Jakarta, 2025
Suara roda koper bergesekan dengan lantai lorong yang dingin. Suara itu terdengar terlalu nyaring di antara keheningan malam, seolah menertawakan langkah kaki Kinan yang goyah, lunglai, dan kehilangan arah.Nomor 12B. Apartemen kecil di ujung koridor. Dulu, tempat ini adalah ruang persembunyian yang nyaman setelah lembur, tumpukan desain, dan dunia luar yang terlalu bising. Tapi malam ini, ia bukan rumah. Ia hanya bangunan tua yang menampung tubuh yang terlalu letih untuk berdiri.
Kinan merogoh kantung jaketnya. Kunci itu masih ada. Gagang pintu berdebu, suara kuncinya keras saat diputar. Saat pintu terbuka, aroma lembab langsung menyambut—bau cat lama, udara pengap, dan kesepian yang tak pernah benar-benar pergi.
Gelap. Tak ada cahaya. Ia tak menyalakan lampu.
Apartemen itu kosong. Terlalu kosong. Furnitur yang tersisa hanya meja kecil dekat jendela dan satu lemari buku berisi folder-folder pelatihan lama. Semua perabotan lainnya sudah lama ia sumbangkan, pikirnya, siapa sangka tempat ini akan kembali jadi miliknya lagi?
Ia menyeret kopernya masuk, membiarkannya tergeletak begitu saja. Jaketnya ia lepas, dilempar ke sofa yang berdebu. Lalu ia berdiri di tengah ruangan, memandangi tembok pucat itu—datar, bisu, dan saksi bisu dari perempuan yang dulu punya mimpi sederhana: dicintai dan mencintai dengan utuh.
Kinan menunduk pelan. Ia jatuh berlutut di lantai, tubuhnya berguncang perlahan. Tangannya memeluk lutut, seperti anak kecil yang tersesat dan menunggu seseorang datang menjemput.
Tapi tidak ada siapa-siapa.
Tidak ada Isaac.
Tidak akan ada lagi Isaac.
Isak tangisnya pecah—bukan keras, bukan meraung. Tapi dalam. Dalam sekali. Suaranya pelan, tapi nyaring di dada. Seperti seseorang yang mencoba menahan banjir dengan tangan kosong.
Ia menarik napas, tersendat.
“Kamu mandul.”
Kalimat itu tidak pernah diucapkan langsung. Tapi tersirat dalam setiap senyum dingin ibu mertuanya, dalam setiap kalimat “Kami hanya ingin cucu,” atau “Kinan perempuan baik, sayang sekali kalau tidak bisa memberi keturunan.”
Isaac diam saja saat ibunya berkata seperti itu. Diam. Tak menjawab. Tak membela.
Diam yang lebih kejam dari penghinaan apa pun.
Kinan memeluk dirinya lebih erat. Ia ingin berteriak, tapi suaranya hilang. Ia ingin marah, tapi tak ada energi tersisa. Ia hanya duduk di sana, di lantai berdebu, menangis seperti perempuan yang baru kehilangan segalanya—dan memang begitu kenyataannya.
Ia kehilangan rumah. Kehilangan cinta. Kehilangan harga dirinya.
Karena betapapun ia menyangkal, kata itu menghantam ke dalam: mandul.
Dan di dunia yang percaya cinta harus menghasilkan keturunan, Kinan tak punya tempat lagi.Air matanya terus mengalir. Lantai dingin tak membuatnya ingin berpindah. Ia hanya menatap kosong ke arah jendela yang tertutup tirai tipis, membiarkan bayangan malam jatuh di wajahnya yang pucat.
Lima tahun menikah. Lima tahun percaya bahwa cinta cukup.
Ternyata tidak.
Cinta tidak cukup untuk melawan garis keturunan. Tidak cukup untuk menahan ego seorang ibu yang ingin cucu laki-laki. Tidak cukup... untuk mempertahankan satu-satunya pria yang dulu berjanji tak akan meninggalkannya apa pun yang terjadi.
“Jangan khawatir, aku akan memberikan semua hakmu.”
Kinan memejamkan mata. Kalimat itu kembali terngiang. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia mengutuk kata ‘hak’. Karena hak tak bisa menggantikan hati yang pergi. Hak tak bisa mengisi tempat tidur yang kini kosong. Hak tak bisa menghapus rasa gagal sebagai seorang istri. Sebagai seorang perempuan.
Ia menggigit bibir. Tubuhnya masih berguncang, tapi kali ini lebih sunyi.
Isaac mencintainya dulu. Kinan tahu itu. Tapi cinta Isaac tidak cukup kuat untuk bertahan saat dunia mulai menuntut hal-hal yang tak bisa ia berikan.
Dan sekarang, Isaac akan menikahi perempuan lain.
Perempuan yang bisa memberinya keturunan. Perempuan yang akan memanggil wanita lain sebagai ibu mertua dengan bangga. Perempuan yang akan tidur di kamar yang dulu milik mereka berdua.
Bayangan itu menusuk.
Kinan berdiri perlahan, tubuhnya gemetar. Ia berjalan ke lemari tua dan menarik laci terbawah. Di sana masih ada selimut tipis, sisa malam-malam lembur di masa lalu. Ia membentangkannya di lantai, lalu berbaring, memunggungi dunia.
Malam itu, apartemen lama menjadi saksi perempuan yang tidak lagi punya tempat untuk pulang.
Dan Kinan, untuk pertama kalinya sejak kepergiannya... benar-benar hancur.
Ia menatap langit-langit yang gelap, memaksakan matanya tetap terbuka walau tubuhnya lelah. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan itu muncul: Isaac berdiri mengenakan jas abu-abu, menatap perempuan lain dengan cara yang dulu hanya ditujukan padanya. Di altar. Di pelaminan. Di foto-foto yang akan tersebar, disukai, dirayakan.
Dan Kinan... tak lagi bagian dari cerita itu.
Ponselnya bergetar di dekat koper. Ia tak menjangkaunya. Ia tahu siapa yang mengirim pesan. Temannya. Kantor. Atau mungkin... seseorang dari keluarga Isaac, dengan kalimat basa-basi: “Semoga Kinan tetap kuat.”
Kuat. Kata itu sudah terlalu sering dilempar padanya, seolah menjadi perempuan yang gagal hamil dan ditinggal itu tugas sederhana yang bisa disikapi dengan senyum dan secangkir teh.
Kinan menatap langit-langit kosong, dan pikirannya mulai menggali lebih dalam.
Ia ingat pernah berkata pada Isaac suatu malam, "Kalau suatu hari aku gak bisa ngasih kamu anak, kamu masih akan tetap cinta sama aku, kan?"
Dan saat itu, Isaac hanya mencium keningnya. Tidak menjawab. Sekarang ia tahu kenapa. Karena jawaban itu memang tidak pernah ada.
Bukan karena Isaac jahat. Tapi karena cinta kadang tak punya cukup kekuatan untuk melawan dunia.
Dan Kinan, pada akhirnya, tak cukup untuk melawan garis keturunan.
Tangannya meraba bagian bawah lehernya, mencari liontin kecil pemberian Isaac. Sudah ia lepas tadi sore. Ia taruh di dalam kantong jaket bersama cincin kawin mereka. Ia tak punya keberanian untuk membuangnya, tapi tak sanggup lagi memakainya.
Ia bangkit perlahan dari lantai dan berjalan menuju kamar mandi kecil di sudut ruangan. Cermin di sana buram, dipenuhi debu dan bercak kelembaban. Ia menyeka permukaannya dengan lengan bajunya, lalu menatap pantulan dirinya sendiri.
Wajah itu... seperti asing.
Mata yang sembab. Kulit yang pucat. Pundak yang merosot. Di balik pantulan itu, Kinan melihat perempuan yang gagal menjadi istri. Gagal menjadi ibu. Dan gagal mempertahankan apa yang ia pikir tak akan pernah hilang.
Ia tertawa kecil—tawa yang nyaris seperti cegukan. Lalu berkata lirih, “Lucu ya, ternyata semua orang bisa diganti, termasuk aku.”
Air matanya jatuh lagi, dan kali ini ia biarkan.
Karena malam ini tidak ada yang menuntutnya kuat. Tidak ada yang menuntutnya tersenyum. Ia tidak harus menjelaskan apa pun kepada siapa pun. Ia hanya perlu... patah.
Sepenuhnya.
Dan ia tahu, esok pagi mungkin akan tetap hening, tetap sepi. Tapi malam ini, biarlah tubuhnya menjadi reruntuhan. Karena hanya dari reruntuhan, sesuatu bisa dibangun kembali—kalau ia masih sanggup.
Kinan kembali ke ruang tengah, berbaring di atas selimut tipis yang ia bentangkan di lantai. Ia menariknya sampai ke dagu, lalu memejamkan mata.
Malam menelannya pelan-pelan. Dan satu-satunya suara yang tersisa di apartemen itu hanyalah isaknya yang tertahan, dan detak jam tua di dinding yang seolah berkata:
kamu sendirian sekarang.
Ruang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,
Kamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir
Apartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,
Dua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y
Ruang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,
Sejak Kinan meninggalkan rumah, keheningan menjadi penghuni utama setiap ruangan. Isaac berjalan di lorong yang sama setiap hari, membuka pintu kamar yang kini terasa terlalu luas, menyalakan lampu yang seolah hanya menyoroti kesepian. Tidak ada lagi aroma masakan yang menyambutnya, tidak ada suara langkah ringan, tidak ada tawa lembut yang dulu sering memecah keheningan. Yang tersisa hanyalah kenangan yang terus berputar di kepalanya, semakin menjerat setiap kali ia berusaha melupakan.Ia duduk di kursi ruang makan malam itu, menatap gelas kosong di depannya. Tangannya bergetar, rahangnya mengeras. Ia masih mencintai Kinan. Itu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal, meski seribu alasan mencoba menentangnya. Ia mencintai perempuan itu dengan segala yang ia punya, dan justru karena itulah luka ini semakin dalam.Namun bersamaan dengan cinta, ada suara lain yang terus berbisik: suara ibunya, suara keluarga besar, suara tuntutan yang menekannya tanpa henti. Seorang laki-laki harus meningg