Share

6. Tanpa Arah

Author: missingty
last update Last Updated: 2023-09-27 15:07:11

“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.

“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.

Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. 

Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang terpaut umur cukup jauh itu saling melindungi satu sama lain. Mereka hanya berdua di dunia ini. Bahkan sebelum Rose lahir, Helena yang menghadapi semua perlakuan ibu dan ayahnya. 

Sampai akhirnya, ibu mereka meninggal dan ayah mereka meninggalkan kedua bersaudara itu bahkan saat umur Helena belum ilegal. Rose adalah satu-satunya teman Helena di hidup ini. Ia masih ingat ketika menggendong Rose yang masih bayi merah pertama kali, ia ingat kata pertama yang disebut Rose pertama kali bukanlah “Mama” melainkan “Nana”, panggilan untuk Helena.

Rose memang memiliki tubuh yang lemah, karena sejak dalam kandungan ibu mereka ingin menggugurkan adiknya itu, tapi takdir berkata lain. Walau bulan kelahirannya Rose belum cukup, ia lahir di dunia ini, seakan ingin menjadi teman Helena yang selalu sendirian di dunia ini. Bagi Rose, Helena adalah dunianya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling menemani, saling menguatkan. Tapi sekarang saat Rose berpulang, dunia Helena seakan hancur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia seakan tak punya alasan untuk hidup.

Helena berjalan gontai mengikuti kemana kakinya melangkah, Ia tak sanggup melihat jasad adiknya lebih lama, wanita berambut panjang itu hanya ingin mengingat saat adiknya masih hidup dan tersenyum lebar saat dirinya datang ke kamar rawat inap, bukan wajah pucat tanpa darah yang terbujur kaku. 

Helena melihat ponselnya, ia bahkan tak tahu menghubungi siapa untuk mengabari hal ini. Selain dengan Rose, ia selalu sendiri. Selama ini Rose lah yang selalu memberikan Helena pelukan erat dan kekuatan untuk menghadapi keras dunia. Tapi sekarang, gadis kecil kesayangannya itu sudah tak ada.

"Na, apa kau pernah mencintai orang lain?" ujar Rose suatu hari. Angin sepoi-sepoi yang berasal dari jendela rumah sakit menerbangkan rambut pirangnya. 

Helena selalu merasa Rose seperti boneka, karena gadis itu berambut pirang dan bermata biru. Tapi hal itulah yang dibenci ayah mereka. Helena pun tahu, adiknya bukan lah anak dari ayahnya. Kedua orang tua Helena berambut hitam, sedangkan Rose tampak sangat berbeda di keluarga mereka. Namun, tentu saja ibunya tak akan pernah mengakui hal itu.

"Pertanyaan tiba-tiba macam apa ini?” tanya Helena sambil tersenyum jahil, tangannya yang kurus sibuk menyisiri rambut rose. “Ya, orang yang aku cintai itu kau, Rose."

"Bukan aku! Tapi orang lain. Aku ingin kau mencintai orang lain selain aku. Apa kau tak pernah jatuh cinta sebelumnya?" balas Rose sambil memajukan mulutnya, cemberut. Gadis kecil itu selalu merasa bersalah, walau kakaknya bersekolah ia tahu kakaknya tak punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Setidaknya Helena harus memiliki seseorang yang mencintainya dan ia cintai, selain Rose.

Rose tahu kakaknya harus kerja di tiga tempat yang berbeda untuk mendapat biaya berobat untuknya. Di sela-sela waktu itu Helena menyempatkan menjenguk Rose. Walau tak memiliki banyak waktu, Helena tetap bersekolah karena mendapat beasiswa, selain itu ia mendapat uang jajan dari beasiswa tersebut yang cukup membantunya dalam menghidupi diri dan adiknya. Helena merasa beruntung karena hal itu.

Helena memutar matanya, dibenaknya sekilas muncul wajah seseorang. "Ya aku pernah menyukai seseorang,” jawab Helena singkat, ia bahkan tak tahu itu bisa disebut cinta apa bukan. Tapi ia pernah mengagumi orang dalam benaknya itu.

“Bagus! Katakan kau menyukai dan ingin berpacaran dengannya, Na,” perintah Rose yang membuat Helena tergelak mendengarnya. “Aku tidak bergurau,” tambah gadis bertubuh kurus itu, matanya yang cekung terlihat berkilat menandakan keseriusannya.

Sembari tertawa Helena menggelengkan kepalanya. “Astaga, tidak semudah itu Rose. Aku dan dia tak mungkin bisa berpacaran, berteman pun rasanya mustahil!”

"Kenapa?" Senyum di wajah Rose menghilang, berganti dengan kebingungan.

“Kenapa? Kau benar-benar tak tahu kenapa, Rose? Rose, aku tidak cantik, tidak pintar, tidak ramah, tidak lucu dan menggemaskan -sepertimu-, aku sangat tidak menyenangkan aku bahkan sangat kaku jika berhadapan dengan orang lain kecuali kepadamu, Rose. Dan kau sekarang memintaku mencari teman? juga pacar? Siapa yang mau berpacaran dengan wanita yang seperti batu ini?" gelak tawa kembali keluar dari mulut Helena, rasa rendah bagai humor gelap untuk dirinya. “Aku sudah pasti ditolak.”

"Kau cantik Na! Kau juga menyenangkan, pintar, dan akan ada banyak orang yang menyukaimu jika kau membuka dirimu."

"Oh ayolah, aku tak semenyangkan itu. Sepertinya cuma kau satu-satunya orang yang menyukaiku, Rose. Itu sudah cukup bagiku. Aku tak butuh orang lain," jawab Helena sambil mengusak rambut adiknya. 

“Kau harus membuka diri, Na. Cobalah untuk berteman, kemudian meminta orang lain untuk mencintaimu. Jangan takut dengan penolakan, aku yakin akan banyak orang yang mencintaimu," pinta Rose dengan tatapan memohon.

"Aku tak akan selamanya bisa kau cintai, waktuku tak lama lagi, Na. Dan jika itu terjadi kau harus mencoba mencintai orang lain, juga membiarkan orang lain mencintaimu, Na  ," lanjut Rose sambil tertunduk lesu dan memperhatikan lengan kanannya yang terhubung dengan dua selang infus.

“Jangan berkata seperti itu. Kau akan sehat, kau harus sehat. Jangan berkata seperti itu lagi. Lagi pula berteman dan berinteraksi sosial dengan orang lain itu sangat merepotkan, aku tak membutuhkan orang lain selain dirimu, Rose. Kau satu-satunya orang yang mencintaiku,” ujar Helena menutup pembicaraan mereka kala itu, dan hal itu adalah topik terakhir yang wanita itu bicarakan dengan adiknya. 

Langkah kaki Helena terhenti di depan pagar rumah mewah tempat ia tinggali selama dua setengah tahun terakhir ini, dengan tatapan sayu ia melihat tempat itu. Rumah yang selalu beraura kelam dalam ingatannya. 

Namun, Helena tak tahu harus pergi kemana, dan hari ini ia tak ingin sendiri. Ia ingin bercerita atau sekedar mendapat sebuah pelukan untuk hari yang berat yang dialaminya hari ini. Lucunya, entah kenapa langkah kaki membawa wanita itu ke sini. Bahkan dalam benak Helena tahu penghuni rumah ini tak akan memberikan pelukan hangat untuknya.

“Akhirnya kau datang juga! Kemana saja kau? Apa kau sengaja menghindar dan menunda-nunda hal ini?” tanya seorang pria yang menjulang tinggi di hadapan Helena. Manik yang berwarna coklat hazelnut seakan menusuk tajam dan mengoyak tubuh wanita ringkih di hadapannya.

Tatapan Shane yang penuh kebencian terhunus tajam pada Helena, istri sahnya. Sebuah kalimat perintah langsung Shane lontarkan setelah mereka masuk kamar kerja pria rambut gelap itu, “cepat tanda tangani surat cerai ini." 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Itsme_nunu
ini cerita keren bngett semoga cept up
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mantan Istri CEO Dingin   Epilog

    “Tes… Tes… satu, dua, tiga, tes, tes. Pim di sini.” Pim ketuk-ketuk dulu microphone ini ya. Kedengaran tidak? Pim mau cerita, ini ada kaitannya sama mainan baru, Pim. Kemarin Shane kasih ini diam-diam ke Pim ini. “Kamera buat ngerekam. Jadi sekarang Pim akan buat Vlog tentang keseharian Pim!” Pim semangat banget bicara di depan kamera. Sebentar, coba Pim ketok-ketok dulu kamera ini. Sudah jalan belum ya? Oh oke sudah baik. Mari kita rekaman lagi. “Hai selamat datang di Pim Vlog.” Sebentar Pim mikir dulu mau bilang apa lagi. “Okeh, terus apa lagi ya? Oh ya! Di Pim Vlog akan menceritakan-.” Cerita apa ya? Pim mau cerita apa ya? Mama nikah sama Shane? Rumah baru? Kamar baru? Boneka baru yang banyak? Tinggal di kota besar terus kemarin lewat toko kue yang warnanya merah muda. Duh mana duluan ya yang Pim ceritakan? Coba minta usulan Mama ah! “Mama, Mama!” Pim berlari-lari kecil ke dapur. Pasti Mama lagi di dapur. Kata Mama mau buat makan malam sih tadi. “Kenapa, Sayang?” Mama nany

  • Mantan Istri CEO Dingin   130. TAMAT.

    Helena menautkan keningnya. “Tapi masih banyak masakan yang harus aku buat lagi pula bukankah banyak waiters di depan?” Jam makan siang baru saja dimulai, pesanan silih berganti tak henti-henti masuk ke dalam dapur. Helena juga turut sibuk menyiapkan hidangan untuk para pelanggan. Jeremy menggeleng kencang. “Tolong, hanya kau yang bisa melakukannya.” Helena menoleh ke arah pegawai lain yang berada di dalam dapur. Wajah semua orang tampak tidak keberatan, bahkan salah satu chef senior berkata, “tolong bantu Tuan Jeremy saja Nyonya Helena. Disini biar aku yang mengatasi.” Helena menangguk dan mengikuti Jeremy keluar dapur. “Memangnya ada apa, Jeremy?” tanya wanita berambut panjang itu masih bingung. “Itu, Tuan Besar Shane Digory. Ia -seperti biasa- ingin dilayani olehmu,” jelas Jeremy dengan senyuman lebar. Helena langsung terlihat kesal. Ia mengira terjadi sesuatu yang begitu darurat. Tapi bagi Jeremy dan semua pegawai lain, kehadiran Shane Digory adalah sesuatu yang darurat d

  • Mantan Istri CEO Dingin   129. Tamu Penting

    “Nyonya Helena!” sambut Jeremy dengan nada riang sambil membuka pintu cafe. Ia memakai kemeja merah muda dan celana bahan berwarna coklat kopi yang senada dengan keseluruhan warna bangunan di belakangnya. “Aku sudah menunggumu dari tadi.” Helena masih terpaku di tempatnya dan tak memperdulikan kedatangan Jeremy. Lelaki itu akhirnya mengikuti arah pandang wanita itu. “Nama yang norak ya?” Jeremy kemudian menyemburkan tawanya setelah mengatakan hal itu, tak lama sampai ia sadar Helena menatapnya tajam. “Ah, maafkan aku Nyonya Hel, tolong jangan laporkan pada suamimu. Aku masih harus mengumpulkan uang untuk membiayai pernikahanku dengan Barbara.” Helena langsung tertawa pelan. “Kalau begitu cepatlah kalian menikah agar kau lebih sadar.” “Tapi kulihat Tuan Shane semakin tak waras karena menikah Lihat aku tak menyangka ia akan memilih nama senorak itu. Dan kurasa hanya itu kekurangan cafe ini, semua sangat sempurna, dari bangunan, suasana, rasa masakan, promosi, dan para pengunjung sa

  • Mantan Istri CEO Dingin   128. Shane Mati

    Lelaki tampan itu akhirnya mengekori kembaran dengan ukuran mininya itu menunggu di meja makan. Helena kemudian menggulung rambutnya ke atas dan mulai memasak sekaligus merapikan keadaan dapur yang berantakan. Shane tak bisa melepaskan tatapannya pada sosok wanita itu. Helena terlihat sangat luar biasa saat ini. ‘Cara ia menjepitkan rambutnya begitu seksi.’. “Ckck. Kau harus ingat ini, Shane.” Primrose merapatkan tubuhnya pada pria tinggi besar itu. “Jangan pernah membuang-buang makanan. Terakhir kali aku melakukannya, Mama membuatku menulis tulisan ‘aku menyesal’ sebanyak tiga lembar halaman folio dan Mama tak banyak bicara selama tiga hari.” Shane langsung menghela napasnya dengan berat. “Jadi aku melakukan kesalah lagi?” Ketimbang hukuman menulis tiga lembar halam folio, Shane lebih sedih ucapan Primrose yang mengatakan kalau Helena makin irit bicara selama tiga hari. ‘Aku ingin mendengar wanita itu bercerita padaku.’ Helena menghentikan obrolan ayah dan anak itu saat menghi

  • Mantan Istri CEO Dingin   127. Masakan Shane

    “Shane,” panggil Helena. Seketika laki-laki itu menoleh dengan wajah sangat terkejut, bahkan sutil di tangannya ikut terjatuh. “Kau sudah bangun, Helena?” Shane terlihat gugup sambil berusaha menyembunyikan ponselnya yang ia taruh di atas meja counter dapur. “Apa aku terlalu ribut hingga kau terbangun?” Helena memiringkan kepalanya, tapi tubuh besar Shane sudah menutupi layar ponselnya. ‘Seorang wanita ya? Kenapa aku berpikir setelah Athena ia tak memiliki wanita lain? Tunggu, kenapa aku harus peduli? Apa karena ia mengungkapkan rasa sukanya denganku kemarin jadi aku berharap lebih?’ “Helena…,” panggil Shane mengembalikan kesadaran wanita itu dari lamunannya. “Tunggu saja di ruang baca. Apa kau butuh sesuatu di dapur? Aku akan mengantarkanmu.” Helena langsung tersadar penyebab dia buru-buru ke dapur karena ada bau gosong yang sekarang mulai perlahan menghilang karena alat penghisap asap yang berada di atas kompor. “Tidak, aku hanya mencium bau masakan tadi-.” “Kau sudah lapar?” Sh

  • Mantan Istri CEO Dingin   126. Video Call dengan Wanita Lain

    “Hah!” Helena bergumam terkejut. “Apa maksudmu?” “Apa kau tidak tahu, aku sudah dipindah-tugaskan ke cabang Digory Valley cafe itu. Begitu juga Barbara.” Helena menelan salivanya. ‘Ini pasti semua ulah Shane. Selain memindahkan sekolah Pim ke sini, ia bahkan memindahkan penempatan kerja orang tua sahabat-sahabat Pim, hingga mereka juga ikut pindah sekolah ke Digory Valley bersama dengan Pim. Astaga, pria itu benar-benar berniat kami berada di sini. “Baiklah aku akan ke cafe Shiny yang berada di Digory Valley untuk bekerja besok.” Jeremy tertawa. “Maksudmu bekerja sebagai owner dan mengawasi kami kan?” “Hentikan candaanmu. Aku masih anak buahmu, Jeremy,” bantah Helena serius. Selang beberapa lama panggilan ponsel itu Helena akhiri. Jeremy masih tak serius menganggapnya akan kembali bekerja -benar-benar bekerja sebagai waiters. ‘Aku dan Shane Digory tak ada kaitannya. Sama seperti dahulu, pernikahan ini sama seperti dahulu, kan?’ Ketika malam hari, Helena mendapat panggilan dari

  • Mantan Istri CEO Dingin   125. Mau Adik

    Helena masih tak bereaksi apa pun, ekspresinya terlihat dingin di mata Shane. “Kau tak percaya ya?” Shane tak menunggu jawaban Helena, ia langsung melanjutkan perkataannya. “Aku pun tak percaya, aku tak percaya telah jatuh cinta padamu sejak hari itu. Hari terakhir kita bertemu. Dan sejak hari itu aku selalu menunggumu, Helena.” Helena tertawa sinis dengan pelan. Aku mengambil apa yang kau berikan padaku, Shane. “Jangan buat kesalahan yg sama dua kali, Shane. Kita pernah berumah tangga dan itu gagal, atau lebih tepatnya hancur berantakan dengan sangat parah. Apa bedanya dengan sekarang?” “Saat itu aku bahkan tak berusaha sama sekali.” Shane membalas perkataan Helena dengan penuh tekad. “Sekarang berbeda Helena. Aku akan berusaha, aku akan merubah apa yang terjadi dulu.” Helena mengangkat alisnya. Luka yang ia dapat dari laki-laki di hadapannya sudah terlalu dalam. “Percuma jika hanya salah satu saja yang berusaha. Karena kurasa aku tak sanggup berusaha lagi bersamamu.” Shane sad

  • Mantan Istri CEO Dingin   124. Menungguku?

    Helena awalnya berpikir kalau Shane sudah lama tak menempati bangunan ini, tapi tak ada setitik debu pun di setiap furniture yang ada. ‘Kukira ia tak tinggal disini, karena setahuku Athena tak suka bangunan tua bergaya klasik seperti rumah ini. Apa ia bisa membujuk Athena dan akhirnya tinggal berdua di sini?’ Helena melangkah menuju rak buku yang memenuhi dinding ruang tengah rumah itu. ‘Bahkan urutan buku yang ku susun tak berubah.’ Seulas senyum muncul di wajah wanita cantik itu. “Beberapa pembantu menyusun kembali urutan bukunya, tapi tak ada yang seperti kau lakukan hingga membuatku nyaman membacanya kembali,” celetuk Shane yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang Helena. “Kau tinggal di rumah ini?” Helena tak dapat menutupi rasa penasarannya. Shane tersenyum. “Ya, terutama setelah tahun-tahun awal kita bercerai,” jawab Shane sambil perlahan berjalan mendekat ke arah Helena. “Aku berpikir kau akan kembali setelah pergi begitu saja tanpa berkata apa pun hari itu, hari dimana ki

  • Mantan Istri CEO Dingin   123. Rumah Kita

    Jasper tersenyum. “Betul, Tuan.” Shane tak pernah menceritakan apa pun isi hatinya pada orang lain. Tapi kali ini berbeda, lelaki itu tak tahu harus berbuat apa pada Helena. “Apa yang harus kulakukan, Jasper?” Jasper terkejut, majikannya itu tak pernah bingung dalam menentukan sikap tapi kali ini ia benar-benar terlihat putus asa. “Apa ini berkaitan dengan Nyonya Helena?” “Ya,” jawab Shane terdengar pelan. “Ketika tadi pagi saya menemuinya, Nyonya juga terlihat tak kalah terlukanya dengan Anda, Tuan Shane.” Shane langsung menegakkan punggungnya, karena terkejut sekaligus tertarik dengan informasi yang Jasper sampaikan. “Kenapa? Bukankah ia membenciku- ah ya tentu saja aku pantas dibenci olehnya. Ia tak mungkin memaafkanku atas apa yang telah aku lakukan padanya kan?” Jasper menoleh ke arah Tuannya. “Anda akan membiarkan hal ini berjalan seperti ini, Tuan?” Shane tersenyum menangkap maksud Jasper. “Tidak. Tentu saja tidak!” Tapi pundak Shane langsung turun kembali. “Tapi aku t

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status