Elang mulai tenggelam dalam tidur siangnya, kembali mencoba merehatkan badan serta pikiran. Masih ingin berharap semua yang terjadi dalam hidupnya mimpi belaka, dan begitu dia bangun, tidak ada wanita itu di rumah dan status papanya masihlah seorang duda.

Tapi, memang kita tak boleh terlalu banyak berharap, karena jika harapan tak berbuah kenyataan, akan menyebalkan bahkan menyedihkan.

Ya, Elang samar-samar mendengar suara langkah kaki tergesa dari lantai bawah. Sungguh mengganggu rencana tidur siangnya.

Apa itu papa Adrian yang pulang? Apa dia baru nyadar kalau pengantin baru tak seharusnya berangkat kerja? Atau, karena ada alasan lainnya?

"Bi, ini istri saya kenapa?"

Walau kesal tengah menyelimuti, tapi Elang tetap menguping pembicaraan papanya di luar sana.

                                 ***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status