Share

6. Tanpa Arah

“Aku tak sanggup, kenapa kau tinggalkan Kakak sendiri, Rose?” gumam Helena ditengah isak tangisnya. Ia kembali jatuh terduduk di sebelah perawat yang bertuliskan “Brenda” di tag namanya.

“Jasad adik Anda akan kami pindahkan ke kamar mayat dan menyiapkan pengkremasiannya jika Anda telah mengurus administrasi,” ucapnya seakan tanpa empati. Perawat itu tampak terlalu lelah menghadapi “tingkah” keluarga pasien.

Helena masih tergugu sambil memeluk lututnya saat perawat itu pergi meninggalkannya di depan pintu kamar rawat inap mendiang adiknya. Helena menatap kosong ke arah mayat adiknya. Rose adalah satu-satunya alasan Helena untuk hidup. Wanita itu tak punya keluarga lain selain adiknya yang sekarang terbujur kaku di atas brankar. 

Rose dan Helena dibesarkan oleh orang tua yang abusive. Ayah mereka adalah seorang penjudi dan pemabuk, sedangkan ibu mereka adalah seorang pemarah yang melampiaskan rasa depresi akibat sikap buruk suaminya kepada kedua anaknya. Sejak kecil Rose dan Helena yang terpaut umur cukup jauh itu saling melindungi satu sama lain. Mereka hanya berdua di dunia ini. Bahkan sebelum Rose lahir, Helena yang menghadapi semua perlakuan ibu dan ayahnya. 

Sampai akhirnya, ibu mereka meninggal dan ayah mereka meninggalkan kedua bersaudara itu bahkan saat umur Helena belum ilegal. Rose adalah satu-satunya teman Helena di hidup ini. Ia masih ingat ketika menggendong Rose yang masih bayi merah pertama kali, ia ingat kata pertama yang disebut Rose pertama kali bukanlah “Mama” melainkan “Nana”, panggilan untuk Helena.

Rose memang memiliki tubuh yang lemah, karena sejak dalam kandungan ibu mereka ingin menggugurkan adiknya itu, tapi takdir berkata lain. Walau bulan kelahirannya Rose belum cukup, ia lahir di dunia ini, seakan ingin menjadi teman Helena yang selalu sendirian di dunia ini. Bagi Rose, Helena adalah dunianya, begitu pula sebaliknya. Mereka saling menemani, saling menguatkan. Tapi sekarang saat Rose berpulang, dunia Helena seakan hancur. Ia tak tahu harus berbuat apa. Ia seakan tak punya alasan untuk hidup.

Helena berjalan gontai mengikuti kemana kakinya melangkah, Ia tak sanggup melihat jasad adiknya lebih lama, wanita berambut panjang itu hanya ingin mengingat saat adiknya masih hidup dan tersenyum lebar saat dirinya datang ke kamar rawat inap, bukan wajah pucat tanpa darah yang terbujur kaku. 

Helena melihat ponselnya, ia bahkan tak tahu menghubungi siapa untuk mengabari hal ini. Selain dengan Rose, ia selalu sendiri. Selama ini Rose lah yang selalu memberikan Helena pelukan erat dan kekuatan untuk menghadapi keras dunia. Tapi sekarang, gadis kecil kesayangannya itu sudah tak ada.

"Na, apa kau pernah mencintai orang lain?" ujar Rose suatu hari. Angin sepoi-sepoi yang berasal dari jendela rumah sakit menerbangkan rambut pirangnya. 

Helena selalu merasa Rose seperti boneka, karena gadis itu berambut pirang dan bermata biru. Tapi hal itulah yang dibenci ayah mereka. Helena pun tahu, adiknya bukan lah anak dari ayahnya. Kedua orang tua Helena berambut hitam, sedangkan Rose tampak sangat berbeda di keluarga mereka. Namun, tentu saja ibunya tak akan pernah mengakui hal itu.

"Pertanyaan tiba-tiba macam apa ini?” tanya Helena sambil tersenyum jahil, tangannya yang kurus sibuk menyisiri rambut rose. “Ya, orang yang aku cintai itu kau, Rose."

"Bukan aku! Tapi orang lain. Aku ingin kau mencintai orang lain selain aku. Apa kau tak pernah jatuh cinta sebelumnya?" balas Rose sambil memajukan mulutnya, cemberut. Gadis kecil itu selalu merasa bersalah, walau kakaknya bersekolah ia tahu kakaknya tak punya waktu untuk bermain dengan teman-temannya. Setidaknya Helena harus memiliki seseorang yang mencintainya dan ia cintai, selain Rose.

Rose tahu kakaknya harus kerja di tiga tempat yang berbeda untuk mendapat biaya berobat untuknya. Di sela-sela waktu itu Helena menyempatkan menjenguk Rose. Walau tak memiliki banyak waktu, Helena tetap bersekolah karena mendapat beasiswa, selain itu ia mendapat uang jajan dari beasiswa tersebut yang cukup membantunya dalam menghidupi diri dan adiknya. Helena merasa beruntung karena hal itu.

Helena memutar matanya, dibenaknya sekilas muncul wajah seseorang. "Ya aku pernah menyukai seseorang,” jawab Helena singkat, ia bahkan tak tahu itu bisa disebut cinta apa bukan. Tapi ia pernah mengagumi orang dalam benaknya itu.

“Bagus! Katakan kau menyukai dan ingin berpacaran dengannya, Na,” perintah Rose yang membuat Helena tergelak mendengarnya. “Aku tidak bergurau,” tambah gadis bertubuh kurus itu, matanya yang cekung terlihat berkilat menandakan keseriusannya.

Sembari tertawa Helena menggelengkan kepalanya. “Astaga, tidak semudah itu Rose. Aku dan dia tak mungkin bisa berpacaran, berteman pun rasanya mustahil!”

"Kenapa?" Senyum di wajah Rose menghilang, berganti dengan kebingungan.

“Kenapa? Kau benar-benar tak tahu kenapa, Rose? Rose, aku tidak cantik, tidak pintar, tidak ramah, tidak lucu dan menggemaskan -sepertimu-, aku sangat tidak menyenangkan aku bahkan sangat kaku jika berhadapan dengan orang lain kecuali kepadamu, Rose. Dan kau sekarang memintaku mencari teman? juga pacar? Siapa yang mau berpacaran dengan wanita yang seperti batu ini?" gelak tawa kembali keluar dari mulut Helena, rasa rendah bagai humor gelap untuk dirinya. “Aku sudah pasti ditolak.”

"Kau cantik Na! Kau juga menyenangkan, pintar, dan akan ada banyak orang yang menyukaimu jika kau membuka dirimu."

"Oh ayolah, aku tak semenyangkan itu. Sepertinya cuma kau satu-satunya orang yang menyukaiku, Rose. Itu sudah cukup bagiku. Aku tak butuh orang lain," jawab Helena sambil mengusak rambut adiknya. 

“Kau harus membuka diri, Na. Cobalah untuk berteman, kemudian meminta orang lain untuk mencintaimu. Jangan takut dengan penolakan, aku yakin akan banyak orang yang mencintaimu," pinta Rose dengan tatapan memohon.

"Aku tak akan selamanya bisa kau cintai, waktuku tak lama lagi, Na. Dan jika itu terjadi kau harus mencoba mencintai orang lain, juga membiarkan orang lain mencintaimu, Na  ," lanjut Rose sambil tertunduk lesu dan memperhatikan lengan kanannya yang terhubung dengan dua selang infus.

“Jangan berkata seperti itu. Kau akan sehat, kau harus sehat. Jangan berkata seperti itu lagi. Lagi pula berteman dan berinteraksi sosial dengan orang lain itu sangat merepotkan, aku tak membutuhkan orang lain selain dirimu, Rose. Kau satu-satunya orang yang mencintaiku,” ujar Helena menutup pembicaraan mereka kala itu, dan hal itu adalah topik terakhir yang wanita itu bicarakan dengan adiknya. 

Langkah kaki Helena terhenti di depan pagar rumah mewah tempat ia tinggali selama dua setengah tahun terakhir ini, dengan tatapan sayu ia melihat tempat itu. Rumah yang selalu beraura kelam dalam ingatannya. 

Namun, Helena tak tahu harus pergi kemana, dan hari ini ia tak ingin sendiri. Ia ingin bercerita atau sekedar mendapat sebuah pelukan untuk hari yang berat yang dialaminya hari ini. Lucunya, entah kenapa langkah kaki membawa wanita itu ke sini. Bahkan dalam benak Helena tahu penghuni rumah ini tak akan memberikan pelukan hangat untuknya.

“Akhirnya kau datang juga! Kemana saja kau? Apa kau sengaja menghindar dan menunda-nunda hal ini?” tanya seorang pria yang menjulang tinggi di hadapan Helena. Manik yang berwarna coklat hazelnut seakan menusuk tajam dan mengoyak tubuh wanita ringkih di hadapannya.

Tatapan Shane yang penuh kebencian terhunus tajam pada Helena, istri sahnya. Sebuah kalimat perintah langsung Shane lontarkan setelah mereka masuk kamar kerja pria rambut gelap itu, “cepat tanda tangani surat cerai ini." 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Itsme_nunu
ini cerita keren bngett semoga cept up
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status