Jakarta, 2017.
Musim hujan yang basah, tapi hati Kinan tak pernah terasa lebih hangat.
Cinta bisa membuat orang lupa bagaimana rasanya kesepian. Dan saat itu, Kinan hidup dalam pelukan hangat yang tak pernah ia sangka akan jatuh ke dalam pelukannya—Isaac.
Hubungan mereka sudah berjalan hampir satu tahun sejak kembali dari pelatihan di Belgia. Tapi semuanya terasa seperti minggu pertama: penuh kejutan, perhatian kecil, dan gestur-gestur tak terduga yang selalu membuat Kinan tersenyum diam-diam saat menyetir pulang.
Suatu sore, saat Kinan baru saja selesai rapat panjang di kantor pusat dan berjalan lesu ke basement parkir, ia menemukan mobilnya dihiasi post-it warna-warni. Di kaca depan, satu kertas putih besar menempel: “I know you hate meetings, but I still think you look the cutest when you’re annoyed. Let’s go get dinner. No negotiation.” – Isaac
Kinan tertawa. Sendirian, keras, sampai dua petugas parkir melirik penasaran.
Tak lama, Isaac muncul dari balik mobil—membawa kantong berisi bubble tea dan dua bungkus makanan Jepang favorit mereka. Tanpa banyak bicara, ia mengulurkan minuman ke Kinan dengan senyum yang nyaris kekanakan.
“Ngambek nggak jadi?” tanyanya ringan.
“Ngambeknya udah leleh sama gula boba,” sahut Kinan.
Mereka makan di dalam mobil, dengan jendela sedikit terbuka, musik pelan, dan tawa-tawa kecil di antara suapan.
“Kadang aku takut,” gumam Kinan tiba-tiba, menatap ke luar jendela.
Isaac menoleh, menggenggam tangan Kinan di pangkuannya. “Takut apa?”
“Takut semuanya terlalu bahagia,” jawab Kinan pelan. “Takut ini cuma singgah. Atau kamu cuma sementara.”
Isaac mencium punggung tangan Kinan, lalu berkata dengan suara yang tenang tapi dalam, “Aku bukan tamu. Aku rumahmu, Kin.”
Kinan tak membalas. Tapi matanya berkaca-kaca.
Isaac bukan hanya pacar. Ia adalah pelukan hangat di tengah malam tanpa alasan. Ia adalah suara yang selalu berkata, “Hari ini kamu udah cukup kuat, gak perlu sempurna.” Ia adalah kejutan kecil di laci meja kerja, roti isi coklat di tas, dan pelukan mendadak di tengah mal saat orang lain menatap.
Ia adalah alasan Kinan percaya cinta tidak perlu diumumkan ke dunia, cukup dihayati setiap hari.
Suatu malam, saat Kinan kelelahan setelah revisi proyek besar, ia membuka pintu apartemennya dan menemukan ruangan gelap. Tidak ada suara, tidak ada lampu. Tapi dari kamar terdengar alunan piano pelan. Ia masuk perlahan. Di dalam kamar, Isaac duduk di depan keyboard digital pinjamannya, memainkan lagu favorit mereka—“River Flows in You.”
Di ranjang, ada satu mangkuk sup ayam buatan Isaac. Hangat. Aromanya membuat dada Kinan sesak.
“Aku tahu kamu bakal pulang telat. Jadi aku izin ke satpam. Kamu gak keberatan ‘kan aku numpang masuk?”
Kinan tidak menjawab. Ia hanya melangkah pelan dan duduk di samping Isaac. Kepalanya bersandar di bahu pria itu. Lalu air mata jatuh, tanpa aba-aba.
Isaac tidak panik. Ia hanya mengelus kepala Kinan pelan, lalu berkata, “Kamu gak harus kuat di depanku, Kin. Aku cukup kuat buat kita berdua.”
Di malam lain, saat mereka berjalan di trotoar Senopati setelah nonton film yang mengecewakan, Isaac tiba-tiba berhenti dan menarik Kinan ke bawah pohon. Hujan rintik turun perlahan.
“Kamu pernah bayangin gak,” ujar Isaac sambil menatap langit, “kita tua bareng? Kamu masak dengan celemek, aku nyuapin anak kita yang susah makan. Lalu kamu ngomel karena aku nyelipin coklat di tas anak kita.”
Kinan tertawa. “Kamu yang bayangin, aku sih enggak.”
“Yakin gak bayangin?” tanya Isaac, menunduk, wajahnya hanya sejengkal dari Kinan.
Kinan menghela napas. “Kadang bayangin. Tapi takut berharap.”
“Harapan kamu aman sama aku,” jawab Isaac, lalu menciumnya perlahan di bawah rintik hujan.
Dan di sana, dalam pelukan yang sederhana, Kinan percaya: ia dicintai. Dengan utuh. Dengan yakin.
Cinta mereka bukan ledakan kembang api, bukan parade besar. Tapi kehadiran yang tenang. Yang datang saat dunia terlalu bising, yang diam saat semua kata tak lagi cukup.
Di tahun itu, 2017, Kinan mencatat satu kalimat di jurnal kecilnya:
"Kalau suatu hari aku harus meragukan banyak hal, aku harap aku tak pernah meragukan Isaac."Ia belum tahu, bahwa cinta paling manis kadang adalah cinta yang diam-diam berubah arah. Bahwa janji manis di bawah hujan, bisa terlupakan dalam ruang rumah yang terlalu sunyi.
Tapi malam itu, di tahun itu—Kinan bahagia.
Dan itu... cukup untuk saat itu.
***
Suatu akhir pekan, Isaac mengajak Kinan berkendara keluar kota. Tanpa rencana, tanpa GPS, hanya memutar lagu-lagu lama yang mereka sukai dan membiarkan angin masuk dari jendela.
“Kadang ya,” ujar Isaac sambil memegang setir dengan satu tangan dan menggenggam tangan Kinan dengan tangan yang lain, “aku pengin waktu berhenti. Biar kita gak perlu mikirin besok, gak perlu balik ke Jakarta, ke email kantor, ke revisi laporan...”
“Gak usah sok mellow,” sahut Kinan pura-pura ketus. “Kamu tuh kalau pagi masih baca email sambil nyuapin aku roti.”
“Tapi kan aku nyuapin,” Isaac tertawa, dan Kinan ikut tertawa.
Mobil mereka menepi di pinggir danau kecil yang tak ramai. Isaac menggelar kain piknik di tanah dan membuka bekal yang ia bawa: nasi kepal buatan sendiri, buah potong, dan dua botol jus jeruk.
“Kamu bikin ini semua?” Kinan bertanya tak percaya.
“Ya... kamu pikir aku cuma bisa ngoding?”
“Jujur aja ya, aku kira kamu cuma bisa pesen online.”
Mereka duduk berdampingan, bersandar di batang pohon, memandangi air danau yang tenang. Isaac menggenggam tangan Kinan dan berkata, “Aku tahu kamu orangnya logis banget, Kin. Kamu bisa hitung risiko, kamu bisa baca tanda-tanda. Tapi boleh gak... sekali aja, kamu percaya sesuatu tanpa logika?”
“Percaya apa?”
“Bahwa aku akan menikahi kamu. Bahwa kamu satu-satunya rumah yang ingin aku pulangin.”
Kalimat itu menusuk lembut. Bukan karena mengagetkan, tapi karena begitu tulus. Kinan tak menjawab. Ia hanya bersandar lebih dekat, dan dalam hati, ia tahu—ia percaya.
Dan kepercayaan itu tak pernah main-main.
Setiap ulang tahun Kinan, Isaac selalu datang dengan ide gila. Pernah suatu malam, Isaac menyewa layar tancap di atap sebuah gedung kosong yang sudah lama tidak digunakan. Ia membawa Kinan ke sana, menyalakan film dokumenter pendek yang berisi klip-klip rahasia: video candid Kinan tertidur di kereta, Kinan tertawa di kafe, Kinan membaca buku sambil mendengarkan lagu favorit mereka.
Di akhir video, satu kalimat muncul: “If I had to choose all over again, I’d still choose the girl who snorts when she laughs.”
Kinan tak bisa berkata-kata malam itu. Hanya memeluk Isaac begitu erat, seolah jika ia melepas pelukan itu, semuanya akan menguap seperti mimpi.
Kinan pernah menulis dalam buku catatannya: "Kalau cinta adalah rumah, maka Isaac adalah lantainya, temboknya, atapnya, dan pintunya. Aku tinggal di dalamnya, dan tak pernah ingin keluar."
Tapi rumah kadang retak bukan karena badai, melainkan karena diam yang terlalu lama.
Dan cinta yang paling sunyi... seringkali yang paling menyakitkan saat pergi.Namun pada tahun itu, 2017, di tengah semua tawa, kejutan, dan hujan rintik—tak ada yang lebih nyata dari kenyataan bahwa Kinan sangat, sangat dicintai.
Dan itu... adalah dunia kecil yang ingin ia simpan selamanya.
Ruang aula hotel sore itu dipenuhi cahaya lampu kristal yang berkilau, memantulkan warna keemasan ke segala arah. Tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat keluarga besar Isaac sudah memenuhi kursi-kursi yang disusun rapi. Di meja depan, tersaji aneka hidangan mewah, lengkap dengan rangkaian bunga mawar putih dan lilin tinggi yang menyala tenang.Dari luar, semuanya tampak sempurna. Senyum, tawa, bisikan kagum—sebuah acara lamaran yang sederhana namun elegan.Namun, di tengah gegap gempita itu, Isaac duduk dengan wajah datar. Jas hitamnya jatuh sempurna, dasinya terikat rapi, tubuhnya tegap. Tetapi matanya kosong, bibirnya tertutup rapat, seolah ia hadir di sana hanya sebagai patung hidup yang sedang dipamerkan.Monika, calon pengantinnya, duduk di sampingnya. Wajahnya sedikit merona karena gugup, jemarinya bergetar saat memegang lipatan gaunnya. Dalam hati ia masih memikirkan satu hal: Isaac belum benar-benar bercerai dari Kinan. Bayangan itu menghantui, menimbulkan resah. Namun,
Kamar Isaac malam itu sunyi, hanya ditemani cahaya lampu meja yang temaram. Di atas nakas, segelas air sudah setengah basi karena tidak pernah disentuh. Isaac duduk di tepi ranjangnya, bahunya luruh, wajahnya menunduk menatap lantai seolah di sana ada jawaban yang ia cari. Besok adalah hari lamaran yang diatur ibunya. Besok ia akan duduk berdampingan dengan Monika, perempuan yang bahkan tidak pernah ia cintai.Namun, malam itu, sebelum segala sesuatu yang dipaksakan benar-benar terjadi, pintu kamarnya terbuka. Dira berdiri di ambang pintu dengan wajah merah karena emosi. Ia tidak peduli lagi bahwa semua orang di rumah bisa mendengarnya.“Mas...” suara Dira serak, tertahan amarah. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya besok? Apa kamu benar-benar akan mengkhianati Kinan dengan cara sekeji ini?”Isaac mengangkat kepalanya, matanya kosong. Tidak ada amarah, tidak ada senyum, hanya kehampaan yang membuat Dira semakin panas.“Kamu tahu, Mas, Kinan masuk rumah sakit minggu lalu!” suara Dir
Apartemen itu gelap dan pengap ketika Dira mendorong pintu masuk dengan kunci cadangan yang ia simpan. Bau lembap dan debu menyambutnya, bercampur dengan aroma basi dari makanan yang tidak disentuh di meja makan. Tirai jendela tetap tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyingkirkan kelam. Dira melangkah dengan hati berdebar, panggilan teleponnya pada Kinan sudah berhari-hari tidak dijawab, dan instingnya berteriak bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.“Kinan?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang kosong. Tidak ada jawaban.Dira menyingkirkan beberapa pakaian yang berserakan di lantai, melangkah cepat ke arah kamar. Pintu itu terbuka sedikit, menampakkan bayangan di dalam. Saat ia mendorongnya lebih lebar, jantungnya seakan berhenti.Kinan terbaring meringkuk di ranjang, tubuhnya tampak kecil, wajahnya pucat, bibirnya kering. Napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis, dan selimut kusut menutupi sebagian tubuhnya. Mata Kinan tertutup,
Dua bulan telah berlalu sejak malam itu—malam di mana koper merah tua menjadi saksi bisu perpisahan mereka. Dua bulan sejak Kinan melangkah keluar dari rumah yang pernah ia sebut rumahnya, meninggalkan semua kenangan, doa, dan cinta yang ia tabung selama lima tahun. Dua bulan sejak ia menutup pintu dengan air mata, berharap itu bukan penutup melainkan jeda.Kini ia duduk di tepi ranjang apartemen lamanya, tubuhnya kurus, bahunya ringkih, wajahnya pucat. Tirai jendela tetap tertutup rapat, cahaya matahari hanya menembus samar-samar, menciptakan bayangan kelabu yang menempel pada dinding kamar. Waktu baginya kehilangan makna. Pagi dan malam hanyalah pergantian warna di langit yang tak lagi ia hiraukan.Ia masih menunggu.Setiap bunyi notifikasi di telepon genggamnya membuat jantungnya berdegup. Ia berharap nama Isaac muncul di layar—sekadar sebuah pesan singkat, “Kinan, pulanglah.” Atau sebuah panggilan, suara yang dulu menjadi penenang malam-malamnya. Namun setiap kali layar menyala, y
Ruang tamu rumah ibu Isaac malam itu dipenuhi aroma teh melati yang baru saja diseduh. Cangkir-cangkir porselen berderet rapi di meja rendah, dan piring kecil berisi kue-kue basah sudah setengah kosong. Pertemuan dengan keluarga Monika baru saja usai. Wanita muda itu pulang bersama orang tuanya dengan wajah manis penuh harapan, meninggalkan kesan yang bagi banyak orang pasti menyenangkan. Namun bagi Isaac, pertemuan itu terasa seperti jerat yang semakin menutup lehernya.Ia duduk bersandar di sofa, tubuhnya kaku, wajahnya letih. Jarinya mengetuk pelan pada sandaran kursi, menahan gejolak yang sejak tadi mendesak dari dalam. Pandangannya kosong, seolah tidak benar-benar hadir di ruangan itu.Ibunya duduk di seberang, tegap dengan kebaya sederhana, wajahnya penuh wibawa. Senyum tipis masih bertahan di bibirnya, senyum yang bagi orang lain tampak lembut, tetapi bagi Isaac terasa seperti belati. Suaranya terdengar pelan, penuh kesabaran, namun setiap katanya menusuk.“Isaac,” ucap ibunya,
Sejak Kinan meninggalkan rumah, keheningan menjadi penghuni utama setiap ruangan. Isaac berjalan di lorong yang sama setiap hari, membuka pintu kamar yang kini terasa terlalu luas, menyalakan lampu yang seolah hanya menyoroti kesepian. Tidak ada lagi aroma masakan yang menyambutnya, tidak ada suara langkah ringan, tidak ada tawa lembut yang dulu sering memecah keheningan. Yang tersisa hanyalah kenangan yang terus berputar di kepalanya, semakin menjerat setiap kali ia berusaha melupakan.Ia duduk di kursi ruang makan malam itu, menatap gelas kosong di depannya. Tangannya bergetar, rahangnya mengeras. Ia masih mencintai Kinan. Itu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal, meski seribu alasan mencoba menentangnya. Ia mencintai perempuan itu dengan segala yang ia punya, dan justru karena itulah luka ini semakin dalam.Namun bersamaan dengan cinta, ada suara lain yang terus berbisik: suara ibunya, suara keluarga besar, suara tuntutan yang menekannya tanpa henti. Seorang laki-laki harus meningg