Share

Akar Masalah

[H-HALO, CIA.]

Stacya telah beralih ke kamarnya. Dia merasa lega, akhirnya Johnny mengangkat panggilan telepon yang sudah ke sekian kali dia lakukan. Gendang telinganya hampir pecah mendengar nada sambung yang terus-menerus diperdengarkan sebelum panggilan itu terjawab.

“Johnny, tolong jawab dengan jujur ya. Sebenarnya, apa yang terjadi sama Aa? Kenapa sikapnya aneh banget? Dia nggak pernah kayak gini sebelumnya.” Stacya menggelengkan kepala.

[Aa dalam masalah besar, Cia. T-tapi gue—]

Johnny yang berbicara terbata-bata membuat Stacya geregetan. Langsung saja dia memotong kalimat lelaki itu dengan decak sinisnya. "Masalah besar? Ambil sikap, dong. Lo itu manajernya Aa. Gue nggak mau tahu, ya, pokoknya—”

[Gue bisa jelaskan, Cia. Jadi gini ….]

Tadi siang, di salah satu studio di gedung Chatalk, Star masuk ke dalam bingkai acara interviu yang sebentar lagi akan dimulai. Sambil menunggu Maresha, si tidak bisa diam itu menjajal bangku besi berbentuk lingkaran yang merupakan properti syuting. Johnny diam-diam memerhatikan dari balik layar bersama beberapa kru. Memangnya enak! Banyak gaya, sih! Dia terkekeh mendapati Star hampir terjengkang dari bangku, tanpa menyambangi artis yang mencoba memberitahukan sesuatu dengan bahasa tubuh.

“Bangkunya berbahaya, nih! Nggak bisa dipakai. Bilang ke tim artistiknya, Bang!” Star menyilangkan kedua tangannya.

Lokasi syuting sedang tidak kondusif. Para kru mondar-mandir ke sana kemari sambil memberi instruksi dengan suara yang tidak pelan. Telinga Johnny yang terlalu sering disumpal earphone, mana bisa berfungsi secara maksimal dalam kondisi seperti itu. Star gelisah melihat Maresha makin dekat ke arah set. Gawat! Dia harus memberi tahu perempuan yang sibuk menebar senyuman sampai tidak sempat melihat wajahnya.

“Kenapa, sih? Sakit perut?” tanya Maresha, sekilas mengamati wajah Star. Tubuhnya yang ideal masih mengatur posisi enak di bangku itu.

Star beranjak dari bangku. “Sebentar, mau bilang ke tim artistik kalau—”

“Syuting sudah mau dimulai.” Maresha membuang muka, kepalanya yang berbentuk lonjong menghadap ke kamera utama.

Camera?!

Roll!

Action!

Tak lama setelah itu, seseorang yang memegang papan hitam muncul lalu terdengar bunyi “Ctak!”. Mau tidak mau, Star harus menyembunyikan kekhawatirannya dan berharap tidak ada kejadian buruk yang akan terjadi.

“Halo, saya Staryan Kohler!”

“Saya Maresha Chessy!”

“Kami dari …”

“Way Back Home!”

“Jadi, hari ini kita ditantang sama Chatalk.”

“Buat main?” lirik Maresha, matanya melengkung bagai bulan sabit begitu dia tersenyum sumringah.

“Q&A!” Star menoleh ke Maresha, kedua tangannya menepuk sebuah wadah kaca berbentuk bulat. Kemudian, dia mengambil salah satu lintingan kertas dan memberikannya pada Maresha.

Maresha membaca bagian atas kertas. “Ini dari … @hanyaterkenang.”

“Hanya terkenang? Kok, sedih?” potong Star.

Maresha cekikikan lalu manggut-manggut. “Oh, ini pertanyaan buat kamu, Star. Syuting Way Back Home kan udah selesai. Star suka kangen nggak sama Maresha yang gemesin itu?” Hm, dia mengetuk dagunya dengan jari telunjuk.

Lelaki yang mengenakan kaus bermodel dan warna sama dengan perempuan di sebelahnya itu menggantung kata-kata di balik bibirnya yang masih terkunci. “Nggak, sih. Soalnya Maresha sering chat di sela-sela kesibukannya. Apalagi kita masih ada promosi film, kan.”

Star melakukan hal yang sama seperti Maresha lakukan di awal. “Oke, pertanyaan selanjutnya.” Sebuah trik mengalihkan topik terlaksana. “Kata @kucingkampung, kalau disuruh milih … Maresha pilih Star atau Dimas buat jadi cowok kamu?”

“Bisa pilih @kucingkampung saja, nggak?” Maresha tertawa secara pelan dan konyol. “Oke, ini pilihan yang sulit, sih. Star itu nyata, sedangkan Dimas hanya tokoh fiksi. Tapi di sini, aku bakal coba bayangkan kalau Dimas itu benar-benar hidup.” Bibirnya yang tampak licin itu membuka dan mengatup.

“Gue curiga, nih,” sela Star, menyipitkan mata fokus ke kamera.

“Jelas, aku pilih Dimas. Dimas itu cool, gigih, dan pejuang cinta sejati. Yah, meski awalnya bukan aku yang diperjuangkan.” Kalau dibuat grafik, melonjak naik di awal tetapi akhirnya turun secara drastis. Itulah intonasi Maresha barusan.

“Coba sekarang … alasannya difokuskan ke aku,” pinta Star, tidak mau kalah.

“Aku malas saja sama kamu, Star. Baperan!” Maresha menjulurkan ujung lidahnya ke arah Star. Akhirnya, dia dapat kesempatan balas dendam juga. Memangnya enak, diketawain kru sampai suaranya ikut terekam.

“Baperan? Enggaklah!” sanggah Star defensif, kedua tangannya yang terulur dengan telapak tangan terangkat mengibas cepat.

Maresha tak kuasa menahan tawa dari hati secara kencang. Tubuhnya yang tidak bisa diam mendaratkan pukulan kecil pada lengan Star. Namun sayang, kebahagian perempuan itu tidak berlangsung lama. Sesuatu yang buruk telah terjadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status