Seperti sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu, saat alarm berbunyi dia langsung mematikan alarm itu lalu kembali membungkus dirinya dengan selimut tebal. Berbeda saat ia masih tinggal di rumah, pasti kakaknya itu yang akan datang ke kamarnya dan menjadi alarm keduanya.
Sudah sepuluh menit berlalu, tetapi Eros masih betah di dalam sana, sampai suara perutnya menyadarkannya untuk segera kembali ke kehidupannya yang sibuk.
"Sudah cukup bermalas-malasannya, boy," kata Eros kepada dirinya sendiri.
Dia beranjak pergi ke kamar mandi sebelum memenuhi keinginan cacing di perutnya yang sedari kemarin meronta ingin diberi makan.
Walaupun seorang pria, tetapi untuk urusan membersihkan diri pria itu membutuhkan waktu yang cukup lama, kurang lebih butuh waktu satu jam untuknya sampai benar-benar siap.
Setelah selesai dengan kegiatan mandi paginya, Eros berjalan menuju dapur untuk sarapan sebelum berangkat ke kantor.
Dia mengambil makanan instan di dalam lemari es, lalu memanaskannya ke dalam microwafe. Untung saja kemarin malam ia sempat berbelanja ke mini market jadi ia tidak harus menahan rasa laparnya.
Sebenarnya bisa saja dia makan di kafetaria kantor, tetapi Eros lebih nyaman sarapan di apartemen. Karena jika dia makan di sana, semua orang akan memperhatikannya dan itu adalah hal yang paling tidak ia sukai.
Menjadi pusat perhatian.
***
Hoam..
Wanita itu menggeliat kala merasakan pancaran cahaya dari si raja sinar menembus masuk ke dalam kamarnya.
"Bi! Tolong tutup gordennya," kata Zora tanpa berniat membuka matanya.
"Bi Minah!" panggilnya lagi sedikit meninggikan suaranya.
Karena orang yang sedari tadi ia panggil tidak menunjukkan batang hidungnya, Zora sedikit mendengkus lalu membalikan tubuh kurusnya berniat untuk menutup gordennya sendiri.
Namun, sebelum niatnya terlaksana, dengan sangat tidak elitnya hidung serta keningnya mendarat lebih dulu di atas lantai. Ya, lebih tepatnya wanita itu jatuh dari tempat tidur.
"Aw!" Pekik Zora lalu bangkit seraya memegang keningnya yang pasti sekarang ini sudah menjadi merah.
Dia menatap sekeliling ruangan itu dengan tatapan bodoh seperti orang linglung. Ia baru menyadari bahwa ini bukanlah kamarnya.
"Aku di mana?" tanya Zora entah pada siapa.
***
Zora berjalan-jalan menelusuri rumah itu seperti seorang wisatawan yang sedang melakukan karya wisata. Lalu ia pergi ke dapur karena biasanya jam segini ibunya sudah membuatkan sarapan untuknya.
Karena walaupun di rumah ada pembantu, tetapi untuk urusan memasak tetap ibunyalah yang memegang kendali.
"Kenapa tidak ada makanan di sini," gerutunya menatap meja makan yang bersih tanpa ada satupun makanan yang bisa ia makan.
Zora mengambil tempat duduk di salah satu kursi yang ada. Dia mengingat-ingat kenapa dia bisa ada di rumah ini?
Seingatnya kemarin ia pergi berbelanja ke mall bersama teman-temannya, pulang ke rumah dan menonton drama kesukaannya di kamar sampai ketiduran.
"Tunggu ..." ucap Zora berusaha mengingat sesuatu.
"Jadi ini bukan mimpi?!" pekiknya saat menyadari bahwa kemarin itu dia bukan sedang bermimpi. Dia benar-benar dihukum oleh ayahnya.
"Ibu, aku lapar," tutur Zora menatap meja makan itu dengan tatapan sedih.
***
Tok tok tok!
Tok tok tok!
"Masuk," kata Eros sedikit malas karena ia tahu betul siapa yang mengetuk pintu.
"Maaf, ini ada berkas yang harus Pak Eros tanda tangani." Orang itu memberikan dokumen yang harus ditanda tangani oleh CEO nya.
Eros mengangkat kepalanya saat mendengar suara seseorang yang ternyata adalah sekretarisnya.
Tebakannya kali ini salah, awalnya ia mengira bahwa yang datang itu adalah Arya, ternyata sekretarisnya, Chiko.
Mungkin sebagian besar orang-orang akan mencari sekretaris itu seorang wanita cantik dan seksi, tapi tidak dengan Eros.
Karena mengaca pada pengalamannya dulu saat memiliki sekretaris seorang wanita, dia tidak bisa fokus dalam pekerjaannya. Setiap menit sekretaris wanitanya itu terus menghubunginya hanya untuk berbasa-basi dan mencari perhatian darinya.
"Ok, nanti saya periksa," kata Eros melihat sekilas dokumen itu lalu menyimpannya kembali.
Eros kembali mendongak ketika melihat pria itu masih berdiri di depannya.
"Silakan, kau bisa kembali," tutur Eros.
"Ya, saya permisi." Pria bernama Chiko itu sedikit membungkukkan badannya kemudian pergi dengan langkah tegapnya. Saat di pintu keluar terdengar suara dengusan kecil dari hidungnya.
Pria sombong.
***
"KA Group." Tunjuknya bergantian ke bangunan yang ada di sebrangnya dan kertas yang ada di tangannya.
"Zora." Panggil Chiko melambai-lambaikan tangannya.
Zora tersenyum dan langsung menghampiri Chiko yang kini sedang tersenyum juga padanya.
"Aku kira kau bercanda, Zo," kata Chiko.
"Hmm ini semua gara-gara ayah menghukumku." Gerutu Zora mengerucutkan bibirnya.
"Jadi kapan aku bisa mulai bekerja?" tanya Zora tidak ingin berbasa-basi. Karena tujuannya datang jauh-jauh ke tempat ini ialah untuk mencari pekerjaan.
"Hari ini," jawab pria itu berhasil membuat Zora mengerjapkan matanya terkejut.
"Benarkah?" tanya Zora dengan mata berbinar. Chiko menganggukkan kepalanya lalu kembali tersenyum.
Tanpa merasa takut orang lain melihat, Zora langsung memeluk Chiko cukup erat membuat pria itu mematung karena keterkejutannya.
"Makasih. Kau memang sahabat terbaikku," kata Zora setelah melepaskan pelukannya.
"I-iya," balas Chiko dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
"Suatu hari kau akan menganggapku lebih dari itu, Zo," ucap pria itu membatin.
Hari ini langit Tokyo bergitu cerah, hangatnya matahari pagi menyambut dengan riang orang-orang yang sedang berjuang meraih mimpi atau tujuan hidupnya. Namun, berbeda untuk Eros, suasana hati pria itu begitu mendung dikarenakan sudah hampir dua minggu pria itu berada di Jepang akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan satu informasipun dimana keberadaan mantan istrinya tersebut, padahal Eros sudah mengerahkan semua detektif suruhannya untuk mencari Zora di setiap kota di negeri sakura ini, akan tetapi sampai saat ini dia belum mendapatkan kabar baik. Karena mustahil dia bisa mencari wanita itu dengan cepat jika hanya mengandalkan keberuntungan. Walaupun Eros mengerahkan banyak orang untuk mencari, tetapi pria itu juga tetap bergerak tidak hanya berdiam diri dan menunggu kabar. Seperti hari ini Eros sedang berjalan-jalan di salah satu taman di kota tersebut, berharap jika Zora ada di sana mengingat wanita itu sangat menyukai taman. Saat sampai di sana, pikiran
Pria itu – Eros langsung disambut oleh langit Jepang yang masih cukup terang padahal arlojinya sudah menunjukkan jam lima sore yang artinya sekarang sudah jam 7 malam di jepang mengingat Indonesia tempatnya tinggal dengan Tokyo memiliki selisih dua jam.Setelah delapan belas jam perjalanan memakai pesawat dan tanpa memejamkan mata sedetikpun akhirnya pria itu sampai juga di bandara internasional Tokyo – Jepang.Eros menarik napasnya untuk mendapatkan oksigen yang cukup untuk paru-parunya. Setelah merasa penuh pria itu membuangnya secara perlahan dan ia melakukannya berulang kali. Dengan hanya bermodalkan tekad dan sedikit keberuntungan pria itu berharap bisa menemukan wanitanya di Negara yang terkenal dengan bunga sakuranya tersebut. Karena hanya itulah petunjuk yang ia miliki.Namun, bagaimanapun Eros sudah sangat bersyukur, setidaknya dia tahu bahwa Zora ada di negara ini, itu masih jauh lebih baik dari pada ia harus berkeliling ke seluruh dunia un
Hari ini, detik ini, masih di langit dan bangunan yang sama Eros akan memperjuangkan kebahagiaannya. Dengan masih memakai setelan kerjanya pria itu berdiri di depan pintu kediaman mantan mertuanya, menunggu seseorang di dalam berbaik hati membukakan pintu untuknya. Selama mereka tidak memberitahu di mana keberadaan Zora, Eros tidak akan pernah lelah memaksa dan meyakinkan kepada kedua orang tua wanita itu bahwa ia bersungguh-sungguh mencintai putri mereka, bahwa ia tidak pernah sekalipun ada niatan untuk menyakiti hatinya. Sementara di dalam rumah itu sepasang suami istri tersebut sedang duduk – berpura-pura – santai di ruangan tamu, berpura-pura membutakan mata mereka jika di luar sana ada seseorang yang sedang berdiri menunggu mendapatkan kesempatan kedua. Namun, yang namanya hati seorang wanita terlebih seorang ibu tetap saja sekecewa-kecewanya, semarah-marahnya dia, hatinya tetaplah lembut. “Jangan sekalipun kau membukakan pintu untuknya!”
Setelah menahan rasa sakit diperutnya berjam-jam kemudian syukurlah sakit itu berangsur-angsur menghilang. Dengan gerakan pelan Kirana mengelap keringatnya dan berulang kali menarik napasnya. Kirana bertanya-tanya pada dirinya sendiri, “Ada apa dengan perutku? Kenapa rasanya sesakit ini?” Setelah itu ia beranjak untuk mengambil tas dan kunci mobilnya yang tergantung tidak jauh dari tempatnya sekarang untuk bergegas ke rumah sakit. Selain untuk memeriksakan kandungannya, Kirana juga kesana untuk menjenguk ibu mertuanya. Walaupun hubungan mereka tidak baik setelah masalah perselingkuhan palsu yang diciptakannya, tetapi tetap saja ia masihlah seorang menantu dan bagian dari keluarga itu. Dengan masih memegang perut besarnya Kirana mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia tidak ingin mengambil risiko datang ke rumah sakit dengan dibawa mobil ambulance karena mengalami kecelakaan. *** Muak dengan semua pembicaraannya akhirnya Eros memi
Dua pria yang sama-sama memiliki wajah tampan dan berkharisma jika sedang bekerja itu kini sedang duduk di sebuah taman rumah sakit. Saling berdiam diri, tetapi tidak dengan pikirannya. Entah apa yang sedang dipikirkan kedua pria yang hanya memiliki selisih usia satu tahun itu, tentu saja yang mengetahuinya hanya dirinya sendiri dan Tuhannya yang tahu. Sampai satu orang pria yang tidak terlalu nyaman dengan keterdiaman ini akhirnya membuka suaranya setelah satu jam lebih mereka berdiam di sana. “Kak Naura sudah melahirkan,” ucap pria tersebut yang tidak lain adalah – Endru - dengan tatapan datarnya dan tanpa menoleh ke arah orang yang sedang diajaknya bicara. Pria satunya yang tentu saja sudah dapat kita tebak siapa menolehkan kepalanya, pria itu tidak lantas menjawab karena ia yakin sang kakak belum menyelesaikan perkataannya, karena tidak mungkin dia hanya akan memberitahukan bahwa kakak pertamanya telah melahirkan, dia sudah mengetahuinya. Maka yang dilaku
“Dia begitu mirip denganmu, Sayang,” ucap Arya ketika bayi kembar mereka sudah diperbolehkan tidur di ruangan yang sama dengan ibunya. “Matanya, hidungnya, bahkan bentuk bibirnya juga benar-benar fotocopy dari ibunya. Hmm, sedikitpun tidak ada yang meniru dariku.” Naura hanya tersenyum mendengar suaminya terus memuji wajah tampan bayi laki-lakinya yang memang lebih mirip dengannya. Namun, pria itu tidak boleh cemburu karena wajah bayi perempuannya lebih mirip dengannya. “Dan bayi perempuan kita mirip denganmu, Sayang,” balas Naura ikut memperhatikan wajah-wajah si kembar. Pria itu menoleh di mana istrinya berada, lalu pria itu tersenyum seraya mengusap puncak kepala istrinya dan kembali mengucapkan terima kasih karena sudah melahirkan si kembar yang kini sedang tertidur pulas di dalam box bayinya, tidak terganggu sama sekali dengan obrolan orangtuanya yang sedang membicarakan mereka. “Terima kasih atas perjuangmu yang luar biasa ini dalam melahirkan s