Rumah duka itu telah dipenuhi klan Digory. Sebuah keluarga yang terkenal kaya raya seantero Digory Valley, bahkan kota ini pun dinamakan sesuai dengan marga mereka. Namun, tak seperti pemakaman pada umumnya, wajah-wajah para tamu tak menampakan kesedihan, seolah mereka tak kehilangan salah satu anggota keluarga paling penting di keluarga itu.
Graham Digory dikebumikan hari itu setelah dirawat di rumah sakit ternama miliknya selama berbulan-bulan. Sungguh ironi, harta yang melimpah ruah pun tak sanggup mengembalikan nyawanya.
Tampak para pelayan sibuk menyuguhkan sup daging dan minuman anggur mewah di upacara kematian itu, hingga membuat acara di pagi ini lebih mirip sebuah pesta perjamuan dengan acara utama pembagian harta warisan milik sang mendiang.
Para tamu yang kesemuanya memiliki nama belakang "Digory" itu tak sungkan lagi untuk mengembangkan senyum mereka yang terlihat senang ketimbang sedih di acara sakral yang seharusnya penuh kesyahduan itu.
Helena menatap sendu pada peti mati yang berisi tetua keluarga Digory. Wajah wanita itu tampak sangat lelah. Beberapa hari terakhir ini, waktu tidurnya jauh berkurang karena harus mendampingi Graham Digory di rumah sakit.
Tak ada satupun dari keluarga ini yang pernah Helena lihat menjenguk pemimpin keluarga Digory ketika ia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, hingga lelaki itu menghembuskan napas terakhir. Tapi begitu kematian Graham Digory diumumkan seluruh keluarga Digory berkumpul bak semut mengerubungi gula.
"Kau baik-baik saja?" tanya seorang pria yang tiba-tiba sudah berada di samping Helena. Pria itu tampak sangat perhatian, ia bahkan mengusap-usapkan tangannya ke punggung wanita berambut hitam panjang itu.
Namun, hal itu malah membuat Helena risih. "Iya, aku tidak apa-apa, Paman Hans," jawab Helena sembari menjauhkan tubuhnya untuk menghentikan afeksi intim yang diberikan pria tua bertubuh kurus itu.
"Paman?" gumam Hans dengan mata berkilat terkejut. "Kenapa pelayan sepertimu sungguh berani memanggil aku 'paman'?"
Helena menghembuskan napas panjang. 'Tampaknya paman Hans tak tahu siapa diriku'. Helena merasa hal itu wajar, karena selama ini suaminya tak pernah mengajak wanita itu ke pesta perjamuan keluarga atau bahkan acara publik apapun. Pernikahan mereka dua setengah tahun yang lalu dilakukan secara tertutup dan satu-satunya orang yang paling bahagia ketika pernikahan mereka telah menemui ajalnya pagi ini.
"Kau mungkin lupa Paman Hans, kita pernah bertemu di rumah kakek Graham,” ucap Helena mencoba menjelaskan kepada pria tua dengan tatapan mesum di hadapannya.
Tapi alih-alih mendengarkan wanita muda lawan bicaranya, Hans malah semakin mendekatkan tubuh ke arah Helena. Ia bahkan terus menurunkan tangannya dari punggung Helena seakan menuju ke bokong wanita bermata sewarna zamrud itu.
“Oh, kau perawat di rumah si tua Graham Digory. Kau tentu lelah mengurus pria tua yang sakit-sakitan itu sampai ia menemui ajalnya. Sekarang lebarkan saja kedua pahamu untuk melayaniku. Aku akan berikan semua yang kau mau.”
Helena sontak menepis tangan Hans, wanita itu juga menatap tak percaya sebagai reaksi atas apa yang pria itu ucapkan. Hans Digory memang terkenal sebagai seorang pria yang senang bermain dengan wanita dan tukang selingkuh tapi Helena tak menyangka kalau ia juga menjadi sasaran pria itu.
"Aku sudah menikah, Paman Hans!"
Senyum cabul Hans semakin melebar. “Bukankah itu membuat permainan api ini semakin menarik, cantik!” lanjut Hans dan dengan lancangnya tangan kiri pria itu meremas bokong sintal milik Helena.
"Paman Hans!" pekik Helena penuh emosi sebelum menampar wajah pria berkumis tipis itu.
Belum sempat Hans mencerna apa yang terjadi hingga membuat pipinya terasa perih dan memerah, sebuah teriakan penuh amarah terdengar dari belakang tempatnya berdiri.
"Apa yang kau lakukan pada suamiku! Menamparnya?" bentak Maggie sambil mendorong Helena.
Tubuh Helena langsung limbung, wanita dengan badan kelelahan itu langsung jatuh terduduk. "Bukankah Bibi harusnya bertanya apa yang suami Bibi lakukan? Ia bersikap kurang ajar padaku!" balas Helena membela diri.
"Heh, suamiku tak mungkin bersikap seperti itu. Kamu pasti yang sengaja merayu-rayu suamiku, dasar wanita murahan!” tuduh Maggie. Sedangkan Hans langsung mengkerut di samping istrinya. Pria itu sangat takut dengan istrinya, karena ia mendapat kemewahan nama belakang Digory dari Maggie. Karena itu alih-alih menggunakan nama belakang Hans yaitu Green, seperti yang lumrah dipakai keluarga pada umumnya. Justru Hans lah sang suami yang mengikuti nama belakang sang istri.
Beberapa orang yang sudah tahu bagaimana sifat asli Hans Green tampak tertawa geli mendengar Maggie membela suaminya.
"Buat apa aku merayu suami Bibi jika aku sudah menikahi pria tampan yang akan jadi penerus utama keluarga Digory. Aku adalah istri sah Shane Digory!” sembur Helena dengan penuh amarah.
Sebenarnya Helena ingin menyembunyikan statusnya sebagai istri Shane Digory. Ia pun tak ingin menjadi pusat keramaian di saat seluruh keluarga Digory berkumpul terutama saat acara yang pasti didatangi suaminya. Tapi kemarahannya sudah tak bisa ditahan lagi, ia benar-benar muak dituduh sebagai wanita murahan, sedangkan dirinya yang menjadi korban pelecehan.
Semua pasang mata sekarang balas menatap Helena. Seakan-akan menilai diri gadis lusuh itu dan memantaskan dengan apa yang tak sengaja ia ucapkan barusan. Ekspresi terkejut bercampur tak percaya terlihat jelas di kerumunan klan Digory itu.
Helena menelan salivanya, dalam hati gadis itu penuh penyesalan karena telah mengatakan status dirinya. Ia menatap sekitar dengan ketakutan setelah menyadari apa dampak dari perkataannya tadi. Helena berharap orang 'itu' belum hadir di rumah duka ini.
‘Tenanglah, ia belum datang. Untunglah, jadi aku bisa menggunakan status ini untuk menakuti suami istri yang merundung ku sekarang.’ Pikir Helena dengan gugup, kemudian ia melihat ekspresi ketakutan milik Maggie dan Hans yang sekarang bungkam. Hal itu cukup menaikkan ego sang wanita yang memiliki rambut hitam panjang.
Maggie dan Hans Digory langsung mematung dengan wajah pucat seakan jantungnya berhenti memompa darah ke sekujur tubuhnya ketika mendengar nama itu.
"Sha-shane…," ucap Hans terbata-bata tampak sangat ketakutan. Ia tak tahu harus meminta maaf dengan cara apa sekarang pada wanita yang baru saja menerima perlakuan tak bermoral darinya.
Di samping Hans, Maggie tampak berpikir keras. 'Wanita ini berbohong kan? Bukankah aku tak pernah melihatnya dengan Shane? Dia pasti ingin menakut-nakutiku dengan asal sebut sebagai istri keponakanku yang sangat berkuasa itu.' Sebentuk tanya muncul dibenak Maggie. Memang ia pernah mendengar selentingan kabar kalau keponakannya itu menikah, tapi tak ada satupun yang pernah mengkonfirmasi kebenaran berita itu. Ekspresi ketakutan Maggie tiba-tiba berubah menjadi tawa keras meremehkan.
"Kau mau menipuku, wanita kampungan? Kau kira bisa menipuku begitu saja. Istri Shane tidak mungkin memakai baju murahan seperti yang kau kenakan. Bahkan aku tak pernah sekalipun melihat kalian berdua bersama," ucap Maggie dengan mata nyalang penuh amarah.
"Astaga, apa ada begitu banyak orang yang Bibi kenal menggunakan nama Shane Digory untuk menipu? Suamiku itu sangat berkuasa, dia cucu pertama di keluarga ini, dan sudah dipastikan pemilik harta warisan terbesar dari Kakek Graham. Aku tak mungkin berani menggunakan namanya untuk mengaku-aku," balas Helena sembari tersenyum congkak. Wanita itu kemudian memamerkan cincin kristal 'air mata hitam' yang tersemat di jari manisnya.
"Apa perlu aku meminta suamiku, Shane Digory, menutup perusahaan makanan milik Bibi Maggie sekarang juga?" ancam Helena sambil menunjuk wanita gemuk itu dengan berani, terlihat jelas ia sengaja memamerkan cincin kristal 'air mata hitam'.
"Ti-tidak mungkin," gumam Maggie tak percaya, tapi terlihat ketakutan. 'Cincin kristal 'air mata hitam' itu hanya dimiliki oleh Bibi Bianka, istri Paman Graham. Kemudian cincin itu diberikan pada Shane Digory, khusus untuk ia berikan pada istrinya kelak. Itu tidak mungkin barang tiruan. Wanita ini benar-benar istri keponakanku!'
Bisik-bisik riuh rendah di rumah duka itu juga tampak memiliki pemikiran yang sama dengan Maggie.
Helena tersenyum puas melihat ekspresi ketakutan di wajah wanita gemuk di hadapannya. Gadis bermata sewarna zamrud itu sangat jarang merasa superior walaupun ia merupakan istri sah dari Shane Digory, seorang pria yang terkenal sangat berkuasa terutama di daerah ini, Digory Valley.
Pernikahan Helena dan Shane Digory benar-benar hanya disaksikan oleh keluarga inti Digory saja, bukan keluarga besar atau lebih tepatnya lintah-lintah yang ikut memanfaatkan nama Digory sebagai nama belakang mereka.
Tiba-tiba hiruk pikuk orang-orang yang menyaksikan perkelahian tadi menghilang dengan cepat. Semua mata sekarang tertuju pada satu titik di pintu masuk aula rumah duka itu. Tampak sosok seorang pria yang kedatangannya membuat suasana sunyi senyap seketika. Tak ada seorang pun yang berani angkat bicara.
Seorang pria yang bahkan tanpa bicara sepatah katapun tampak sangat karismatik sekaligus kejam. Pria dengan tatapan setajam elang dari manik coklat hazelnutnya yang berpadu dengan alis mata tebal dan rahang tajam. Sosoknya yang tinggi besar tampak sangat menonjol di antara para tamu yang berkumpul di aula.Shane menatap ke sekitar ruangan sebelum melangkah lebih dalam ke rumah duka itu. Beberapa tamu yang sudah berkumpul sedari tadi terlihat menunduk dan mengalihkan pandangan. Tampak tak berani menatap balik pada manik coklat hazelnut milik lelaki itu.Begitu Shane Digory melangkah masuk, aura berat dan kelam langsung menyelimuti rumah duka itu. Pria itu sangat karismatik hingga membuat seisi tamu yang menyandang nama belakang Digory yang terkenal sombong dan angkuh langsung bungkam bagai sekelompok domba di peternakan, begitu patuh dan ketakutan pada serigala.Maggie menatap horor, begitupun Hans yang seakan bersembunyi di balik tubuh istrinya yang gemuk itu.Dengan langkah tegap tan
“Halo?”“Nona Helena, dari tadi kami mencoba menghubungi Anda. Bisakah Anda segera kemari?” ucap suara di seberang sana. “Keadaanya sungguh sangat mengkhawatirkan. Kami butuh transfusi darah Anda segera–.” Tiba-tiba pembicaraan itu terputus begitu saja. Helena berulang kali mengucapkan kata “halo” dengan panik, sampai akhirnya ia melihat bar sinyal ponselnya kembali menghilang. Jantung Helena berdetak cepat akibat kalimat terakhir dari orang yang baru saja menghubunginya. Ia harus segera ke rumah sakit Digory yang berada di tengah kota sedangkan rumah duka ini terletak jauh di pinggiran, bahkan sinyal handphone yang sedari tadi timbul tenggelam seolah menghilang sekarang. Helena tadi berangkat ke sini menumpangi mobil ambulans yang membawa jenazah Graham Digory, sedangkan tak ada satu pun moda transportasi umum yang akan melewati tempat ini, ia juga tidak bisa menghubungi taxi online karena masalah sinyal.Helena melihat mobil yang ditumpangi Shane Digory belum berpindah dari pelat
“Aku akan mengantarmu,” ujar seseorang dari dalam mobil mewah itu. Kaca mobil yang gelap menyamarkan si pemilik suara. Tapi Helena mengenal suara siapa di balik jendela itu.“Mau Anda apa?” tanya Helena dengan nada dingin.Pria itu menurunkan kaca mobilnya, senyum terkembang dari balik kumis klimisnya. "Aku mau mengantarmu, Helena," ujar Hans dengan tatapan mesumnya."Aku tahu Anda tak mungkin melakukan apa pun untukku dengan sukarela," tolak Helena sambil berjalan kaki. Dibohongi oleh Kate Windsor merupakan pelajar untuknya di siang ini, Helena tak ingin dibodohi lagi untuk kedua kalinya oleh keluarga Digory. Terlebih Hans adalah pria yang berani terang-terangan melakukan pelecehan padanya."Astaga, Helena! Kenapa kau berpikiran begitu buruk pada Paman? Bukankah kita keluarga?"“Bukankah kita keluarga?” gumam Helena pelan sembari tertawa miris. 'Sejak kapan keluarga Digory selain Kakek Graham menganggapku keluarga?' Gadis itu mempercepat langkahnya sedangkan Hans masih mengikuti Hel
Wanita itu menatap pria mesum yang baru saja melecehkannya dengan mata memerah, manik hijau zamrudnya di penuhi air mata. Helena merogoh sakunya dengan sisa tenaga yang ia miliki, mengambil sesuatu yang bisa menjadi senjata terakhir untuk melindungi diri.“ARGHHH!!!” erang Hans sambil menutup matanya. Pria itu bahkan menabrak langit-langit mobilnya sendiri. “Apa yang kau lakukan, Jalang!” makian Hans di sela-sela jerit kesakitannya.Helena baru saja menyemprotkan cairan desinfektan yang selalu ia bawa ke mata Hans. Seolah mendapatkan tenaga dari raungan kesakitan pria tua itu, Helena langsung menendang Hans hingga tersungkur di dekat kemudi mobil, selanjutnya dengan sigap gadis bertubuh kurus itu membuka pintu mobil dan segera berlari keluar.Helena berusaha berlari sejauh mungkin dari mobil bugatti yang baru saja ditumpanginya, sumpah serapah semakin frontal Hans lontarkan ketika tahu Helena pergi menjauhinya.“Kau akan mati di hutan, tak ada satupun yang melewati jalan ini, Pelacur!
“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh