Share

8. Keputusan Nuri

"Ibu gak perlu ikut campur urusan rumah tangga saya!" Daniel menatap Bu Widya dengan marah. Suaranya menggelegar membuat Bu Widya sempat ciut, tetapi ia mencoba berani menantang tatapan Daniel yang seperti ingin menerkam mangsa.

"Saya pengganti ibu Nuri selama Bu Fatma tidak di Jakarta. Tentu saja ini menjadi urusan saya. Pasti Bu Fatma setuju anaknya minta cerai, jika modelam suaminya seperti kamu!" Balas Bu Widya tidak mau kalah. Daniel tertawa remeh.

"Ibu gak berkaca bagaimana anak lelaki Ibu yang menyia-nyiakan Nuri? Kenapa bru berisik sekarang?"

"Karena kemarin itu anak saya ketempongan jin. Jadinya nakal. Sekarang jin-nya udah pergi. Udah sana, perempuan kalau udah gak mau jangan dipaksa!" Bu Widya mengusir Daniel. Pria itu tidak punya pilihan, selain pergi dari rumah Nuri. Percuma juga berdebat dengan ibu-ibu tua, ia pasti kalah. Ditambah lagi, Nuri sama sekali tidak keluar saat ia berdebat dengan orang tuanya Dika.

"Nunggu apa lagi? Cepat sana pergi!" Bu Widya mendelik pada Daniel. Pria itu pun berjalan menjauh ke arah depan gang. Setelah memastikan Daniel pergi, Nuri pun membukakan pintu untuk Bu Widya.

"Halo, Ma." Nuri menyapa dengan ramah.

"Halo, Sayang. Gimana kabar kamu?" Nuri mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

"Sehat, Ma, ayo, masuk!" Nuri menutup pintu kembali setelah Bu Widya duduk di kursi tamunya.

"Mama mau minum apa? Biar saya buatkan," tanya Nuri dengan sopan. Bu Widya tersenyum begitu hangat.

"Mama udah minum di rumah. Ini mau ke rumah Dika, Mama sengaja mampir lihat kamu sebentar. Bagaimana masalah kamu dengan Daniel?" Nuri tidak langsung menjawab. Ia tengah memikirkan kalimat yang tepat untuk menjelaskan pada Bu Widya.

Di satu sisi, ia tidak mau membuat Bu Widya berharap bahwa ia akan kembali bersama Dika jika ia bercerai dengan suaminya. Di sisi lain, ia butuh Bu Widya untuk tempat curhat; menjelaskan semua masalah yang saat ini menimpa dirinya.

"Nuri gak tahu, Ma. Mas Daniel bilang, ia tidak akan menceraikan saya. Dia juga gak akan menikahi wanita bernama Angel itu," cerita Nuri dengan perasaan yang tidak nyaman.

"Lalu kamu percaya? Inilah susahnya kalau hanya menikah siri," tanya Bu Widya nampak sedikit kecewa. Ia merasa Nuri akan kembali lagi pada Daniel.

"Mungkin saya akan memberinya satu kesempatan lagi, Ma, tapi dengan catatan, saya gak mau tinggal di rumahnya. Saya gak mau tinggal di rumah yang sering didatangin oleh mertua saya. Saya mau rumah lain." Bu Widya pun mengangguk paham. Ia tidak bisa memaksa Nuri untuk tetap berpisah dari Daniel. Selain berdosa, ia juga tidak berhak dan tidak bisa cara merayu Nuri untuk tetap pada keputusan awalnya.

"Mama berharap kamu bisa balikan lagi dengan Dika. Dika sudah insyaf dan sudah mengucapkan talak pada Tika. Siang ini juga, Tika akan dijemput kakaknya untuk dibawa ke kampung." Nuri terkejut dengan pernyataan Bu Widya.

"Memangnya Tika mau dicerai, Ma?" tanya Nuri.

"Nggak, mana mau dia! Tapi dia juga gak punya kuasa untuk menahan Dika untuk tidak mengucapkan talak. Ya ampun, Nuri, Tika itu bau banget. Mama sampai gak bisa melukiskannya karena terlalu bau. Gimana mau dipertahankan jadi istri? Tika saja sampai di demo warga. Makanya, Dika udah duda, kamu juga hampir janda. Mama berharap kalian.... "

Nuri tertawa mendengar kalimat akhir Bu Widya. Wanita itu menggenggam kedua tangan ibu dari Dika itu.

"Nuri minta doanya dari Mama, agar Nuri diberikan yang terbaik, Ma. Saat ini, Nuri ingin memberikan kesempatan pada Daniel. Semoga saja dia konsisten dengan ucapannya." Bu Widya mendesah kecewa, tetapi ia tidak punya kuasa atas keputusan Nuri.

Dua puluh menit berbincang dengan Nuri, Bu Widya pun pamit untuk pergi ke rumah Dika. Ia yang awalnya ingin pergi bersama Fitri, memutuskan untuk mampir ke rumah Nuri terlebih dahulu, sedangkan Fitri sudah lebih duluan pergi ke rumah Dika untuk membantu beres-beres rumah.

"Assalamu'alaikum," sapa Bu Widya begitu ia turun dari mobil. Pintu rumah Dika terbuka dan samar-samar ia mendengar dua orang tengah berbincang.

"Dika, Fitri!" Seru Bu Widya sambil berjalan masuk ke dalam rumah.

"Wa'alaykumussalam. Akhirnya Mama datang juga. Saya kirain Mama gak jadi ke sini," jawab Dika diiringi senyuman. Fitri tersenyum sembari mengepel lantai rumah Dika.

"Mana Tika?" tanya Bu Widya.

"Di kamar belakang," jawab Dika sambil duduk di sofa ruang tengah.

"Jam berapa kakaknya mau datang menjemput? Ini sudah zuhur." Bu Widya terpaksa menaikkan kembali masker yang mengantung di lehernya.

"Mungkin sebentar lagi, Ma. Kita tunggu saja." Dika melihat jam dinding yang sudah berada di angka dua belas tepat. Sepuluh menit lagi akan tiba masuk waktu zuhur.

Nguing! Nguing

Suara sirine ambulan terdengar begitu nyaring.

"Innalillahi, siapa yang meninggal?" Bu Widya bangun cepat dari duduknya untuk melihat mobil ambulans yang masuk ke dalam komplek perumahan putranya.

"Itu ambulan yang akan menjemput Tika, Ma." Dika menutup mulutnya menahan tawa. Mobil itu berhenti di depan rumah putranya.

"Apa? Tika dijemput dengan ambulan? Memangnya Tika u-udah innalillahi?" Bu Widya mendelik terkejut.

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Eneng Dliyyuen
bu widya ma dika ada" aj .........
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
gak kebayang sopir ambulan yg mw bawa tika. Muntah2 g tuh sopir....
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status