“Shanum, bekalnya!” teriak Aurel. Dia terkejut melihat kotak bekal bening tutup abu-abu itu masih berada di atas meja makan.Seorang gadis muncul kembali di ruangan itu, mengenakan seragam putih abu-abu lengkap dengan sepatu keds nya. Diraihnya kotak nasi itu, lalu dipeluknya. Saat berdiri bersebelahan dengan Aurel begini, mereka hampir sama tinggi.“Shanum pergi dulu, Bu,” pamitnya. “Assalamualaikum,” teriaknya ketika berada di luar.Aurelia yang mengikuti langkahnya tanpa terburu-buru, memandangnya sambil tersenyum. “Waalaikumsalam.”Sembari bersedekap, Aurelia menatapi kepergian anak sematawayangnya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya. Waktu tak terasa berlalu begitu cepat. Shanum sekarang sudah remaja.Shanum memang tumbuh menjadi gadis berumur enam belas tahun yang periang. Pagi ini saja, dia berlari ke ujung jalan sambil bersenandung.“Shanum!”Shanum menoleh. Sejak mendengar suara itu, dia tahu siapa pemiliknya. Siapa lagi kalau bukan Dewi—sahabatnya sejak masih mengenakan ser
Kedua bola mata Dewi melihat ke arah atas, ke arah kiri, lalu ke kanan, berulang kali seperti itu sampai merasa pusing sendiri. Dewi mengerjapkan matanya beberapa kali sambil menggeleng pelan. Setelah pusingnya agak mereda, dia mengulangi apa yang dilakukannya tadi.Shanum mondar-mandir di depannya, entah sudah berapa kali.Ini istirahat kedua. Mereka duduk di bawah pohon sukun, ada bangku yang memutari pohon besar itu. Letaknya di dekat ruang guru tapi agak jauh dari kelas mereka.“Tadi aku sudah nahan kamu, ya, Num supaya ngga keceplosan. Tapi, kamu kebawa emosi gitu.” Dewi mengingatkan kalau sudah melakukan hal yang benar tadi, tapi Shanum-nya sendiri yang tidak menurut.Shanum berhenti, menghadap ke arah Dewi. “Makanya, aku jadi bingung banget. Gimana bisa buktiin kalau aku sama Ghani itu emang sodara satu bapak? Gimana caranya mukaku ini ada di postingan sosmed dia?”“Yah, sebenarnya simpel, kok. Kamu tinggal ketemu sama dia,” jawab Dewi sambil memainkan sepatunya yang mengulik t
Sambil menggenggam erat tali tas punggungnya, Shanum mengambil langkah mendekat ke pintu kaca itu. Senyumnya mengembang jelas di wajah mungilnya, membayangkan kalau sebentar lagi akan bertemu muka dengan Fathan—ayah kandungnya. Hal yang paling dimimpikannya selama ini.Namun, langkahnya sontak terhenti oleh seorang pria berbadan tinggi yang mengenakan seragam serba hitam.“Ada yang bisa Saya bantu?”“Itu ....” Shanun merasa tidak melakukan kesalahan, tapi entah kenapa malah jadi gugup seperti ini. “Saya mau ketemu Pak Fathan.”Kening security itu mengernyit. “Pak Fathan? Divisi mana?”“Divisi mana? CEO di sini, lah.”‘Aku pikir tadi salah dengar,’ gumam benak sang security. Dia pun menyeringai sambil mendengus mengejek. “Jangan main-main, Dek.”“Lah, Saya ngga main-main, Pak,” ujar Shanum nyolot.“Kamu masih sekolah, kan?” tebak security itu.“Iya. Kenapa memangnya? Ngga boleh di sini? Memangnya ada aturan kalau anak sekolah ngga boleh datang ke sini? Saya itu mau ketemu Pak Fathan ka
“Ini ketiga kandidat brand ambassador koleksi kita yang baru, Pak.” Siska menyodorkan beberapa map ke depan Fathan.Sebagai atasan, di mana semua keputusan berujung padanya, Fathan pun menimang ketiga profil selebriti yang ada di hadapannya.“Sebagai manajer pemasaran, pasti kamu sudah memiliki kandidat, 'kan?” tebak Fathan.“Benar, Pak. Kandidat Saya pada Cathrine. Secara visual dia sempurna dan elegan sesuai koleksi kita. Masalah kontrak pun sudah kami jelaskan ke mereka, dan ketiganya setuju. Tinggal menunggu pilihan final hari ini saja.”“Tapi, bukannya dia sering terlibat scandal percintaan, ya?” tanya Syaf berusaha mengingat. Cathrine memang beberapa kali viral karena ketahuan pacaran dengan beberapa aktor dan penyanyi ternama.“Meskipun begitu, namanya tidak pernah redup. Apapun yang dia kenakan selalu sold out. Karena itu, karismanya masih cukup menjanjikan,” jawab Siska penuh keyakinan. Dia tahu kalau pertanyaan ini akan terlontar dari salah satu petinggi perusahaan yang ada
Sepatu Shanum beberapa kali menginjit. Kepalanya menoleh ke kiri, ke arah yang dikiranya sebagai kedatangan mobil milik Fathan.Shanum berdiri di depan pintu hotel bersama Fathan juga Ridho.Ridho bergegas maju ketika melihat mobil sedan hitam datang. Dia membukakan pintu untuk Fathan, yang langsung masuk. Kemudian, bergerak ke pintu lain, lantas membukanya. Dia menatap ke arah Shanum.Shanum yang tercengang sekaligus mengagumi mobil hitam yang mengkilap itu sadar kalau sudah ditunggu Ridho. Tanpa melenyapkan senyuman manisnya, Shanum masuk ke mobil melalui pintu yang dibukakan oleh Ridho.“Terima kasih, Pak,” ucapnya sebelum masuk.Ridho sendiri duduk di kursi depan, di samping sopir.Jemari Shanum mengetuk lututnya ketika mobil mulai melaju. Sekali lagi, dia menikmati pesona gedung-gedung tinggi ini.Tapi, tidak lama. Perlaham, diam-diam, dia menoleh ke sisi kanannya. Diperhatikannya secara seksama pria di sisi kanannya itu, yang tengah asyik membuka tap dan membaca beberapa laporan
Fathan baru saja usai mengganti kemejanya dengan kaos putih dan celana abu-abu gelap ketika Feny masuk, lantas bergegas menghampirinya.“Apa maksudnya? Kamu punya anak dengan Aurel? Kamu ngga pernah cerita sama aku,” cecar Feny, yang sudah tidak sabar menanti jawaban Fathan.Tapi, yang ditanya malah memasang wajah datar.“Pa,” panggil Feny setengah merajuk. “Aku butuh penjelasan kamu.”Setelah hanya memunggungi Feny, akhirnya Fathan menoleh. “Aku sendiri ngga tahu kalau Aurel menyimpan anak itu dariku. Seharusnya, kamu yang paling paham kenapa dia melakukan hal itu.”“Ini artinya kamu percaya pengakuan anak itu, yang bilang kalau kamu adalah papanya? Gimana kalau dia bohong? Gimana kalau dia cuma mengincar hartamu aja?”Fathan mengambil ponsel genggam, yang ada di nakas. “Aku percaya dia, seperti aku percaya sama omongan kamu dulu kalau Ghani adalah anakku. Aku mau ke ruang kerja dulu. Ada beberapa laporan yang mau aku bicarakan dengan Ridho.”Masih belum puas, Feny meraih pergelangan
Praaang! Piring putih berles gold terlepas dari genggaman Aurel. Wanita itu tidak langsung menangkapnya, malah hanya menatapinya saja. Matanya sempat menutup saat piring itu beradu dengan lantai keramik.Napas Aurel tersengal. Dadanya sempat terasa sesak. Dia diam sebentar.Setelah berhasil mengatasi rasa kagetnya, barulah Aurel bergerak untuk membereskan kekacauan ini.Ini masih pagi. Belum satu jam berlalu semenjak Shanum berpamitan pergi sekolah tadi. Sudah jadi jadwal harian kalau Aurel membereskan rumah sebelum pergi ke pasar. Dan, entah kenapa, pagi ini piring itu luput dari genggamannya. Aurel tidak pernah seperti ini. Ceroboh bukanlah salah satu sifat khasnya.Aurel membereskan pecahan piring dengan telaten. Dia tidak mau tersisa satu pecahan sekecil apapun, yang nanti bisa saja melukai kakinya atau Shanum. Kemudian, dia melanjutkan mencuci piring yang tertunda.“Kenapa perasaanku jadi ngga enak gini?” gumam Aurel sambil memegangi dadanya. “Semoga Shanum ngga kenapa-kenapa.”N
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid