Share

Bab 2| Hukuman

"Zora," panggil Geraldi berteriak. Dari nada suaranya sepertinya pria itu sedang emosi.

Merasa namanya dipanggil, wanita yang memiliki nama lengkap Izora Kanaya Lavina itu langsung menghampiri sang ayah. Dia tidak ingin ayahnya semakin marah jika ia tidak segera datang menemuinya.

"Ayah," panggil Zora takut-takut.

"Duduk!" perintah sang ayah mencoba menahan emosinya.

Seperti seekor anjing peliharaan yang patuh terhadap majikannya, Zora langsung menjatuhkan bokongnya ke kursi di belakangnya.

Dia semakin menggigit bibir bawahnya saat melihat tatapan ayahnya yang begitu tajam seperti seekor singa yang siap menerkam mangsanya.

Geraldi mengambil sesuatu dari laci kerjanya dan langsung ia lemparkan ke atas meja tepat di depan putrinya duduk.

Mata wanita itu terbelalak lebar kala mengetahui benda yang baru saja dilemparkan sang ayah.

Ya, sebuah tagihan kartu kreditnya.

Bagaimana bisa tagihan itu ada pada ayahnya?

Dengan susah payah ia menelan salivanya, semua pikiran-pikiran buruk mulai bergelantungan di dalam kepalanya. Entahlah apa yang akan ayahnya lakukan sekarang. Zora benar-benar tidak bisa mengelak, sekarang dia hanya akan pasrah dengan takdirnya.

"Mana dompetmu?" tanya Geraldi lebih seperti meminta.

Zora langsung mengerjapkan matanya.

"Dompet?" ulangnya. Perasaannya benar-benar tidak enak.

"Cepat!" perintah sang ayah dengan suara berat khas bapak-bapak.

Dia langsung mengeluarkan dompetnya dan diletakkan di atas meja yang ada di depannya.

"Kunci mobil," pinta ayahnya lagi. Dan lagi-lagi Zora hanya bisa pasrah.

"Sekarang bereskan pakaianmu," lanjutnya dan itu berhasil membuat Zora membulatkan matanya. Apakah ia di usir?

"Maksud Ayah apa? Kenapa aku harus membereskan pakaian?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis.

"Sebelum kau menghilangkan sifat borosmu itu, kau tidak boleh tinggal di sini dan juga dilarang memakai fasilitas yang Ayah berikan," kata Geraldi dengan tegas.

"Ma-maksud Ayah? Ayah usir aku?" tanya Zora sudah menangis dan langsung memeluk sang ibu yang baru saja datang karena tidak sengaja mendengar suara tinggi suaminya.

"Ibu, tolong Zora! Ayah jahat, Bu. Ayah sudah gak sayang sama Zora," adunya pada sang ibu.

"Maaf, Nak. Ini semua demi kebaikanmu juga," katanya mengusap lembut rambut kepala sang putri.

Zora semakin kuat menggelengkan kepalanya dengan deraian air mata yang semakin banyak, terus meminta tolong kepada sang ibu untuk membujuk sang ayah agar tidak mengusirnya.

"Sudahlah, Nak. Ayo Ibu bantu bereskan pakaianmu," kata Sofie berhasil membuat Zora kehilangan kata-katanya.

***

"Ibu, apa Ibu benar-benar tidak bisa membantuku? Ayah pasti akan luluh kalau Ibu yang memintanya," rengek Zora seperti anak kecil.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum seraya kembali mengelus puncak kepala putrinya.

"Ayah melakukan ini karena dia sayang sama Zora. Ayah dan Ibu tidak ingin kau terus menghambur-hamburkan uang hanya untuk sesuatu yang tidak begitu penting," jelasnya.

"Tapi, Bu, apa salahnya aku bersenang-senang? Aku yakin tagihan itu tidak akan membuat uang Ayah habis. Lagi pula aku kan putri satu-satunya. Kalau bukan aku yang pakai lantas siapa?" protesnya.

"Ayah saja yang pelit," sambungnya.

Sofie menatap sang putri yang kini kembali menangis. Jujur saja hatinya mencelos, tetapi dia tidak boleh lemah. Dia harus tega melepaskan putrinya itu untuk hidup mandiri. Karena Sofie yakin hanya dengan cara ini Zora bisa berhenti dari sifat borosnya. Yang perlu ia lakukan sekarang hanyalah memberikan sedikit pengertian padanya.

"Nak, dengarkan Ibu! Justru karena Ibu dan Ayah sayang padamu, kami melakukan ini. Usiamu bukan lagi usia remaja. Kau sudah harus bisa mengatur keuanganmu sendiri. Memang sekarang ini Ayah memiliki banyak uang, tapi bukan berarti uang itu tidak akan habis, kan? Roda kehidupan itu selalu berputar, Nak. Lihatlah di luar sana anak seusiamu sudah mulai bekerja untuk memenuhi keinginannya sendiri bahkan banyak yang bekerja sebagai tulang punggung keluarganya," jelasnya panjang lebar berharap putrinya mengerti.

Zora melihat sang ibu dengan tatapan sedihnya.

"Jadi maksud Ibu, Ayah ingin aku bekerja?" tanyanya dan diangguki Sofie.

"Ibu kan tau aku paling tidak suka bekerja. Ayolah Bu, aku mohon bujuk Ayah," rengeknya lagi.

Sofie hanya bisa menggelengkan kepalanya, benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran putri tunggalnya itu. Apakah ucapannya sedari tadi tidak didengar atau bagaimana? Kenapa putrinya selalu bertingkah sesuka hatinya?

"Apa sudah selesai?" tanya Geraldi mengecek istri dan putri manjanya itu.

"Ayah," lirihnya, "maafin Zora."

Tidak ingin terpengaruh dengan tatapan memohon putrinya, Geraldi langsung berbalik arah dan meminta Zora untuk segera turun dan ikut dengannya.

melihat respon sang ayah, Zora hanya bisa menghela napasnya pasrah.

***

"Ayah, kita mau ke mana?" tanya Zora disepanjang jalan.

"Ayah benar-benar akan membuangku?" tanyanya lagi.

"Ayah jawab! Kenapa Ayah diam? Hiks ...Dan akhirnya Zora menangis seperti anak kecil yang tidak dibelikan permen oleh orang tuanya.

Tiba-tiba mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah yang terbilang kecil. Mungkin rumah itu seukuran kamarnya, pikir Zora.

"Ayah, kita ngapain ke sini? Ini rumah siapa?" tanya wanita itu menatap heran bangunan di depannya.

"Mulai sekarang ini akan menjadi tempat tinggalmu," kata Geraldi.

"Rumah ini? Yang benar saja, Yah. Bahkan ukurannya sama dengan kamarku atau mungkin lebih besar kamarku," protesnya.

"Kau pikir Ayah peduli?" tanya Geraldi lagi membuat Zora menghentak-hentakkan kakinya kesal.

"Ayah jahat!" pekiknya.

"Sudahlah terima saja. Masih syukur Ayah memberimu tempat tinggal," katanya seraya mengeluarkan beberapa lembar uang dari dalam dompetnya.

"Ini jatahmu bulan ini." Geraldi memberikan lima lembar uang pecahan seratus ribuan.

Zora menatap uang itu dan ayahnya bergantian seperti orang linglung.

"Ambil!" Perintah sang ayah memberikan uang itu pada Zora.

"Untuk sebulan?" tanyanya untuk memastikan apakah indera pendengarannya rusak atau tidak.

Geraldi hanya mengangguk kemudian kembali melajukan mobilnya meninggalkan Zora yang masih berdiri mematung menatap uang yang ada di genggamannya.

"Ayah jangan bercanda!" rengeknya entah pada siapa.

"Ayah jahat!!" teriaknya pada rumput yang bergoyang seakan mereka sedang mengejek nasibnya sekarang.

***

Zora melihat ke kiri dan ke kanan keadaan rumah itu, sungguh sangat berbeda dengan rumahnya dulu. Tidak ada AC, tidak ada lemari es, bahkan tempat tidurnya hanya cukup untuk satu orang saja.

"Menyebalkan." Dengusnya seraya menjatuhkan barang bawaannya di sembarang tempat.

Lalu Zora kembali menatap uang yang masih berada dalam genggamannya. "Lima ratus ribu untuk sebulan? Yang benar saja."

Jelas saja Zora syok dengan jatah bulanan yang diberikan ayahnya. Jatah bulanannya sekarang bahkan tidak setengahnya dari jatah bulanan yang biasa ia terima. Bahkan dulu jika masih kurang dengan entengnya ia akan memakai black card-nya. Sedangkan sekarang dia harus bisa menggunakan lima ratus ribu untuk biaya hidupnya selama satu bulan di kota metropolitan ini.

Apa ayah ingin membunuh anak satu-satunya secara perlahan? Pikirnya.

"Aish! Kepalaku jadi sakit memikirkan ini." Eluhnya seraya menekan pelipisnya yang berdenyut-denyut.

Lantas Zora memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya. Biarlah untuk masalah kehidupannya sebulan ke depan nanti saja ia pikirkan. Atau lebih bagus ayahnya berubah pikiran dan mengembalikan semua fasilitasnya.

***

Zora masuk ke dalam kamarnya dan lagi-lagi hanya menghela napas. Mau ia menangis sampai keluar darah pun percuma, ayahnya tidak akan mengubah keputusannya.

Setidaknya ia masih bisa bernapas lega karena tempat tidurnya lumayan nyaman. Ayahnya masih berbaik hati memberinya tempat tidur yang nyaman untuknya mengarungi dunia mimpi. Dan benar saja tanpa menunggu waktu lama, wanita itu sudah masuk ke dalam alam mimpinya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sadia Fika
ok enak ceritanya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status