Share

Bab 3| Menghindar

Setelah sampai di kantor, Eros langsung menuju ruang kerjanya dan mulai sibuk dengan tumpukan dokumen yang harus ia periksa.

Dia mendengkus menatap tumpukan dokumen yang sudah menjadi makanannya selama tujuh tahun ini.

Ya, begitulah kerjaan Eros setiap hari. Memeriksa berbagai dokumen, bertemu dengan dewan direksi perusahaan lain baik itu perusahaan dalam negeri ataupun luar negeri, dan berbagai pekerjaan lainnya.

Bahkan dalam satu bulan dia bisa pergi ke berbagai negara beberapa kali. Belum lagi mengurus urusan kakak keduanya, Endru.

Jika ada orang yang menginginkan hidup seperti Eros, mungkin dengan senang hati ia akan menukarnya.

***

Tok tok tok!

Tok tok tok!

"Masuk," kata Eros tanpa mengalihkan pandangannya dari dokumen-dokumen itu.

Seseorang bertubuh tinggi tak jauh berbeda dengannya langsung masuk dan dengan santainya merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di ruangan itu.

Eros melirik sekilas, lalu sepasang obsidian kembarnya kembali sibuk mengecek dokumen di depannya. Dia sudah terbiasa dengan kelakuan sesuka hati sahabatnya itu.

"Ayo makan!" Ajak orang itu yang sudah mengubah posisinya yang semula berbaring menjadi duduk tegap.

"Aku sibuk," tolak Eros tanpa melihat kearahnya.

"Aish! Aku ini Kakak iparmu. Berlakulah sopan sedikit," cibir pria bernama lengkap Arya Geovani itu.

Eros hanya memutar bola matanya jelak. Apa pria di depannya ini sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan? Memintanya berlaku sopan sedangkan dia sendiri? Eros tidak habis pikir kenapa kakaknya itu bisa menikah dengan pria yang menyebalkan seperti Arya.

Arya adalah kakak tingkat Eros di Universitas saat mereka kuliah dulu. Usia mereka memang terpaut cukup jauh, tujuh tahun. Namun, karena Eros memiliki otak yang pintar ia bisa menyelesaikan sekolah SMP-nya hanya dalam kurun waktu satu tahun, sedangkan untuk SMA dia hanya membutuhkan waktu dua tahun saja. Sedangkan Arya menunda kuliahnya beberapa tahun karena memilih untuk bekerja terlebih dahulu.

Dan, ya, sekarang dia telah berganti status menjadi kakak iparnya. Arya menikahi Naura dua tahun yang lalu.

Saat itu memang Eros yang mengenalkan Arya pada kakaknya. Namun, Eros tidak menyangka bahwa perkenalan itu akan berlanjut sampai ke jenjang pernikahan.

Meskipun Arya adalah pria menyebalkan dalam kacamatanya, tetapi dia lega kakak kesayangannya menikah dengan orang yang tepat. Eros yakin Arya akan membahagiakan Naura. Dan jangan lupakan perhatian Arya padanya.

***

"Aish! Percuma saja aku mengajak manusia robot ini," gerutu Arya menatap dongkol adik iparnya. Entah sudah berapa kali dia mengajak Eros makan, pria itu hanya mengatakan iya dan nanti.

Lalu Arya merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi seseorang. Sepertinya dia harus menelpon pawangnya langsung.

Hanya tiga kali suara getaran, seseorang di sebrang sana sudah mengangkatnya dan Arya langsung mengadu padanya.

Arya tersenyum penuh arti seraya memberikan ponselnya pada Eros. Sedangkan pria itu menatapnya dengan kesal karena ia sangat tau arti dari senyumannya itu.

"Eros, ikut Mas Arya makan! Kau ini kebiasaan banget." Naura berteriak seperti seorang ibu yang sedang memarahi putra kecilnya yang nakal.

Eros melirik tajam ke arah kakak iparnya yang sekarang sedang menahan tawanya seperti seekor elang yang siap mencabik-cabik mangsanya.

"Iya." Hanya tiga huruf dan Eros langsung mematikan sambungan telponnya.

"Ayo!" Arya langsung menarik tangan Eros untuk meninggalkan ruangan kerjanya agar ikut makan siang bersamanya di kafetaria kantor.

***

Seakan tidak pernah lelah membuat seorang Arya kesal, Eros kembali berulah dengan tidak memesan makanan, dia hanya memesan segelas kopi espresso untuk waktu makan siangnya.

"Kenapa aku harus memiliki adik ipar menyebalkan sepertimu." Eluh Arya menatap pria di depannya.

"Ceraikan saja," ujar Eros yang langsung mendapat toyoran darinya.

Dingin, galak, bermulut tajam itulah Eros.

"Aku dengar Endru melamar Kirana, apa itu benar?" tanya Arya ragu. Karena ia yakin Eros tidak menyukai pertanyaan ini. Namun, mau bagaimana lagi rasa penasarannya sudah diambang batas.

Seakan tidak mendengar apapun, Eros meneguk kopi espressonya dengan santai, tetapi jelas sekali sorot matanya yang awalnya cerah berubah menjadi redup tak bercahaya.

Arya hanya bisa menghela napasnya prihatin. "Itu artinya k--"

"Waktu istirahatku sudah habis, permisi." Potong Eros dan langsung pergi dengan langkah tegapnya.

"Aish! Anak itu." Entah berapa puluh kali Arya menggerutu hari ini. Dia sengaja meninggalkan urusan kantornya karena Naura terus menghubunginya untuk mengajak adik kesayangannya itu makan siang. Dan sekarang apa yang terjadi? Adik iparnya itu malah membuatnya kesal setengah mati.

***

Sedangkan Eros di ruang kerjanya terus berkutat dengan pikirannya sendiri, berbanding terbalik dengan apa yang tadi ia ucapkan pada Arya yang mengatakan masih banyak pekerjaan.

Potongan-potongan memori itu kembali bergelantungan di dalam kepalanya, membuat rasa nyeri itu kembali menyapa.

Argh!

Eros menjambak rambutnya kuat-kuat dan tak terasa lelahan kristal itu kembali jatuh membasahi pipinya.

Eros marah. Kenapa takdir tidak pernah mau berpihak padanya? Kenapa ia dilahirkan seperti ini?

Eros kembali menatap lurus ke depan serta menyeka air matanya dengan kedua tangannya. Dia tidak boleh seperti ini! Dia seorang pria. Seorang pria tidak boleh menangis.

***

Naura sedikit terkejut karena melihat mobil si bungsu sudah terparkir di depan rumah. Sampai-sampai dia mengucek-ngucek matanya untuk memastikan penglihatannya tidak salah.

"Eros," gumam Naura seperti orang linglung.

Pria itu memberengut seraya mengecek penampilannya sendiri. Apa ada yang salah dengan pakaiannya hari ini? Sepertinya tidak.

Karena sedari tadi kakak pertamanya itu hanya diam menatapnya. Eros kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya yang terletak di lantai atas.

Sesampainya di kamar, Eros langsung merapikan sebagian pakaiannya untuk dimasukan ke dalam koper yang cukup besar. Niatnya sudah bulat, ia akan tinggal di apartemen miliknya.

Endru yang tidak sengaja melihat sang adik sedang membereskan pakaiannya melenggang masuk ke dalam kamar.

"Perjalanan bisnis lagi?" tanya Endru tampak tidak suka.

Jujur saja pria itu iri kepada adiknya yang bisa kapan saja pergi ke berbagai negara tanpa mendapat larangan. Sedangkan dirinya tidak bisa jauh dari rumah dan rumah sakit.

Tuhan memang tidak adil, pikirnya.

Eros hanya melirik kakaknya sekilas lalu kembali memasukan pakaian dan sebuah kotak kecil misterius ke dalam koper.

"Biar kubantu." Endru ikut berjongkok dan berniat mengambil beberapa helai baju dari lemari.

Namun, matanya malah tertuju kepada kotak kecil misterius yang ada di atas koper. Baru saja tangannya akan mengambilnya, dengan refleks Eros langsung mengambil kotak itu dan menjauhkannya.

"Aish! Pelit sekali," cibir Endru. Dan seperti biasa Eros tidak menanggapi.

"Kali ini negara mana?" tanya Endru lagi.

"Apartemen," jawab Eros membuat kening pria itu berkerut.

Apakah telinga adiknya ini rusak atau semacamnya? Kenapa jawabannya tidak nyambung? Pikir Endru.

"Aku akan tinggal di apartemen," ulang Eros.

Mata Endru terbuka lebar, mungkin jika mata itu bukan ciptaan Tuhan, benda itu sudah lepas dari tempatnya.

"Kenapa?" tanya Endru lagi, "terus nanti aku berbagi cerita sama siapa kalau kau tidak ada?"

"Itu sebabnya aku pergi," balas Eros dalam hati.

***

Eros sudah siap dengan kopernya. Untuk sementara waktu ia akan tinggal di apartemen setidaknya sampai ia bisa mengontrol perasaannya lagi.

Langkahnya terhenti ketika Naura berlari ke arahnya diikuti oleh Naima yang berjalan di belakangnya.

"Kau apa-apaan mau meninggalkan rumah," marah Naura sekaligus khawatir.

Bagaimana dia tidak khawatir, di rumah saja adiknya itu sering melupakan makannya, apalagi kalau ia tinggal sendiri? Dan lagi dia sangat tahu adik bungsunya itu tidak pandai memasak. Lantas siapa yang akan menyiapkan makanannya? Tidak Endru, tidak Eros selalu saja membuatnya khawatir, kesal Naura.

"Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan sedangkan jarak rumah ke kantor terlalu jauh. Akan sangat melelahkan kalau harus menempuh jarak jauh setiap hari," alibinya dan berhasil membuat Naura percaya.

"Baiklah, tapi jangan lupakan makanmu, ya," ingat kakak pertamanya itu muram.

"Ya," jawab Eros yang langsung mendapat pelukan hangat dari sang kakak.

"Kenapa kau selalu membuat kakakmu ini khawatir," gumam Naura disertai dengan suara isakan.

Eros hanya membalas pelukan sang kakak sedangkan sepasang obsidiannya menatap sendu ke arah wanita yang juga sedang menatapnya dengan tatapan sulit diartikan.

Pria itu melepaskan pelukannya dan menarik napas panjang kala rasa sesak itu datang. "Aku pergi."

Baru beberapa langkah ia berjalan, Naima memanggil putra bungsunya dan saat Eros berbalik wanita itu langsung memeluknya erat.

"Maafkan Ibu," katanya dengan suara gemetar.

Eros hanya memejamkan matanya rapat-rapat, hatinya mencelos kala ibunya mengatakan kata maaf padanya. Ini lebih menyakitkan dibanding rasa sakit hatinya sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status