Terima kasih sudah membaca
“Nyonya Helena!” sambut Jeremy dengan nada riang sambil membuka pintu cafe. Ia memakai kemeja merah muda dan celana bahan berwarna coklat kopi yang senada dengan keseluruhan warna bangunan di belakangnya. “Aku sudah menunggumu dari tadi.” Helena masih terpaku di tempatnya dan tak memperdulikan kedatangan Jeremy. Lelaki itu akhirnya mengikuti arah pandang wanita itu. “Nama yang norak ya?” Jeremy kemudian menyemburkan tawanya setelah mengatakan hal itu, tak lama sampai ia sadar Helena menatapnya tajam. “Ah, maafkan aku Nyonya Hel, tolong jangan laporkan pada suamimu. Aku masih harus mengumpulkan uang untuk membiayai pernikahanku dengan Barbara.” Helena langsung tertawa pelan. “Kalau begitu cepatlah kalian menikah agar kau lebih sadar.” “Tapi kulihat Tuan Shane semakin tak waras karena menikah Lihat aku tak menyangka ia akan memilih nama senorak itu. Dan kurasa hanya itu kekurangan cafe ini, semua sangat sempurna, dari bangunan, suasana, rasa masakan, promosi, dan para pengunjung sa
Helena menautkan keningnya. “Tapi masih banyak masakan yang harus aku buat lagi pula bukankah banyak waiters di depan?” Jam makan siang baru saja dimulai, pesanan silih berganti tak henti-henti masuk ke dalam dapur. Helena juga turut sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Jeremy menggeleng kencang. “Tolong, hanya kau yang bisa melakukannya.” Helena menoleh ke arah pegawai lain yang berada di dalam dapur. Wajah semua orang tampak tidak keberatan, bahkan salah satu chef senior berkata, “tolong bantu Tuan Jeremy saja Nyonya Helena. Disini biar aku yang mengatasi.” Helena menangguk dan mengikuti Jeremy keluar dapur. “Memangnya ada apa, Jeremy?” tanya wanita berambut panjang itu masih bingung. “Itu, Tuan Besar Shane Digory. Ia -seperti biasa- ingin dilayani olehmu,” jelas Jeremy dengan senyuman lebar. Helena langsung terlihat kesal. Ia mengira terjadi sesuatu yang begitu darurat. Tapi bagi Jeremy dan semua pegawai lain, kehadiran Shane Digory adalah sesuatu yang darurat d
“Tes… Tes… satu, dua, tiga, tes, tes. Pim di sini.” Pim ketuk-ketuk dulu microphone ini ya. Kedengaran tidak? Pim mau cerita, ini ada kaitannya sama mainan baru, Pim. Kemarin Shane kasih ini diam-diam ke Pim ini. “Kamera buat ngerekam. Jadi sekarang Pim akan buat Vlog tentang keseharian Pim!” Pim semangat banget bicara di depan kamera. Sebentar, coba Pim ketok-ketok dulu kamera ini. Sudah jalan belum ya? Oh oke sudah baik. Mari kita rekaman lagi. “Hai selamat datang di Pim Vlog.” Sebentar Pim mikir dulu mau bilang apa lagi. “Okeh, terus apa lagi ya? Oh ya! Di Pim Vlog akan menceritakan-.” Cerita apa ya? Pim mau cerita apa ya? Mama nikah sama Shane? Rumah baru? Kamar baru? Boneka baru yang banyak? Tinggal di kota besar terus kemarin lewat toko kue yang warnanya merah muda. Duh mana duluan ya yang Pim ceritakan? Coba minta usulan Mama ah! “Mama, Mama!” Pim berlari-lari kecil ke dapur. Pasti Mama lagi di dapur. Kata Mama mau buat makan malam sih tadi. “Kenapa, Sayang?” Mama nany
Tak!Shane Digory melempar pulpen begitu melihat istrinya itu tampak kebingungan mencari alat tulis. Pulpen itu tepat jatuh satu meter dari kaki Helena."Hei, cepat tanda tangani surat itu. Besok Jasper akan membawa surat itu ke pengadilan," perintah Shane Digory lagi tanpa perlu repot-repot memanggil nama Helena. Bahkan mungkin pria itu lupa nama istrinya. Ia benar-benar ingin segera mengantongi akta cerai.Helena segera mengambil pulpen itu kemudian kembali duduk di hadapan suaminya. Mencoba untuk tak terlihat ketakutan, Helena menelan salivanya sambil menahan tangannya yang gemetar. Helena membubuhkan tanda tangannya di kertas bertuliskan surat cerai itu.'Selamat tinggal cinta pertamaku,' ucap Helena dalam hati.Shane Digory tersenyum puas setelah melihat tinta hitam di atas surat cerainya. Kemudian pandangannya teralih ke wajah 'calon' mantan istrinya itu. 'Kenapa ia tampak menyedihkan?'Shane Digory baru menyadari baju Helena terlihat kusam dan pudar. Shane Digory bahkan hapal p
Rumah duka itu telah dipenuhi klan Digory. Sebuah keluarga yang terkenal kaya raya seantero Digory Valley, bahkan kota ini pun dinamakan sesuai dengan marga mereka. Namun, tak seperti pemakaman pada umumnya, wajah-wajah para tamu tak menampakan kesedihan, seolah mereka tak kehilangan salah satu anggota keluarga paling penting di keluarga itu. Graham Digory dikebumikan hari itu setelah dirawat di rumah sakit ternama miliknya selama berbulan-bulan. Sungguh ironi, harta yang melimpah ruah pun tak sanggup mengembalikan nyawanya. Tampak para pelayan sibuk menyuguhkan sup daging dan minuman anggur mewah di upacara kematian itu, hingga membuat acara di pagi ini lebih mirip sebuah pesta perjamuan dengan acara utama pembagian harta warisan milik sang mendiang. Para tamu yang kesemuanya memiliki nama belakang "Digory" itu tak sungkan lagi untuk mengembangkan senyum mereka yang terlihat senang ketimbang sedih di acara sakral yang seharusnya penuh kesyahduan itu.Helena menatap sendu pada pet
Seorang pria yang bahkan tanpa bicara sepatah katapun tampak sangat karismatik sekaligus kejam. Pria dengan tatapan setajam elang dari manik coklat hazelnutnya yang berpadu dengan alis mata tebal dan rahang tajam. Sosoknya yang tinggi besar tampak sangat menonjol di antara para tamu yang berkumpul di aula.Shane menatap ke sekitar ruangan sebelum melangkah lebih dalam ke rumah duka itu. Beberapa tamu yang sudah berkumpul sedari tadi terlihat menunduk dan mengalihkan pandangan. Tampak tak berani menatap balik pada manik coklat hazelnut milik lelaki itu.Begitu Shane Digory melangkah masuk, aura berat dan kelam langsung menyelimuti rumah duka itu. Pria itu sangat karismatik hingga membuat seisi tamu yang menyandang nama belakang Digory yang terkenal sombong dan angkuh langsung bungkam bagai sekelompok domba di peternakan, begitu patuh dan ketakutan pada serigala.Maggie menatap horor, begitupun Hans yang seakan bersembunyi di balik tubuh istrinya yang gemuk itu.Dengan langkah tegap tan
“Halo?”“Nona Helena, dari tadi kami mencoba menghubungi Anda. Bisakah Anda segera kemari?” ucap suara di seberang sana. “Keadaanya sungguh sangat mengkhawatirkan. Kami butuh transfusi darah Anda segera–.” Tiba-tiba pembicaraan itu terputus begitu saja. Helena berulang kali mengucapkan kata “halo” dengan panik, sampai akhirnya ia melihat bar sinyal ponselnya kembali menghilang. Jantung Helena berdetak cepat akibat kalimat terakhir dari orang yang baru saja menghubunginya. Ia harus segera ke rumah sakit Digory yang berada di tengah kota sedangkan rumah duka ini terletak jauh di pinggiran, bahkan sinyal handphone yang sedari tadi timbul tenggelam seolah menghilang sekarang. Helena tadi berangkat ke sini menumpangi mobil ambulans yang membawa jenazah Graham Digory, sedangkan tak ada satu pun moda transportasi umum yang akan melewati tempat ini, ia juga tidak bisa menghubungi taxi online karena masalah sinyal.Helena melihat mobil yang ditumpangi Shane Digory belum berpindah dari pelat
“Aku akan mengantarmu,” ujar seseorang dari dalam mobil mewah itu. Kaca mobil yang gelap menyamarkan si pemilik suara. Tapi Helena mengenal suara siapa di balik jendela itu.“Mau Anda apa?” tanya Helena dengan nada dingin.Pria itu menurunkan kaca mobilnya, senyum terkembang dari balik kumis klimisnya. "Aku mau mengantarmu, Helena," ujar Hans dengan tatapan mesumnya."Aku tahu Anda tak mungkin melakukan apa pun untukku dengan sukarela," tolak Helena sambil berjalan kaki. Dibohongi oleh Kate Windsor merupakan pelajar untuknya di siang ini, Helena tak ingin dibodohi lagi untuk kedua kalinya oleh keluarga Digory. Terlebih Hans adalah pria yang berani terang-terangan melakukan pelecehan padanya."Astaga, Helena! Kenapa kau berpikiran begitu buruk pada Paman? Bukankah kita keluarga?"“Bukankah kita keluarga?” gumam Helena pelan sembari tertawa miris. 'Sejak kapan keluarga Digory selain Kakek Graham menganggapku keluarga?' Gadis itu mempercepat langkahnya sedangkan Hans masih mengikuti Hel