Belgia, 2015.
Musim gugur sedang cantik-cantiknya. Langitnya bersih, udara menggigit pelan di kulit, dan daun-daun maple menghujani trotoar dengan warna tembaga yang memabukkan. Kinan berdiri di depan kedai kopi kecil di pojok Rue de Bruxelles, mengatupkan kedua tangannya di cangkir kertas yang hangat. Pelatihan hari pertama belum dimulai, tapi ia sudah sampai terlalu pagi.
Ia menarik napas dalam-dalam. Wangi kopi, wafel hangat, dan sedikit aroma jalanan Eropa yang sibuk namun tidak bising.
Dan di situlah titik awalnya.
Seorang pria—tinggi, dengan coat gelap, dan syal abu-abu longgar di leher—berjalan tergesa di trotoar yang licin. Tangannya menenteng tas kerja, dan dari raut wajahnya, jelas ia sedang berusaha mengejar waktu.
Tepat saat pria itu melangkah cepat di sisi Kinan, langkahnya terpeleset ringan karena daun yang licin. Refleks, ia bergeser—dan tubuhnya menyenggol bahu Kinan yang sedang menyeruput kopi.
Glek!
Cangkir itu oleng. Tumpah. Tangan Kinan refleks melindungi bajunya, tapi tetesan hangat itu sempat mengenai punggung tangannya.
“Ah maaf!” suara pria itu rendah dan buru-buru. Ia menahan tubuhnya agar tak jatuh, lalu menoleh dengan cepat. “Astaga, saya... saya nggak lihat—”
Kinan mengangkat wajahnya.
Mereka saling pandang. Satu detik. Dua detik. Dan dunia jadi senyap.
Isaac.
Dia punya mata hitam pekat, dengan kerutan samar di bawah kelopak karena begadang atau terlalu banyak membaca. Suaranya tadi panik, tapi kini menurun, seperti orang yang baru saja lupa cara bicara.
“Saya… saya beneran minta maaf. Saya nggak—”
“Gak apa-apa, saya juga tadi berdiri terlalu deket trotoar,” potong Kinan cepat-cepat.Lalu mereka saling diam. Kinan menggigit bibir bawahnya, menunduk, pura-pura membersihkan tangan yang padahal hanya sedikit basah. Isaac garuk-garuk tengkuknya, lalu mencoba senyum canggung yang malah bikin Kinan ingin kabur.
“Eh... kamu juga peserta pelatihan internasional dari DGI Group ya?” tanya Isaac akhirnya, menunjuk badge di leher Kinan.
Kinan mengangguk. “Divisi UX. Dari cabang Jakarta.”
“Ah,” Isaac menepuk dadanya pelan. “Saya dari risk assessment, cabang London. Pantas gak pernah lihat kamu di kantor pusat.”
“Ya, dan... saya juga gak sering ke lantai kamu sih,” jawab Kinan sambil menahan tawa.
Mereka tertawa. Pendek. Canggung. Tapi hangat.
“Namaku Isaac,” ucapnya, mengulurkan tangan.
“Kinan,” jawab Kinan, menjabat tangan itu singkat. Terlalu cepat. Terlalu hangat. Terlalu deg-degan.“Boleh aku tebak?” Isaac mencondongkan tubuh sedikit. “Kamu pasti bukan morning person. Tapi selalu datang lebih pagi untuk menghindari social awkwardness, ya?”
Kinan langsung melotot kecil. “Hah? Kamu baca pikiran, ya?”
“Tebakan tepat berarti?” Isaac terkekeh, lalu melangkah mundur. “Aku juga begitu. Tapi sekarang aku jadi bikin malu. Numpahin kopi cewek asing di negara orang. Mengesankan banget.”
Kinan tersenyum. Manis. “Gak papa. Mungkin dengan begini kita nggak perlu basa-basi pas masuk kelas nanti.”
Mata mereka bertemu lagi.
Dan di momen kecil, sederhana, dingin, dan wangi kopi itu—cinta diam-diam mulai tumbuh. Pelan. Tapi pasti.
***
Beberapa jam kemudian, di ruang pelatihan lantai tiga...
Kinan baru saja duduk, membuka laptop dan mencatat jadwal hari pertama ketika suara kursi di sebelahnya digeser. Ia menoleh.
Isaac.
Ia duduk di kursi samping Kinan. “Kebetulan banget ya,” ucapnya, meski jelas ia sengaja memilih tempat itu.
Kinan pura-pura tak paham. “Iya. Dunia ini kecil banget.”
“Dan Belgium ini sempit banget,” balas Isaac cepat, senyum menyeringai.
Kinan mendesah. “Tolong jangan duduk di sini kalau kamu berniat ngejek aku seharian.”
Isaac tertawa. “Tapi ini salah satu cara biar kita gak awkward. Kita kan udah ‘kenalan’ tadi pagi,” ujarnya sambil memberi tanda kutip di udara.
Kinan menutup wajahnya dengan buku catatan. “Tolong... diam.”
“Tolong jangan terlalu manis, nanti aku makin nggak bisa fokus,” bisik Isaac pelan-pelan.
Kinan melempar pandang ke jendela, tapi senyumnya gagal ditahan.
Pelatihan dimulai. Instruktur mulai menjelaskan agenda selama dua minggu ke depan—tentang riset perilaku, pemetaan risiko, metode pendekatan lintas divisi. Tapi bagi Kinan, suara-suara di ruangan itu hanya gemuruh samar. Karena di sebelahnya, Isaac sesekali mencatat, sesekali menghela napas, dan... sesekali melirik diam-diam.
Kinan berpura-pura fokus pada layar laptopnya, padahal jantungnya berdetak seperti habis lari maraton. Ia tak biasa duduk sedekat ini dengan orang asing. Terlebih orang asing yang aromanya mengganggu konsentrasi dan punya lesung pipi setiap kali menyeringai.
Di sela istirahat pertama, Isaac menyenggol sikunya.
“Mau ke kantin bareng?” tanyanya santai, seolah mereka sudah kenal seminggu.
Kinan menoleh pelan. “Bukannya kamu anak risk assessment? Biasanya tipe kamu makan cepat, balik cepat, dan ogah ngobrol.”
Isaac pura-pura mengangguk. “Benar. Tapi hari ini aku bikin pengecualian. Karena tipe UX yang duduk di sebelahku terlalu... lucu buat diabaikan.”
Kinan terkekeh, menunduk. Tangannya meremas buku catatan tanpa sadar. “Kamu tuh ya...”
Mereka pun jalan berdampingan menuju kantin. Langkah Kinan pelan, menyesuaikan dengan irama boots-nya yang berbunyi lirih di lantai marmer. Isaac di sampingnya bercerita tentang cuaca London, tentang betapa menyebalkannya presentasi manajer risk cabangnya, dan tentang betapa ia baru kali ini merasa senyaman ini dengan orang asing.
Saat duduk berhadapan, mereka sama-sama memesan roti lapis dan teh hangat.
“Aku kira kamu tipe kopi hitam pekat,” ujar Isaac sambil meniup tehnya.
“Kenapa?” tanya Kinan.
“Karena kamu kelihatan... tajam. Tapi ternyata kamu pesen teh chamomile. Lembut juga ternyata.”
Kinan mengangkat alis. “Dan kamu kupikir anak eksekutif London yang suka diet green juice. Tapi ternyata ngunyah sandwich dua lapis dengan keju meleleh.”
Isaac pura-pura tersinggung. “Aku punya lapisan, Kin. Banyak. Jangan tertipu permukaan.”
Kinan membeku sesaat. Ia tidak sadar sejak kapan Isaac memanggilnya Kin.
Tiba-tiba semuanya terasa lebih dekat. Lebih... personal.
Waktu kembali ke ruang pelatihan, mereka berjalan lebih lambat dari peserta lain. Tertawa di lorong, saling melontarkan tebakan soal siapa yang akan telat besok pagi. Dan tepat sebelum masuk ruangan, Isaac berhenti.
“Kinan,” katanya pelan.
“Hm?”
“Besok pagi... kalau aku nyenggol kamu lagi, itu bukan karena licin ya.”
Kinan menatapnya, bingung. “Maksudnya?”
“Siapa tahu... aku sengaja,” ujarnya cepat sambil menyelinap masuk lebih dulu.
Kinan berdiri terpaku di depan pintu. Wajahnya memanas. Jantungnya tidak sopan.
Dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun hidupnya, Kinan tidak merasa sendiri di tempat asing. Ia merasa... dilihat. Diperhatikan. Dianggap nyata.
Malam itu, di kamar hotelnya yang sunyi, Kinan menatap ponselnya yang hening. Jari-jarinya mengusap layar tanpa tujuan, tapi pikirannya masih dipenuhi Isaac—cara bicara yang santai, tatapan yang tidak menuntut, dan senyum kecil yang muncul tanpa diminta.
Ia tahu ini konyol. Baru sehari. Tapi ia juga tahu, kadang hidup memang memberi kejutan dalam bentuk paling sederhana: pria yang menumpahkan kopi di pagi hari.
Dan mungkin... cinta memang dimulai dari hal-hal sekecil itu.
Ruang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,
Kamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir
Apartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,
Dua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y
Ruang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,
Sejak Kinan meninggalkan rumah, keheningan menjadi penghuni utama setiap ruangan. Isaac berjalan di lorong yang sama setiap hari, membuka pintu kamar yang kini terasa terlalu luas, menyalakan lampu yang seolah hanya menyoroti kesepian. Tidak ada lagi aroma masakan yang menyambutnya, tidak ada suara langkah ringan, tidak ada tawa lembut yang dulu sering memecah keheningan. Yang tersisa hanyalah kenangan yang terus berputar di kepalanya, semakin menjerat setiap kali ia berusaha melupakan.Ia duduk di kursi ruang makan malam itu, menatap gelas kosong di depannya. Tangannya bergetar, rahangnya mengeras. Ia masih mencintai Kinan. Itu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal, meski seribu alasan mencoba menentangnya. Ia mencintai perempuan itu dengan segala yang ia punya, dan justru karena itulah luka ini semakin dalam.Namun bersamaan dengan cinta, ada suara lain yang terus berbisik: suara ibunya, suara keluarga besar, suara tuntutan yang menekannya tanpa henti. Seorang laki-laki harus meningg