Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,
"Mau apa kau ke sini?" tanya pria dengan tatapan tajam dari manik coklat hazelnutnya. Walau bertanya seperti itu, Shane tahu benar siapa tamu yang baru saja memencet bel rumahnya itu. Di teras depan berdiri pria tua yang berusia dua kali umur Shane. Pria itu memiliki rambut putih panjang yang kusut dengan baju bermotif bunga dan coat bermotif garis horizontal. Belum cukup mengganggu mata dengan pakaiannya yang penuh dengan warna dan motif tak sesuai pakem fashion normal, pria tua itu juga memakai bawahan bermotif bunga-bunga berwarna cerah. Namun, Shane terlihat kesal dan menahan amarah kepada pria tua itu bukan karena penampilannya. Sama sekali bukan, tapi karena Shane tahu pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pria simpanan lain milik Helena. Sebuah foto dikirimkan oleh Athena Ariana ke ponsel Shane beberapa waktu lalu yang memuat foto Helena sedang dirangkul oleh pria tua berambut putih itu. [Lihat apa yang dilakukan istrimu? Dia jelas sekali seorang hypersex. Pria itu
Tawa melengking Kimberly Ryder berbalut dengan suara lagu-lagu bernada cepat menunda jawaban dari pertanyaan Helena."Kau benar-benar akan menjual dirimu, wanita 'suci'?" ejek Kimberly Rider sambil menekankan kata 'suci' dan membentuk gestur tangan mengutip saat mengatakan kata itu.Helena kembali mengangguk, tapi kali ini ia membalas tatapan Kimberly Rider dengan penuh tekad. Helena tak punya jalan keluar lain."Ah kau betul-betul serius." Wanita berambut ungu terang itu menepuk kedua tangannya sebelum melanjutkan kalimatnya, tampak sangat antusias. "Kebetulan aku ada pekerjaan untukmu, dan aku merasa pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau hanya perlu melakukan ini sekali saja, dan selanjutnya tak perlu menjajakan diri lagi. Selamanya kau akan dibayar sampai misi ini selesai, dan jika menurutmu bayarnya kurang, kau bisa meminta sesuka hatimu.” Helena mendelikan mata. "Jika bayarannya begitu menakjubkan, kenapa tidak kau ambil pekerjaan ini?"Kimberly tersenyum tipis. "Dari dulu kau
'Kenapa ia masih sadar? Bukankah ia sudah meminum obat biusnya.''Apakah ia akan membunuhku?'Posisi Helena sekarang berada di bawah Shane Digory, lelaki bersurai abu gelap itu mengukung tubuh Helena dengan kedua kakinya. Posisi mereka sekarang seakan sepasang kekasih yang siap bercinta dengan gaya misionaris.Tangan kanan Shane Digory masih berada di leher gadis berambut hitam itu, kemudian saat tangan kiri pria itu menyibak rambut hitam panjang milik Helena yang terurai menutupi wajah."Kau?" Sebuah kata dengan nada tanya, lolos dari bibir tipis pria tampan itu.Helena mulai meneteskan air mata dengan wajah memerah karena oksigen yang masuk ke tubuhnya mulai berkurang akibat cekikan dari Shane Digory.'Jika aku mati jika maka Rose akan sendirian!' Helena menjerit ketakutan dalam hatinya. Ketimbang kematiannya, Helena lebih takut kalau Rose akan hidup sebatang kara."Shane, apa yang kau lakukan?" tanya seorang pria yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar. Memecah keheningan diantar
"Helena! Apa yang kau lakukan? Diam saja seperti batu, tak akan membuat meja itu bersih dengan sendirinya!" Kau kira dengan begitu pria yang di dalam televisi itu akan mau denganmu?" bentak seorang wanita bertubuh gemuk sambil berkacak pinggang di bawah televisi. Helena langsung mengalihkan pandangannya pada meja yang dari tadi ia bersihkan. Tak ada satupun pelanggan dari pagi hingga siang hari ini, hal itu membuat Matilda Grace kesal, dan menumpahkan semua kemarahannya pada satu-satunya pegawai yang ia miliki di kedai itu, Helena. Helena, hanya diam setiap Matilda Grace mulai mengeluh betapa sepinya penjualan. Helena merasa penjualan di kedai makanan milik Matilda justru biasa saja, karena kedai ini hanyalah kedai makanan kecil yang berada di sebuah pulau terpencil. Pulau Rhee. Pulau Rhee memang sangat indah, tapi bukan tempat destinasi wisata yang populer. Satu-satunya alasan adalah akses ke pulau itu sangat terbatas, begitu juga fasilitas yang ada di pulau itu. Para penduduk pul
Shane melepaskan glove tinjunya dan melemparkan benda itu dengan asal ke sudut ruangan. “Alamnya sangat cantik dan kurasa aku perlu melihat proyek yang sedang dikerjakan di sana.”Athena langsung cemberut mendengar alasan tunangannya ke tempat liburan yang akan ia datangi. “Kalau seperti itu, kau hanya ingin bekerja dengan alibi liburan,” sungut gadis berambut merah itu.“Aku liburan sambil melihat pekerjaan, itu hal yang menguntungkan, Ath,” jelas Shane Digory sambil tersenyum melihat kekasihnya tak menyukai idenya. “Kau ikut?”“Apa tak sebaiknya ganti tempat saja, Sayang?” Athena menjawab pertanyaan Shane dengan bertanya balik.Shane menggeleng. “Tidak bisa. Aku akan kesana, lagi pula aku tak pernah melihat proyek itu sejak mulai dibangun sebulan yang lalu, dan tinggal tiga bulan lagi proyek itu rampung. Aku memang percaya dengan manajer proyek itu -Johan-, tapi aku juga penasaran.”Athena merotasikan manik matanya sebelum menjawab ajakan itu. ‘Kau tak pernah mau mengalah padaku ya,