Rafa melihat ke arah kancing kemeja batiknya sekali lagi. Seorang wanita berhijab pink floral menepuk pundaknya sambil memerhatikan penampilan Rafa.“Perfect, 'kan, Bu?” tanya Rafa sedikit berbisik.Wanita itu tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Hanya dengan jawaban sang ibu sudah mengembalikan kepercayaan diri Rafa. Dia duduk sambil memerhatikan ruang tamu itu. Tidak terlalu besar, paling hanya sekitar tiga kali enam meter. Hampir sama besar dengan kamarnya. Rafa sudah sering duduk di ruangan itu. Di kala masih berstatus siswa putih biru dulu hampir setiap malam minggu hadir di sini. Semenjak menginjak bangku kuliah dan bekerja yang mulai jarang mampir. Kesibukan membuatnya menomorduakan hubungan manis itu.Seharusnya dia merasa nyaman di tempat yang tidak asing buatnya itu. Tapi malam ini, Rafa merasa sesak di lehernya.Dia baru bisa tersenyum ketika sosok Aurel muncul dari belakang dan menyajikan teh manis dalam cangkir.Isti dan Yudi memerhatikan calon menantu mereka itu den
Davina berhenti di samping Fathan, yang berdiri di belakang Rafa. Dia melihat ke arah orang tua Aurelia, lalu pada suaminya itu.“Ada apa, Than?” tanya Davina heran. “Belum dipersilakan masuk, Kak.”Davina kembali menatap kedua orang tua Aurelia. Keningnya pun mengernyit. ‘Kok keduanya kayak kaget gitu ngeliat Rafa?’Lis maju selangkah setelah menarik lengan suaminya supaya tidak menghalangi jalan. “Ayo, masuk dulu,” ucapnya sambil memberikan ruang di pintu masuk.Rafa langsung menyalimi tangan Lis, yang disambut tawa dibuat-buat oleh wanita hampir paruh baya itu. Lalu, beralih menyalimi tangan Sukamto, walaupun ditarik cepat oleh lelaki itu.Rafa pun duduk di kursi tamu. Kursi jati itu masih ada, hanya kain pembungkus busanya yang berubah. Kalau dulu berwarna merah, sekarang hijau dengan aksen emas. Dan, ruangan itu tidak banyak berubah. Foto Aurel mengenakan toga ketika menyelesaikan Strata 1-nya masih terpampang jelas. Tambahannya adalah foto Aurel bersama kedua orang tuanya. Sep
Rafa bertukar pandang dengan Davina dan Fathan, yang penuh dengan tanya. “Mungkin mau ngomongin detail acaranya. Kalian duluan ke mobil, ya. Nanti aku susul,” ujar Rafa, berusaha menghilangkan tatapan bingung dari keduanya.Davina pun mengangguk.Fathan langsung menggendong Tania. Kemudian, menyalimi Sukamto dan Lis lalu mengerling pada Aurel yang melambai pelan padanya. Rafa tidak melepaskan pandangannya dari keluarga kecilnya itu yang masuk ke mobil, lalu kembali ke dalam rumah dan duduk di tempatnya tadi. “Ya, Pak?”Sukamto yang sudah kembali duduk menunjuk-nunjuk ke arah Rafa. “Istrimu sama Fathan tahu kalau kamu itu mantan suaminya Aurelia?”“Ngga, Pak. Mereka berdua sama sekali ngga tahu.”“Kalau Lia memang benar nantinya menikah sama Fathan, apa bakal jadi masalah buat kalian berdua? Tidak ada rasa yang tertinggal bukan?” Sukamto tidak hanya menatap Rafa, tapi juga Aurel.“Insya Allah, ngga akan jadi masalah, Pak,” jawab Rafa padahal Aurel sudah membuka mulutnya.“Kapan kalia
Feny tengah duduk di lobi hotel. Biasa, menunggu langganannya yang belum juga kunjung datang. Dia bukan wanita biasa, langganannya selalu dari kelas atas. Bayarannya sekali pertemuan pun tidak pernah lepas dari dua digit.Feny masih muda. Umurnya baru 25 tahun. Wajahnya panjang, pipinya dibuat agak chubby akibat perawatan yang dilakukannya, bibir tebal hasil filter miliknya itu tampak sexy. Pada dasarnya dia lumayan cantik.Sebenarnya Feny ingin bekerja normal saja sebagai karyawan biasa, dia pasti diterima. Tapi, dengan alasan himpitan ekonomi sebagai tulang punggung yang harus menghidupi ketiga adiknya, Feny terpaksa mengambil jalur singkat penuh resiko ini.Sore itu, ketika tengah asyik memerhatikan ponselnya, tiba-tiba tatapannya tertuju pada sosok yang baru masuk ke hotel. Seorang wanita berhijab, yang tampak anggun, mengikuti sosok itu.Feny pun menyeringai. ‘Bukan pasangan yang cocok,’ komentar benaknya. Manik matanya terus memerh
“Kalah cepet lagi kamu, Put. Lia sampe udah mau dua kali, lho kawin,” celetuk seorang wanita yang mengenakan jilbab sorong. Kulitnya agak gelap, pipinya agak tembem sejurus dengan tubuhnya yang memang lebih lebar.“Ma!” seru Putri kesal. Dia mencoba mengingatkan emaknya itu supaya tidak kelepasan ngomong dan menyebabkan orang sakit hati. Termasuk dia. Mentang-mentang seumuran sama sepupunya—Aurelia, dan betah menjomlo malah diserang begini sama ibu kandung sendiri.Aurel tersenyum tipis, sekaligus geli melihat reaksi sepupunya yang kesal sama ibunya sendiri. “Mama cuma ngomong sesuai kenyataan,” timpal wanita itu lagi sebelum berlalu dari kamar itu.Putri mendengkus melihat emaknya pergi juga setelah setengah jam berdiri di depan pintu. Lalu, menatap sepupunya yang duduk di kursi. Di bawahnya seorang perempuan muda tengah mengoleskan inai merah di kaki Aurelia.“Aku masih betah menjomlo, malah dia yang pusing.”“Tujuan Tante Ani
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Aurelia Sahara binti Sukamto dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”Ketegangan yang dirasakan Rafa semenjak bangun tidur tadi seketika usai setelah Om Athar dan Om Salman mengucapkan sah diikuti oleh keluarganya yang juga hadir di sana. Ketika penghulu menyetujui bahwa ijab kabul ini sah, lantas menghanturkan doa untuk rumah tangga yang akan dibina, air mata Rafa ingin menetes saat itu juga. Namun, masih bisa dia tahan. Hatinya bukan main bahagia, akhirnya bisa sampai di sini hubungan mereka.“Mempelai wanita silakan ke luar.”Sontak kepala Rafa menoleh ke arah rongga penghubung ruang tamu dengan ruangan sebelah. Jantungnya serasa ingin berjingkrak bahagia saking terpana melihat aura luar biasa yang terpancar dari sosok wanita, yang hampir enam tahun dipacarinya itu. Aurelia tampak berbeda. Jauh lebih cantik. Dia biasanya jarang berdandan tebal, tapi sekalinya dipoles dengan apik, kekasihnya itu tampak luar biasa. Wajahnya juga berkilau. Senyu
Davina terus menatap wanita itu. Alisnya naik sebelah ketika menemukan seringai di wajah wanita hitam manis itu. Terbersit rasa tidak suka dalam benaknya.Putri berdiri, melipat kedua tangannya di dada kembali. “Siapa aku?”“Iya. Kok kamu bisa menyebut nama Rafa dengan sesantai itu? Kalian saling kenal?”Putri mengangguk. “Iya. Aku mantan pacarnya.”Davina pun tersentak kaget.“Putri.”Putri malah mendapat tepuk kuat di paha kirinya oleh seorang wanita yang memiliki tone kulit yang sama dengannya. “Ih, Mama!” Putri berusaha menepis tangan wanita itu, yang ikut berdiri. Deretan cincin yang melingkari jemarinya nampak jelas saat wanita berhijab itu menarik lengan Putri. Dia lekas berdiri saat upaya pertamanya tidak berhasil. “Maaf, dia cuma asal bicara,” ujar wanita itu seraya menekan kedua bahu Putri.Kali ini, Putri tidak bisa menolak perintah ibunya yang juga mantan atlet taekwondo semasa SMA itu.Davina tidak puas. Terpampang nyata di wajahnya. Dia masih menatap Putri, meminta pe
“Gila kamu, Put!” Aurel sontak memukul lengan sepupunya itu. Cukup keras, buktinya Putri mengaduh kesakitan lantas memegangi bagian yang sakit.“Sakit, Lia!” Putri ingin memukul balik sepupunya, seperti yang selalu mereka lakukan. Tapi, melihat dress pink salem yang membalut tubuhnya itu, membuat Putri mengurungkan niatnya. Aurel itu adalah ratu untuk satu hari ini, dia tidak boleh merusak moment itu.“Biarin! Karena kamu udah keterlaluan, Put!” sergah Aurel marah.Putri melihat ke arah pintu ruang ganti. Fathan sedang mengganti pakaiannya di ruangan yang lain. Dia ngeri-ngeri sedap juga kalau tiba-tiba suami baru Aurel itu muncul dan mendengar percakapan mereka. Wah, bisa kacau beneran, nih.“Rafa sudah setuju dengan pilihannya. Lebih baik aku yang menjadi mantan pacarnya daripada istrinya itu tahu kalau kamu mantan istrinya Rafa!” sergah Putri agak berbisik. Jemarinya sampai menunjuk-nunjuk Aurel.Aurel mencondongkan tubuhnya ke arah Putri. “Ngga ada yang lebih baik, Put!”“Ada! Kal