Seorang pria yang bahkan tanpa bicara sepatah katapun tampak sangat karismatik sekaligus kejam. Pria dengan tatapan setajam elang dari manik coklat hazelnutnya yang berpadu dengan alis mata tebal dan rahang tajam. Sosoknya yang tinggi besar tampak sangat menonjol di antara para tamu yang berkumpul di aula.
Shane menatap ke sekitar ruangan sebelum melangkah lebih dalam ke rumah duka itu. Beberapa tamu yang sudah berkumpul sedari tadi terlihat menunduk dan mengalihkan pandangan. Tampak tak berani menatap balik pada manik coklat hazelnut milik lelaki itu.
Begitu Shane Digory melangkah masuk, aura berat dan kelam langsung menyelimuti rumah duka itu. Pria itu sangat karismatik hingga membuat seisi tamu yang menyandang nama belakang Digory yang terkenal sombong dan angkuh langsung bungkam bagai sekelompok domba di peternakan, begitu patuh dan ketakutan pada serigala.
Maggie menatap horor, begitupun Hans yang seakan bersembunyi di balik tubuh istrinya yang gemuk itu.
Dengan langkah tegap tanpa menegur siapa pun di ruangan itu Shane berjalan menuju tempat Helena berdiri.
‘Ah, sial,’ umpat Helena dalam hati. Ia menelan salivanya saat Shane mendekat ke arahnya. Keringat dingin tiba-tiba bermunculan di dahi Helena. ‘Ia tak mendengar apa yang aku katakan kan? Kumohon Tuhan, jangan sampai ia mendengarnya.’
Di lain pihak Hans dan Maggie masih ketakutan sambil menatap sosok yang baru saja datang di aula rumah duka itu. Jika benar wanita yang mereka konfrontir tadi adalah istri dari Shane Digory maka sudah tentu mereka harus mengucapkan selamat tinggal pada kehidupan mewah mereka selama ini. Hans bahkan ingin berlutut meminta maaf, tapi ia tidak yakin kalau Helena akan memaafkannya. Ia bahkan dengan lancangnya berani melecehkan istri Shane Digory.
Tapi lelaki itu malah melewati mereka tanpa melirik sedikitpun ke arah Helena, seakan tak ada satupun manusia yang berada di depannya. Maggie dan Hans yang tadi gemetaran, sontak menengadahkan kepala melihat Shane seakan tak mempedulikan Helena, dan memang terlihat jelas seperti itu.
‘Kenapa ia seakan tak mengenal wanita ini? Ia berbohong?’ Hal itu membuat dahi Maggi berkernyit.
“Wah, sekarang kau berani berteriak-teriak di jalan dan menyebut dirimu istri sah kakakku?” ucap seorang gadis dengan nada mengejek.
Sindiran itu langsung membuat Helena memucat. Kate Winsor, adik tiri Shane Digory sekarang berdiri di sebelah Maggie dengan seringai meremehkannya.
‘Bahkan jika Shane tidak mendengar ucapanku barusan, adiknya tidak jauh lebih baik,’ pikir Helena sembari menundukkan kepala.
“Wa-wanita ini benar istri sah keponakanku tercinta Shane Digory?” tanya Maggie terbata-bata masih ketakutan.
Kate Winsor meledakkan tawanya sebelum menjawab. “Jadi ia sekarang menjual nama kakakku? Iya Bibi Maggie, apa yang wanita ini katakan benar. Ia istri sah kakakku, Shane Digory.”
Manik mata Maggie dan Hans seakan ingin melompat dari tempatnya mendengar pernyataan dari adik tiri Shane Digory itu. ‘Kate Windsor, keluarga inti dari Shane Digory tidak mungkin berbohong! Astaga bagaimana ini?’
Namun, alih-alih merasa dibela oleh adik iparnya, Helena justru merasa Kate Windsor sengaja ingin menjatuhkannya. Dan tebakan wanita berambut panjang itu tak salah.
“Tapi ia hanya istri pajangan yang sebentar lagi akan bercerai,” lanjut Kate Windsor sembari menatap tajam Helena, senyum licik tersungging di wajahnya. “Ia adalah lintah di keluarga Digory yang memanfaatkan kebaikan kakek Graham agar kakakku mau menikahi wanita yang tidak jelas asal usulnya.” Kate Windsor mengatakan itu semua dengan lantang agar para tamu yang hadir mendengarnya dengan jelas.
“Benarkah?” tanya Maggie terlihat geram menatap punggung Helena, seakan ingin mengoyak wanita itu karena begitu kesal akan hal yang terjadi padanya beberapa saat lalu.
Helena menelan salivanya, dan tak menggubris tatapan Kate Windsor yang seakan menertawakannya. Wanita itu langsung berbalik dan mengekori suaminya untuk memberikan salam terakhir pada kepala keluarga Digory itu.
Bisik-bisik para tamu kembali bergaung rendah di dalam aula rumah duka setelah mendengar pernyataan Kate Windsor.
“Sudah kuduga itu tidak mungkin, wanita itu tampak tak berkelas sama sekali jika, dibandingkan pacar Shane sebelumnya.”
“Bukankah Shane berpacaran dengan penari berbakat itu? Apa mereka putus?”
"Apakah benar berita yang beredar, Shane terpaksa menikahinya karena permintaan kakek Graham Digory?"
"Jika kakek Graham Digory sudah meninggal, bagaimana nasib pernikahan mereka?"
Helena menghela napas mendengar suara suara pelan penuh rasa ingin tahu di belakangnya, sedangkan Shane seakan tak peduli dengan kekacauan yang meninggalkan banyak tanda tanya akan statusnya sekarang. Ia baru saja kehilangan orang yang paling disayanginya di dunia ini. Graham Digory, pria yang sangat ia hormati, bagi Shane Digory, pria itu bukan hanya tetua keluarga saja melainkan, kakek, guru dan sahabatnya.
Sekarang sepasang suami istri -Helena dan Shane Digory- berdiri di hadapan peti mati yang berisi jenazah tetua keluarga Digory itu untuk memberikan penghormatan terakhir.
Helena yang berada satu langkah di belakang pria tampan itu. Ia melihat pundak lebar lelaki itu bergetar seakan menahan tangis. ‘Tak ada seorang pun yang meneteskan air mata sedari tadi upacara pemakaman ini berlangsung, dan kurasa hanya dia yang benar-benar terlihat sangat kehilangan Kakek Graham.’
Namun, Helena paham betul kenapa Graham Digory tak ditangisi seorang pun, bahkan keluarganya sendiri terlihat bersuka cita dengan kepergiannya. Hal yang mendasari selain karena pembagian harta, tentu saja karena perangai Graham Digory sendiri. Pria tua yang sudah tak bernyawa itu merupakan seorang globalis patriat yang sangat narsistik terhadap dirinya. Graham Digory pula yang turut serta menjerumuskan Helena ke dalam neraka ini, neraka yang dinamakan pernikahan.
Shane belum beranjak dari tempatnya berdiri, ia tampak mati-matian menahan rasa sedihnya. Walau selama ini dirinya dikenal sebagai pria dingin tanpa ekspresi tapi Helena tahu kalau sekarang suaminya menyimpan kesedihan yang mendalam.
Helena menyodorkan tisu dengan tangan gemetar. Sepertinya ini pertama kali wanita itu memberikan tisu pada tamu di pemakaman hari ini. “Kakek tak ingin kamu tahu kalau dirinya sedang sekarat, karena itu aku tak bisa memberitahukan mu, Shane,” ujar Helena pelan nyaris berbisik. Wanita itu mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk bicara pada Shane Digory. Sepertinya itu adalah kalimat terpanjang yang wanita itu tujukan kepada suaminya.
Shane menolehkan kepala seolah baru sadar ada seseorang yang berdiri di sampingnya. Ia menatap Helena dari ujung mata seakan gadis itu tak pantas untuk mendapat perhatiannya, bahkan melihatnya saja Shane terlihat jengah. "Kau? Kenapa ada di sini?" tanyanya dingin.
Manik mata sewarna zamrud milik Helena langsung membulat, ia tak dapat menjawab apa pun, tangannya yang menyodorkan tisu masih menggantung di hadapan lelaki yang merupakan suami sahnya itu.
Manik hazelnut Shane melirik ke bawah melihat apa yang Helena sodorkan padanya, rahang lelaki itu langsung mengeras.Pria tampan itu menepis tangan Helena yang menyodorkan sapu tangan padanya.
“Mencoba terlihat bersimpati, huh? Selamat setelah ini kau akan mendapatkan harta yang sangat kau inginkan itu, jangan pura-pura bersedih,” sindir Shane Digory dengan tatapan dingin.
Helena hanya menundukkan kepalanya dan bungkam menanggapi sindiran Shane. Keberanian wanita itu sudah menguap entah kemana, apalagi ketika telunjuk Shane menuding ke arahnya. Karena yang dikatakan Shane Digory adalah sebuah kebenaran, Helena memang mengharapkan harta milik keluarga suaminya itu.
“Cepat menyingkir dari hadapanku. Aku terlalu muak melihat wajahmu sekarang,” lanjut Shane sebelum melangkah cepat meninggalkan Helena di depan peti mati Graham Digory.
Setelah sosok Shane Digory menghilang, tawa keras dan cemoohan terdengar nyaring di rumah duka itu. Mereka satu persatu mengolok-olok keberadaan Helena. Wanita dengan surai hitam panjang itu, hanya bisa meneteskan air mata saat suaminya berbalik pergi meninggalkannya sendirian di aula rumah duka itu. Wanita itu benar-benar dipermalukan oleh Shane Digory, dan tak akan ada tempat yang aman untuk Helena sekarang di kota ini, Digory Valley.
“Shane!” panggil Helena mencoba menyusul lelaki berbadan tegap itu. Namun, deringan ponsel miliknya menghentikan langkah wanita itu. Nomor yang sangat Helena kenal, dan panggilan dari nomor itu selalu membuat dadanya sesak. ‘Rumah Sakit Digory’.
“Halo?”“Nona Helena, dari tadi kami mencoba menghubungi Anda. Bisakah Anda segera kemari?” ucap suara di seberang sana. “Keadaanya sungguh sangat mengkhawatirkan. Kami butuh transfusi darah Anda segera–.” Tiba-tiba pembicaraan itu terputus begitu saja. Helena berulang kali mengucapkan kata “halo” dengan panik, sampai akhirnya ia melihat bar sinyal ponselnya kembali menghilang. Jantung Helena berdetak cepat akibat kalimat terakhir dari orang yang baru saja menghubunginya. Ia harus segera ke rumah sakit Digory yang berada di tengah kota sedangkan rumah duka ini terletak jauh di pinggiran, bahkan sinyal handphone yang sedari tadi timbul tenggelam seolah menghilang sekarang. Helena tadi berangkat ke sini menumpangi mobil ambulans yang membawa jenazah Graham Digory, sedangkan tak ada satu pun moda transportasi umum yang akan melewati tempat ini, ia juga tidak bisa menghubungi taxi online karena masalah sinyal.Helena melihat mobil yang ditumpangi Shane Digory belum berpindah dari pelat
“Aku akan mengantarmu,” ujar seseorang dari dalam mobil mewah itu. Kaca mobil yang gelap menyamarkan si pemilik suara. Tapi Helena mengenal suara siapa di balik jendela itu.“Mau Anda apa?” tanya Helena dengan nada dingin.Pria itu menurunkan kaca mobilnya, senyum terkembang dari balik kumis klimisnya. "Aku mau mengantarmu, Helena," ujar Hans dengan tatapan mesumnya."Aku tahu Anda tak mungkin melakukan apa pun untukku dengan sukarela," tolak Helena sambil berjalan kaki. Dibohongi oleh Kate Windsor merupakan pelajar untuknya di siang ini, Helena tak ingin dibodohi lagi untuk kedua kalinya oleh keluarga Digory. Terlebih Hans adalah pria yang berani terang-terangan melakukan pelecehan padanya."Astaga, Helena! Kenapa kau berpikiran begitu buruk pada Paman? Bukankah kita keluarga?"“Bukankah kita keluarga?” gumam Helena pelan sembari tertawa miris. 'Sejak kapan keluarga Digory selain Kakek Graham menganggapku keluarga?' Gadis itu mempercepat langkahnya sedangkan Hans masih mengikuti Hel
Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur!
“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,