Share

Sudah Jatuh Tertimpa Tangga

“AW!” Maresha berteriak heboh.

Kejadian yang tidak diinginkan Star terjadi. Bangku itu hampir menyungkurkan Maresha. Dengan cekatan Star menopang tubuh Maresha yang menekan dadanya, dia menahan tangannya di tulang rusuk perempuan yang kini melotot panik. Tunggu, tetapi apa yang dipegang Star?

“Lepas! Aku bakal tuntut kamu! Kamu pikir aku nggak bakal speak up setelah barusan kamu sengaja pegang bagian tubuh sensitifku?!” Bentakan Maresha membuat suasana kian panas. Dia membebaskan tubuhnya sendiri setelah mendapatkan keseimbangan yang sempurna.

Stacya menutup mulutnya yang menganga. Matanya terlihat makin besar saat dia melotot tak percaya. “Johnny, bilang sama gue kalau itu nggak benar! Jelas-jelas itu fitnah! Lo harus cari bukti kalau Star nggak bersalah, John. Please ….” Dia meringis makin hebat.

[Cia, tolong kasih gue waktu buat memikirkan ini. Gue pun syok banget. Kita ketemu besok di Kopi Oma jam sepuluh pagi.]

“Johnny, kita harus gerak cepat supaya—”

Kurang ajar! Belum selesai Stacya berbicara, sambungan telepon sudah dimatikan begitu saja oleh Johnny. Stacya menginjak karpet lantai bulu dengan kesal. Penderitaan Star adalah lautan air mata baginya. Jika Johnny tidak bisa menyelamatkan adiknya, maka dia sendiri yang akan berjuang mati-matian.

                                                                 ***

“Sha, kita bisa bicarakan ini secara baik-baik. Lo nggak bisa asal nuduh gue begitu saja.”

Staryan menghambur keluar dari ruang talent dengan langkah tergabas. Jaket denim-nya dilempar tiba-tiba ke dada Johnny. Lelaki itu melintasi lorong yang makin sempit oleh kerumunan orang, yang penasaran dengan kelanjutan dari keributan antara dia dan Maresha. Sesekali dia memprotes Johnny dalam bahasa mata, yang tidak ada upaya sama sekali untuk membentenginya.

“Gue yakin lo tahu kalau gue nggak sengaja melakukan itu!” Terdengar laung ujaran spontan Star di sepanjang lorong itu.

Tindakan Star memberi impak bagi Maresha. Hati perempuan berwajah masam itu kembali memanas, langkahnya yang mendadak berhenti menandakan dia sungguh terpicu amarah. Satu meter di belakang Maresha, Star mengedarkan pandangan ke setiap mata yang kini fokus menyorotnya. Benar dia suka menjadi pusat dunia, tetapi tidak oleh para manusia yang menghujani dirinya dengan tatapan kebencian. Pupil matanya melebar saat Maresha berbalik badan dan menderapkan sepatu platform-nya yang makin dekat.

“Jangan harap promosi film kita akan terus berlangsung. Ini yang terakhir, Star.” Maresha memberi ultimatum, telunjuknya menekan dada kiri Star lalu berlalu diikuti manajernya.

Star mengesah, rambutnya yang tergerai rapi jadi sedikit berantakan karena ulah jari-jemarinya. Dia berjalan menunduk ke ujung lorong dengan langkah besar penuh kefrustrasian. Johnny membuntuti artis yang kalang kabut hingga ke tangga darurat. Menggema, suara pintu besi menguasai keheningan begitu gagangnya terlepas dari tangan sang manajer. Dan, ini adalah waktu yang tepat untuk Star meledakkan bom di dalam kepalanya.

“Bang, lo manajer gue atau bukan, sih?” sembur Star, bolak-balik di kotak yang sama sambil berkacak pinggang. “Atau jangan-jangan, lo percaya sama omongan Maresha?” pandangnya kecewa, kemudian menghantamkan kepalanya ke tembok dengan pelan.

Johnny benar-benar merasa tertekan tiap kali mencoba menerawang ekspresi sedih yang ditampilkan Star sekarang. Pandangannya gemetar, memberi efek susah menelan pada kerongkongannya. “Gue percaya sama lo, A. Gue yakin, nggak pernah satu kali pun terlintas di pikiran lo buat melakukan perbuatan buruk itu.” Johnny menepuk pundak Star. Lelaki itu berdengung. “Dan gue tahu ini bukan saat yang tepat, tapi gue benar-benar minta maaf … gue nggak bisa jadi manajer lo lagi,” beri tahunya, lekas menunduk seolah melarikan diri.

“Hah?” Star mempertegas pandangannya, bibir yang kering itu sedikit terbuka. Kemudian, dia tertawa patah-patah menolak kenyataan yang belum bosan mengolok-olok nasibnya. “Nggak usah nge-prank, Bang. Lo pikir itu lucu?” cela Star, berubah serius.

Sebagai tanggapan, Johnny mendongak dan menggeleng. “Gue serius. Mertua gue minta gue dan Vivian fokus urus restoran mereka. Dan, gue nggak mungkin bisa membantah.” Johnny menggaruk hidungnya yang tidak gatal. “Tapi gue janji, A! Secepatnya gue bakal cari manajer baru buat lo,” imbuhnya, cari aman melihat Star yang seolah kepalanya mengeluarkan asap.

Star berusaha mendinginkan otak, dia tercenung sebentar. Berharap ini adalah mimpi buruk yang akan segera usai. Namun, adakah mimpi yang membuat dia bisa merasakan denyut nadinya sendiri dengan sangat jelas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status