"Zora," panggil Geraldi berteriak. Dari nada suaranya sepertinya pria itu sedang emosi.
Merasa namanya dipanggil, wanita yang memiliki nama lengkap Izora Kanaya Lavina itu langsung menghampiri sang ayah. Dia tidak ingin ayahnya semakin marah jika ia tidak segera datang menemuinya.
"Ayah," panggil Zora takut-takut.
"Duduk!" perintah sang ayah mencoba menahan emosinya.
Seperti seekor anjing peliharaan yang patuh terhadap majikannya, Zora langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi di belakangnya.
Dia semakin menggigit bibir bawahnya saat melihat tatapan ayahnya yang begitu tajam seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.
Geraldi mengambil sesuatu dari laci kerjanya dan langsung ia lemparkan ke atas meja tepat di depan putrinya duduk.
Mata wanita itu terbelalak lebar kala mengetahui benda yang baru saja dilemparkan sang ayah.
Ya, sebuah tagihan kartu kreditnya.
Bagaimana bisa tagihan itu ada pada ayahnya?
Dengan susah payah ia menelan salivanya, semua pikiran-pikiran buruk mulai bergelantungan di dalam kepalanya. Entahlah apa yang akan ayahnya lakukan sekarang. Zora benar-benar tidak bisa mengelak, sekarang dia hanya akan pasrah dengan takdirnya.
"Mana dompetmu?" tanya Geraldi lebih seperti meminta.
Zora langsung mengerjapkan matanya.
"Dompet?" ulangnya. Perasaannya benar-benar tidak enak.
"Cepat!" perintah sang ayah dengan suara berat khas bapak-bapak.
Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan diletakkan di atas meja yang ada di depannya.
"Kunci mobil," pinta ayahnya lagi. Dan lagi-lagi Zora hanya bisa pasrah.
"Sekarang bereskan pakaianmu," lanjutnya dan itu berhasil membuat Zora membulatkan matanya. Apakah ia di usir?
"Maksud Ayah apa? Kenapa aku harus membereskan pakaian?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Sebelum kau menghilangkan sifat borosmu itu, kau tidak boleh tinggal di sini dan juga dilarang memakai fasilitas yang Ayah berikan," kata Geraldi dengan tegas.
"Ma-maksud Ayah? Ayah usir aku?" tanya Zora sudah menangis dan langsung memeluk sang ibu yang baru saja datang karena tidak sengaja mendengar suara tinggi suaminya.
"Ibu, tolong Zora! Ayah jahat, Bu. Ayah sudah gak sayang sama Zora," adunya pada sang ibu.
"Maaf, Nak. Ini semua demi kebaikanmu juga," katanya mengusap lembut rambut kepala sang putri.
Zora semakin kuat menggelengkan kepalanya dengan deraian air mata yang semakin banyak, terus meminta tolong kepada sang ibu untuk membujuk sang ayah agar tidak mengusirnya.
"Sudahlah, Nak. Ayo Ibu bantu bereskan pakaianmu," kata Sofie berhasil membuat Zora kehilangan kata-katanya.
***
"Ibu, apa Ibu benar-benar tidak bisa membantuku? Ayah pasti akan luluh kalau Ibu yang memintanya," rengek Zora seperti anak kecil.
Wanita paruh baya itu hanya tersenyum seraya kembali mengelus puncak kepala putrinya.
"Ayah melakukan ini karena dia sayang sama Zora. Ayah dan Ibu tidak ingin kau terus menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak begitu penting," jelasnya.
"Tapi, Bu, apa salahnya aku bersenang-senang? Aku yakin tagihan itu tidak akan membuat uang Ayah habis. Lagi pula aku kan putri satu-satunya. Kalau bukan aku yang pakai lantas siapa?" protesnya.
"Ayah saja yang pelit," sambungnya.
Sofie menatap sang putri yang kini kembali menangis. Jujur saja hatinya mencelos, tetapi dia tidak boleh lemah. Dia harus tega melepaskan putrinya itu untuk hidup mandiri. Karena Sofie yakin hanya dengan cara ini Zora bisa berhenti dari sifat borosnya. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah memberikan sedikit pengertian padanya.
"Nak, dengarkan Ibu! Justru karena Ibu dan Ayah sayang padamu, kami melakukan ini. Usiamu bukan lagi usia remaja. Kau sudah harus bisa mengatur keuanganmu sendiri. Memang sekarang ini Ayah memiliki banyak uang, tapi bukan berarti uang itu tidak akan habis, kan? Roda kehidupan itu selalu berputar, Nak. Lihatlah di luar sana anak seusiamu sudah mulai bekerja untuk memenuhi keinginannya sendiri bahkan banyak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarganya," jelasnya panjang lebar berharap putrinya mengerti.
Zora melihat sang ibu dengan tatapan sedihnya.
"Jadi maksud Ibu, Ayah ingin aku bekerja?" tanyanya dan diangguki Sofie.
"Ibu kan tau aku paling tidak suka bekerja. Ayolah Bu, aku mohon bujuk Ayah," rengeknya lagi.
Sofie hanya bisa menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran putri tunggalnya itu. Apakah ucapannya sedari tadi tidak didengar atau bagaimana? Kenapa putrinya selalu bertingkah sesuka hatinya?
"Apa sudah selesai?" tanya Geraldi mengecek istri dan putri manjanya itu.
"Ayah," lirihnya, "maafin Zora."
Tidak ingin terpengaruh dengan tatapan memohon putrinya, Geraldi langsung berbalik arah dan meminta Zora untuk segera turun dan ikut dengannya.
melihat respon sang ayah, Zora hanya bisa menghela napasnya pasrah.
***
"Ayah, kita mau ke mana?" tanya Zora disepanjang jalan.
"Ayah benar-benar akan membuangku?" tanyanya lagi.
"Ayah jawab! Kenapa Ayah diam? Hiks ..." Dan akhirnya Zora menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya.
Tiba-tiba mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terbilang kecil. Mungkin rumah itu seukuran kamarnya, pikir Zora.
"Ayah, kita ngapain ke sini? Ini rumah siapa?" tanya wanita itu menatap heran bangunan di depannya.
"Mulai sekarang ini akan menjadi tempat tinggalmu," kata Geraldi.
"Rumah ini? Yang benar saja, Yah. Bahkan ukurannya sama dengan kamarku atau mungkin lebih besar kamarku," protesnya.
"Kau pikir Ayah peduli?" tanya Geraldi lagi membuat Zora menghentak-hentakkan kakinya kesal.
"Ayah jahat!" pekiknya.
"Sudahlah terima saja. Masih syukur Ayah memberimu tempat tinggal," katanya seraya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.
"Ini jatahmu bulan ini." Geraldi memberikan lima lembar uang pecahan seratus ribuan.
Zora menatap uang itu dan ayahnya bergantian seperti orang linglung.
"Ambil!" Perintah sang ayah memberikan uang itu pada Zora.
"Untuk sebulan?" tanyanya untuk memastikan apakah indera pendengarannya rusak atau tidak.
Geraldi hanya mengangguk kemudian kembali melajukan mobilnya meninggalkan Zora yang masih berdiri mematung menatap uang yang ada di genggamannya.
"Ayah jangan bercanda!" rengeknya entah pada siapa.
"Ayah jahat!!" teriaknya pada rumput yang bergoyang seakan mereka sedang mengejek nasibnya sekarang.
***
Zora melihat ke kiri dan ke kanan keadaan rumah itu, sungguh sangat berbeda dengan rumahnya dulu. Tidak ada AC, tidak ada lemari es, bahkan tempat tidurnya hanya cukup untuk satu orang saja.
"Menyebalkan." Dengusnya seraya menjatuhkan barang bawaannya di sembarang tempat.
Lalu Zora kembali menatap uang yang masih berada dalam genggamannya. "Lima ratus ribu untuk sebulan? Yang benar saja."
Jelas saja Zora syok dengan jatah bulanan yang diberikan ayahnya. Jatah bulanannya sekarang bahkan tidak setengahnya dari jatah bulanan yang biasa ia terima. Bahkan dulu jika masih kurang dengan entengnya ia akan memakai black card-nya. Sedangkan sekarang dia harus bisa menggunakan lima ratus ribu untuk biaya hidupnya selama satu bulan di kota metropolitan ini.
Apa ayah ingin membunuh anak satu-satunya secara perlahan? Pikirnya.
"Aish! Kepalaku jadi sakit memikirkan ini." Eluhnya seraya menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.
Lantas Zora memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Biarlah untuk masalah kehidupannya sebulan ke depan nanti saja ia pikirkan. Atau lebih bagus ayahnya berubah pikiran dan mengembalikan semua fasilitasnya.
***
Zora masuk ke dalam kamarnya dan lagi-lagi hanya menghela napas. Mau ia menangis sampai keluar darah pun percuma, ayahnya tidak akan mengubah keputusannya.
Setidaknya ia masih bisa bernapas lega karena tempat tidurnya lumayan nyaman. Ayahnya masih berbaik hati memberinya tempat tidur yang nyaman untuknya mengarungi dunia mimpi. Dan benar saja tanpa menunggu waktu lama, wanita itu sudah masuk ke dalam alam mimpinya.
Hari ini langit Tokyo bergitu cerah, hangatnya matahari pagi menyambut dengan riang orang-orang yang sedang berjuang meraih mimpi atau tujuan hidupnya. Namun, berbeda untuk Eros, suasana hati pria itu begitu mendung dikarenakan sudah hampir dua minggu pria itu berada di Jepang akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan satu informasipun dimana keberadaan mantan istrinya tersebut, padahal Eros sudah mengerahkan semua detektif suruhannya untuk mencari Zora di setiap kota di negeri sakura ini, akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan kabar baik. Karena mustahil dia bisa mencari wanita itu dengan cepat jika hanya mengandalkan keberuntungan. Walaupun Eros mengerahkan banyak orang untuk mencari, tetapi pria itu juga tetap bergerak tidak hanya berdiam diri dan menunggu kabar. Seperti hari ini Eros sedang berjalan-jalan di salah satu taman di kota tersebut, berharap jika Zora ada di sana mengingat wanita itu sangat menyukai taman. Saat sampai di sana, pikiran
Pria itu – Eros langsung disambut oleh langit Jepang yang masih cukup terang padahal arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore yang artinya sekarang sudah jam 7 malam di jepang mengingat Indonesia tempatnya tinggal dengan Tokyo memiliki selisih dua jam.Setelah delapan belas jam perjalanan memakai pesawat dan tanpa memejamkan mata sedetikpun akhirnya pria itu sampai juga di bandara internasional Tokyo – Jepang.Eros menarik napasnya untuk mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-parunya. Setelah merasa penuh pria itu membuangnya secara perlahan dan ia melakukannya berulang kali. Dengan hanya bermodalkan tekad dan sedikit keberuntungan pria itu berharap bisa menemukan wanitanya di Negara yang terkenal dengan bunga sakuranya tersebut. Karena hanya itulah petunjuk yang ia miliki.Namun, bagaimanapun Eros sudah sangat bersyukur, setidaknya dia tahu bahwa Zora ada di negara ini, itu masih jauh lebih baik dari pada ia harus berkeliling ke seluruh dunia un
Hari ini, detik ini, masih di langit dan bangunan yang sama Eros akan memperjuangkan kebahagiaannya. Dengan masih memakai setelan kerjanya pria itu berdiri di depan pintu kediaman mantan mertuanya, menunggu seseorang di dalam berbaik hati membukakan pintu untuknya. Selama mereka tidak memberitahu di mana keberadaan Zora, Eros tidak akan pernah lelah memaksa dan meyakinkan kepada kedua orang tua wanita itu bahwa ia bersungguh-sungguh mencintai putri mereka, bahwa ia tidak pernah sekalipun ada niatan untuk menyakiti hatinya. Sementara di dalam rumah itu sepasang suami istri tersebut sedang duduk – berpura-pura – santai di ruangan tamu, berpura-pura membutakan mata mereka jika di luar sana ada seseorang yang sedang berdiri menunggu mendapatkan kesempatan kedua. Namun, yang namanya hati seorang wanita terlebih seorang ibu tetap saja sekecewa-kecewanya, semarah-marahnya dia, hatinya tetaplah lembut. “Jangan sekalipun kau membukakan pintu untuknya!”
Setelah menahan rasa sakit diperutnya berjam-jam kemudian syukurlah sakit itu berangsur-angsur menghilang. Dengan gerakan pelan Kirana mengelap keringatnya dan berulang kali menarik napasnya. Kirana bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “Ada apa dengan perutku? Kenapa rasanya sesakit ini?” Setelah itu ia beranjak untuk mengambil tas dan kunci mobilnya yang tergantung tidak jauh dari tempatnya sekarang untuk bergegas ke rumah sakit. Selain untuk memeriksakan kandungannya, Kirana juga kesana untuk menjenguk ibu mertuanya. Walaupun hubungan mereka tidak baik setelah masalah perselingkuhan palsu yang diciptakannya, tetapi tetap saja ia masihlah seorang menantu dan bagian dari keluarga itu. Dengan masih memegang perut besarnya Kirana mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin mengambil risiko datang ke rumah sakit dengan dibawa mobil ambulance karena mengalami kecelakaan. *** Muak dengan semua pembicaraannya akhirnya Eros memi
Dua pria yang sama-sama memiliki wajah tampan dan berkharisma jika sedang bekerja itu kini sedang duduk di sebuah taman rumah sakit. Saling berdiam diri, tetapi tidak dengan pikirannya. Entah apa yang sedang dipikirkan kedua pria yang hanya memiliki selisih usia satu tahun itu, tentu saja yang mengetahuinya hanya dirinya sendiri dan Tuhannya yang tahu. Sampai satu orang pria yang tidak terlalu nyaman dengan keterdiaman ini akhirnya membuka suaranya setelah satu jam lebih mereka berdiam di sana. “Kak Naura sudah melahirkan,” ucap pria tersebut yang tidak lain adalah – Endru - dengan tatapan datarnya dan tanpa menoleh ke arah orang yang sedang diajaknya bicara. Pria satunya yang tentu saja sudah dapat kita tebak siapa menolehkan kepalanya, pria itu tidak lantas menjawab karena ia yakin sang kakak belum menyelesaikan perkataannya, karena tidak mungkin dia hanya akan memberitahukan bahwa kakak pertamanya telah melahirkan, dia sudah mengetahuinya. Maka yang dilaku
“Dia begitu mirip denganmu, Sayang,” ucap Arya ketika bayi kembar mereka sudah diperbolehkan tidur di ruangan yang sama dengan ibunya. “Matanya, hidungnya, bahkan bentuk bibirnya juga benar-benar fotocopy dari ibunya. Hmm, sedikitpun tidak ada yang meniru dariku.” Naura hanya tersenyum mendengar suaminya terus memuji wajah tampan bayi laki-lakinya yang memang lebih mirip dengannya. Namun, pria itu tidak boleh cemburu karena wajah bayi perempuannya lebih mirip dengannya. “Dan bayi perempuan kita mirip denganmu, Sayang,” balas Naura ikut memperhatikan wajah-wajah si kembar. Pria itu menoleh di mana istrinya berada, lalu pria itu tersenyum seraya mengusap puncak kepala istrinya dan kembali mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan si kembar yang kini sedang tertidur pulas di dalam box bayinya, tidak terganggu sama sekali dengan obrolan orangtuanya yang sedang membicarakan mereka. “Terima kasih atas perjuangmu yang luar biasa ini dalam melahirkan s
“Kalian makanlah dulu, biar Naura Ibu dan Ayah yang jaga,” ucap ibu dari Arya tidak tega melihat ketiga pria itu tetap setia menunggu di depan ruangan ICU – tempat di mana wanita itu ditangani setelah operasi. Memang saat di ruang operasi wanita itu sempat kehilangan detak jantungnya beberapa detik. Namun ketika Arya menangis tergugu memohon kepada Tuhan untuk tidak mengambil istrinya dan disaat itu juga keajaiban datang, grafik yang awalnya lurus horizontal itu berangsur-angsur menunjukan perubahan. “Dokter detak jantungnya kembali!” seru salah satu perawat melihat layar tersebut menunjukkan grafik naik turun meskipun lemah. Disaat itu juga tangis Arya semakin kencang, tetapi ia belum berani untuk mendekatinya. Arya tidak ingin mengganggu kerja dokter yang sedang berusaha menyelamatkannya. Barulah saat dokter itu memperbolehkannya ia langsung menggenggam tangan sang istri seraya mengatakan terima kasihnya berulang kali. “Aku tidak lapar, kalian makan
“Arya!” Panggil kedua orangtuanya yang langsung datang ke rumah sakit ketika dikabari menantunya akan segera melahirkan.“Bagaimana keadaan menantu dan cucu Ibu?” tanya ibunya tanpa bisa menutupi rasa khawatirnya.Besannya saja sampai sekarang belum membuka matanya, ditambah sekarang menantunya yang sedang berjuang di dalam sana demi menjadi seorang ibu. Semoga Tuhan selalu melindunginya dan menyelamatkan keduanya. Amin.Arya hanya menggelengkan kepalanya dengan lemah. Tenaganya sudah terkuras habis oleh segala ketakutannya sendiri terlebih lampu di ruang operasi itu belum juga mati.Berapa lama lagi ia harus menunggu? Apakah operasi cessar harus selama ini?Paham bagaimana perasaan putranya saat ini, sang ibu langsung memeluknya dan megusap-usap punggunya, berharap dengan ini putranya bisa sedikit lebih tenang.Wanita itu dapat merasakan tubuh putranya bergetar dan demi tuhan itu benar-benar membuat hatinya mencelos
Ceklek! “Masih ingat rumah juga.” Sarkas Kirana dengan tatapan serta nada sinisnya pada Endru yang baru saja pulang bekerja. Sebaliknya pria itu tidak menanggapinya justru langsung masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan tentu saja sikapnya itu memancing kemarahan sang istri. “Tidak sekalian ajak selingkuhanmu pulang.” Ini bukan pertanyaan melainkan sebuah pernyataan sarkasme pada Endru dan kali ini berhasil menghentikan langkah Endru yang sudah sampai di dekat tangga menuju kamar mereka. “Apa maksudmu dengan selingkuhan? Tolong jika bertanya berkaca terlebih dulu,” sarkasnya dengan nada dinginnya yang sempat membuat Kirana tertegun beberapa detik karena baru kali ini pria itu bersikap dingin padanya. Tidak ingin terlihat kalah, wanita itu terus menyudutkannya dengan membawa kehamilannya. Tanpa pria itu ucapkan secara gamblangpun wanita itu tahu maksud ucapannya. Dialah yang berselingkuh di sini. Ya, setidaknya itu yang diketahui pria itu sek