“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.
“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.
Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar.
Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang terpaut umur cukup jauh itu saling melindungi satu sama lain. Mereka hanya berdua di dunia ini. Bahkan sebelum Rose lahir, Helena yang menghadapi semua perlakuan ibu dan ayahnya.
Sampai akhirnya, ibu mereka meninggal dan ayah mereka meninggalkan kedua bersaudara itu bahkan saat umur Helena belum ilegal. Rose adalah satu-satunya teman Helena di hidup ini. Ia masih ingat ketika menggendong Rose yang masih bayi merah pertama kali, ia ingat kata pertama yang disebut Rose pertama kali bukanlah “Mama” melainkan “Nana”, panggilan untuk Helena.
Rose memang memiliki tubuh yang lemah, karena sejak dalam kandungan ibu mereka ingin menggugurkan adiknya itu, tapi takdir berkata lain. Walau bulan kelahirannya Rose belum cukup, ia lahir di dunia ini, seakan ingin menjadi teman Helena yang selalu sendirian di dunia ini. Bagi Rose, Helena adalah dunianya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling menemani, saling menguatkan. Tapi sekarang saat Rose berpulang, dunia Helena seakan hancur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia seakan tak punya alasan untuk hidup.
Helena berjalan gontai mengikuti kemana kakinya melangkah, Ia tak sanggup melihat jasad adiknya lebih lama, wanita berambut panjang itu hanya ingin mengingat saat adiknya masih hidup dan tersenyum lebar saat dirinya datang ke kamar rawat inap, bukan wajah pucat tanpa darah yang terbujur kaku.
Helena melihat ponselnya, ia bahkan tak tahu menghubungi siapa untuk mengabari hal ini. Selain dengan Rose, ia selalu sendiri. Selama ini Rose lah yang selalu memberikan Helena pelukan erat dan kekuatan untuk menghadapi keras dunia. Tapi sekarang, gadis kecil kesayangannya itu sudah tak ada.
"Na, apa kau pernah mencintai orang lain?" ujar Rose suatu hari. Angin sepoi-sepoi yang berasal dari jendela rumah sakit menerbangkan rambut pirangnya.
Helena selalu merasa Rose seperti boneka, karena gadis itu berambut pirang dan bermata biru. Tapi hal itulah yang dibenci ayah mereka. Helena pun tahu, adiknya bukan lah anak dari ayahnya. Kedua orang tua Helena berambut hitam, sedangkan Rose tampak sangat berbeda di keluarga mereka. Namun, tentu saja ibunya tak akan pernah mengakui hal itu.
"Pertanyaan tiba-tiba macam apa ini?” tanya Helena sambil tersenyum jahil, tangannya yang kurus sibuk menyisiri rambut rose. “Ya, orang yang aku cintai itu kau, Rose."
"Bukan aku! Tapi orang lain. Aku ingin kau mencintai orang lain selain aku. Apa kau tak pernah jatuh cinta sebelumnya?" balas Rose sambil memajukan mulutnya, cemberut. Gadis kecil itu selalu merasa bersalah, walau kakaknya bersekolah ia tahu kakaknya tak punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Setidaknya Helena harus memiliki seseorang yang mencintainya dan ia cintai, selain Rose.
Rose tahu kakaknya harus kerja di tiga tempat yang berbeda untuk mendapat biaya berobat untuknya. Di sela-sela waktu itu Helena menyempatkan menjenguk Rose. Walau tak memiliki banyak waktu, Helena tetap bersekolah karena mendapat beasiswa, selain itu ia mendapat uang jajan dari beasiswa tersebut yang cukup membantunya dalam menghidupi diri dan adiknya. Helena merasa beruntung karena hal itu.
Helena memutar matanya, dibenaknya sekilas muncul wajah seseorang. "Ya aku pernah menyukai seseorang,” jawab Helena singkat, ia bahkan tak tahu itu bisa disebut cinta apa bukan. Tapi ia pernah mengagumi orang dalam benaknya itu.
“Bagus! Katakan kau menyukai dan ingin berpacaran dengannya, Na,” perintah Rose yang membuat Helena tergelak mendengarnya. “Aku tidak bergurau,” tambah gadis bertubuh kurus itu, matanya yang cekung terlihat berkilat menandakan keseriusannya.
Sembari tertawa Helena menggelengkan kepalanya. “Astaga, tidak semudah itu Rose. Aku dan dia tak mungkin bisa berpacaran, berteman pun rasanya mustahil!”
"Kenapa?" Senyum di wajah Rose menghilang, berganti dengan kebingungan.
“Kenapa? Kau benar-benar tak tahu kenapa, Rose? Rose, aku tidak cantik, tidak pintar, tidak ramah, tidak lucu dan menggemaskan -sepertimu-, aku sangat tidak menyenangkan aku bahkan sangat kaku jika berhadapan dengan orang lain kecuali kepadamu, Rose. Dan kau sekarang memintaku mencari teman? juga pacar? Siapa yang mau berpacaran dengan wanita yang seperti batu ini?" gelak tawa kembali keluar dari mulut Helena, rasa rendah bagai humor gelap untuk dirinya. “Aku sudah pasti ditolak.”
"Kau cantik Na! Kau juga menyenangkan, pintar, dan akan ada banyak orang yang menyukaimu jika kau membuka dirimu."
"Oh ayolah, aku tak semenyangkan itu. Sepertinya cuma kau satu-satunya orang yang menyukaiku, Rose. Itu sudah cukup bagiku. Aku tak butuh orang lain," jawab Helena sambil mengusak rambut adiknya.
“Kau harus membuka diri, Na. Cobalah untuk berteman, kemudian meminta orang lain untuk mencintaimu. Jangan takut dengan penolakan, aku yakin akan banyak orang yang mencintaimu," pinta Rose dengan tatapan memohon.
"Aku tak akan selamanya bisa kau cintai, waktuku tak lama lagi, Na. Dan jika itu terjadi kau harus mencoba mencintai orang lain, juga membiarkan orang lain mencintaimu, Na ," lanjut Rose sambil tertunduk lesu dan memperhatikan lengan kanannya yang terhubung dengan dua selang infus.
“Jangan berkata seperti itu. Kau akan sehat, kau harus sehat. Jangan berkata seperti itu lagi. Lagi pula berteman dan berinteraksi sosial dengan orang lain itu sangat merepotkan, aku tak membutuhkan orang lain selain dirimu, Rose. Kau satu-satunya orang yang mencintaiku,” ujar Helena menutup pembicaraan mereka kala itu, dan hal itu adalah topik terakhir yang wanita itu bicarakan dengan adiknya.
Langkah kaki Helena terhenti di depan pagar rumah mewah tempat ia tinggali selama dua setengah tahun terakhir ini, dengan tatapan sayu ia melihat tempat itu. Rumah yang selalu beraura kelam dalam ingatannya.
Namun, Helena tak tahu harus pergi kemana, dan hari ini ia tak ingin sendiri. Ia ingin bercerita atau sekedar mendapat sebuah pelukan untuk hari yang berat yang dialaminya hari ini. Lucunya, entah kenapa langkah kaki membawa wanita itu ke sini. Bahkan dalam benak Helena tahu penghuni rumah ini tak akan memberikan pelukan hangat untuknya.
“Akhirnya kau datang juga! Kemana saja kau? Apa kau sengaja menghindar dan menunda-nunda hal ini?” tanya seorang pria yang menjulang tinggi di hadapan Helena. Manik yang berwarna coklat hazelnut seakan menusuk tajam dan mengoyak tubuh wanita ringkih di hadapannya.
Tatapan Shane yang penuh kebencian terhunus tajam pada Helena, istri sahnya. Sebuah kalimat perintah langsung Shane lontarkan setelah mereka masuk kamar kerja pria rambut gelap itu, “cepat tanda tangani surat cerai ini."
Helena tak berani menatap balik pria yang sudah sah secara hukum dan agama sebagai suaminya. Wanita itu bahkan tak perlu mengangkat manik matanya hanya untuk melihat tatapan penuh kebencian dari suaminya. Tatapan yang dialamatkan kepadanya bahkan sebelum mereka membuat janji suci di altar pelaminan. Pandangan Helena sekarang hanya tertuju pada secarik kertas bertuliskan surat cerai di atas meja kayu jati yang tepat berada di depan Shane."Kenapa belum kau tandatangani juga? Kau ingin menunda dan mengatakan roh kakekku akan bangkit jika kau tandatangani surat cerai ini," sindir Shane sembari menggemeretakkan giginya kesal. Pria itu tak pernah menganggap Helena sebagai istri selama dua setengah tahun pernikahan mereka. Wanita di hadapannya itu tak lebih ia anggap sebagai benalu. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Cepat tandatangani! Dan kau bisa bersenang-senang dengan semua selingkuhanmu!" "Baiklah," jawab Helena dengan suara tegas, menyembunyikan jari jemarinya yang bergetar. 'Kakek Gra
Tawa meremehkan keluar dari bibir milik pria tampan bersurai abu gelap itu. “Cih, kau benar-benar seorang hyper ya?” sindir Shane sambil menggelengkan kepalanya. ‘Apa ia tak punya malu sama sekali. Ia sudah bercinta dengan entah berapa pria sepanjang hari hingga malam ini, kemudian sekarang ia ingin bercinta denganku? Kupikir selama ini ia tak mau karena selalu ku rendahkan, ternyata ia hanya menunggu waktu yang tepat.’’“Kalau kau tidak keberatan, aku hanya ingin kau menemaniku malam ini, Shane,” ujar Helena dengan ekspresi dingin, manik matanya menatap ke jendela besar dengan pemandangan malam tepat di belakang suaminya itu. ‘Aku tak ingin sendiri malam ini, walau untuk hal itu aku harus menukarkan milikku yang paling berharga.’Helena dengan himpitan ekonominya tentu sudah sering untuk ditawari hal-hal semacam ini, mulai dari lelang keperawanannya, hingga menjadi simpanan pejabat. ‘Aku tak ingin melakukannya dengan sembarang orang. Lagipula aku penasaran bagaimana rasanya dipeluk s
Malam itu menjadi malam yang penuh keintiman tanpa romantisme bagi sepasang kekasih yang sedang bercinta di atas ranjang hingga pagi menjelang.Keesokan paginya Shane terbangun dengan keadaan segar bugar. Lelaki tampan dengan tubuh atletis itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Tak ada seorang pun di atas ranjang selain dirinya, begitupun di dalam kamar mewah itu. Shane sekarang hanya sendiri di kamar tidurnya.'Bodoh sekali, kenapa aku bisa terlelap begitu nyenyak setelah bercinta dengannya!' umpat Shane dalam hati. Kehangatan dan aroma tubuh Helena masih tersisa di ranjang Shane. 'Ia pasti sudah kembali ke kamarnya dengan terburu-buru. Untunglah ia tahu diri. Tapi rasanya tak seburuk yang kukira untuk seorang wanita murahan, malah semalam benar-benar menyenangkan, ia seperti–.'"Perawan?" ujar Shane begitu terkejut hingga menyuarakan apa yang ada dipikirannya, melihat sebuah noda darah di tempat bekas Helena berbaring kemarin. Segera ia menyibak selimut yang menutup tubuh
Shane melihat ke sekitar kamar Helena. Rapi dan bersih. 'Sejak kapan ia pergi? Dan kemana? Ia tak pernah pergi pagi-pagi sekali. Ia selalu pergi setelah aku pergi.'Shane berkeliling mengamati kamar istrinya itu. Kamar itu sangat luas tapi dibanding kamar lain di kediaman milik Shane Digory, kamar yang ditempati Helena adalah yang terkecil. Kamar itu bernuansa putih cream dengan sebuah ranjang double bed yang tepat berada di tengah ruangan. Sebuah jendela besar dengan bingkai tebal seakan sofa, yang biasa Helena gunakan untuk duduk dan membaca di kamarnya. Jendela itu menghadap halaman luar. Sesekali Shane pernah melihat siluet istrinya yang duduk di sana saat ia terpaksa harus kembali ke rumah ini.Kamar itu hanya memiliki tiga tone warna saja, putih, cream dan broken white tanpa ada motif baik di sprei maupun gorden. Begitupun tanaman, tak ada bunga-bungaan dalam vas keramik ataupun sekedar lukisan di dinding bergambar pemandangan di kamar itu. Kamar itu benar-benar terlihat polos,
"Mau apa kau ke sini?" tanya pria dengan tatapan tajam dari manik coklat hazelnutnya. Walau bertanya seperti itu, Shane tahu benar siapa tamu yang baru saja memencet bel rumahnya itu. Di teras depan berdiri pria tua yang berusia dua kali umur Shane. Pria itu memiliki rambut putih panjang yang kusut dengan baju bermotif bunga dan coat bermotif garis horizontal. Belum cukup mengganggu mata dengan pakaiannya yang penuh dengan warna dan motif tak sesuai pakem fashion normal, pria tua itu juga memakai bawahan bermotif bunga-bunga berwarna cerah. Namun, Shane terlihat kesal dan menahan amarah kepada pria tua itu bukan karena penampilannya. Sama sekali bukan, tapi karena Shane tahu pria itu adalah salah satu dari sekian banyak pria simpanan lain milik Helena. Sebuah foto dikirimkan oleh Athena Ariana ke ponsel Shane beberapa waktu lalu yang memuat foto Helena sedang dirangkul oleh pria tua berambut putih itu. [Lihat apa yang dilakukan istrimu? Dia jelas sekali seorang hypersex. Pria itu
Tawa melengking Kimberly Ryder berbalut dengan suara lagu-lagu bernada cepat menunda jawaban dari pertanyaan Helena."Kau benar-benar akan menjual dirimu, wanita 'suci'?" ejek Kimberly Rider sambil menekankan kata 'suci' dan membentuk gestur tangan mengutip saat mengatakan kata itu.Helena kembali mengangguk, tapi kali ini ia membalas tatapan Kimberly Rider dengan penuh tekad. Helena tak punya jalan keluar lain."Ah kau betul-betul serius." Wanita berambut ungu terang itu menepuk kedua tangannya sebelum melanjutkan kalimatnya, tampak sangat antusias. "Kebetulan aku ada pekerjaan untukmu, dan aku merasa pekerjaan ini sangat cocok untukmu. Kau hanya perlu melakukan ini sekali saja, dan selanjutnya tak perlu menjajakan diri lagi. Selamanya kau akan dibayar sampai misi ini selesai, dan jika menurutmu bayarnya kurang, kau bisa meminta sesuka hatimu.” Helena mendelikan mata. "Jika bayarannya begitu menakjubkan, kenapa tidak kau ambil pekerjaan ini?"Kimberly tersenyum tipis. "Dari dulu kau
'Kenapa ia masih sadar? Bukankah ia sudah meminum obat biusnya.''Apakah ia akan membunuhku?'Posisi Helena sekarang berada di bawah Shane Digory, lelaki bersurai abu gelap itu mengukung tubuh Helena dengan kedua kakinya. Posisi mereka sekarang seakan sepasang kekasih yang siap bercinta dengan gaya misionaris.Tangan kanan Shane Digory masih berada di leher gadis berambut hitam itu, kemudian saat tangan kiri pria itu menyibak rambut hitam panjang milik Helena yang terurai menutupi wajah."Kau?" Sebuah kata dengan nada tanya, lolos dari bibir tipis pria tampan itu.Helena mulai meneteskan air mata dengan wajah memerah karena oksigen yang masuk ke tubuhnya mulai berkurang akibat cekikan dari Shane Digory.'Jika aku mati jika maka Rose akan sendirian!' Helena menjerit ketakutan dalam hatinya. Ketimbang kematiannya, Helena lebih takut kalau Rose akan hidup sebatang kara."Shane, apa yang kau lakukan?" tanya seorang pria yang tiba tiba sudah berada di dalam kamar. Memecah keheningan diantar
"Helena! Apa yang kau lakukan? Diam saja seperti batu, tak akan membuat meja itu bersih dengan sendirinya!" Kau kira dengan begitu pria yang di dalam televisi itu akan mau denganmu?" bentak seorang wanita bertubuh gemuk sambil berkacak pinggang di bawah televisi. Helena langsung mengalihkan pandangannya pada meja yang dari tadi ia bersihkan. Tak ada satupun pelanggan dari pagi hingga siang hari ini, hal itu membuat Matilda Grace kesal, dan menumpahkan semua kemarahannya pada satu-satunya pegawai yang ia miliki di kedai itu, Helena. Helena, hanya diam setiap Matilda Grace mulai mengeluh betapa sepinya penjualan. Helena merasa penjualan di kedai makanan milik Matilda justru biasa saja, karena kedai ini hanyalah kedai makanan kecil yang berada di sebuah pulau terpencil. Pulau Rhee. Pulau Rhee memang sangat indah, tapi bukan tempat destinasi wisata yang populer. Satu-satunya alasan adalah akses ke pulau itu sangat terbatas, begitu juga fasilitas yang ada di pulau itu. Para penduduk pul