Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.
“Ma,” panggil Rafa pelan.“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.” Davina pun naik ke atas tempat tidur. Duduk menyender. Tangannya meraih ponsel, melihat media sosialnya sebelum malam ini berakhir.“Tapi, kalau di luar sana, kamu tahu sendiri bagaimana pergaulannya. Selalu gonta-ganti perempuan. Sering juga ke club.”“Justru itu, aku melihat keseriusannya Fathan di hubungannya kali ini. Dia ngga memperkenalkan Aurel dengan mengajak kita bertemu di luar. Tapi, di rumah ini.” Jemari Davina pun menyentuh rambut suaminya. Dielusnya pelan. “Kenapa? Apa yang membuat Mas khawatir?”“Aku takut kalau dia hanya menyakiti wanita tadi. Aku tahu betul kalau Fathan ngga pernah serius soal perempuan. Aku ngga sepenuhnya bisa percaya dengan apa yang diucapkannya tadi.”“Umurnya sekarang sudah tiga puluh tahun. Mungkin itu alasannya untuk coba serius dengan seseorang.” Davina meletakkan ponselnya di atas nakas. “Kamu sudah janji untuk membantunya melamar Aurelia. Kamu belum lupa akan hal itu, kan, Mas?”Rafa mengangguk pelan.Melihat wajah suaminya yang masih terlihat serius berpikir, Davina pun menaikkan selimut ke dada Rafa. “Sebaiknya sekarang kita tidur aja, ya. Besok kamu harus bangun pagi dan aku rencanya mau sholat tahajud nanti.”Davina pun menekan tombol di ponselnya, dan lampu di kamar itu langsung mati, hanya lampu di atas plafon yang menerangi.Rafa tidak juga memejamkan matanya. Apa yang terjadi tadi siang di ruang tamu bawah terlalu mengganggu pikirannya hingga tidak bisa beristirahat.“Dia pacarku.” Senyuman terpampang jelas, meskipun tampak lemah karena wajah Fathan yang terlihat kuyu akibat demam yang dideritanya. Matanya memandang lembut pada wanita yang ada di sisinya. “Aku menyukainya sejak pertama melihatnya. Dia sangat cantik dengan segala pesona yang dimiliki, juga kecerobohannya yang sesekali muncul.”“Ceroboh?” tanya Aurel tampak kaget juga sedikit tersinggung.“Iya. Aku lihat kamu ngejatuhin box isi sambel lumpia.”Aurel mencoba mengingat, lalu tersentak kaget. “Kamu lihat yang itu?”Kala itu dia tidak sengaja menyenggol ujung meja, hingga kakinya mundur beberapa langkah, dan tangannya meraih box yang kemudian jatuh ke lantai bersama isinya—plastik-plastik kecil berisikan sambal lumpia goreng.Fathan mengangguk pelan.“Tapi, itu kan udah lama banget. Jadi, sejak itu kamu—”“Iya, sejak itu kamu tampak menarik di mata aku.”Aurel terperangah lantas ikut tersenyum. Matanya mulai berkaca-kaca.Sementara itu, Rafa yang melihatnya hanya menyeringai jijik. Pemandangan yang dilihatnya sekarang ini sungguh membuatnya muak. Fathan memang bermulut manis seperti itu. Tidak aneh baginya.“So sweet,” komentar Davina, yang malah merasa terenyuh mendengar cerita Fathan. Baginya, cerita pertemuan mereka itu sangatlah indah.“Tolong bantu aku melamar ke rumah orang tuanya. Karena aku serius mau menikahinya.” Setelah menatap lama Aurel, Fathan pun menoleh pada Rafa. “Orang tua kami sudah lama meninggal, mau kan Mas mewakilkan mereka melamar Aurel?”“Melamar?” tanya Aurel kaget. Lalu, matanya mengikuti ke mana perginya sorot mata Fathan. Dia terkejut karena menemukan sosok Rafa, yang berdiri menyender di dinding dengan kedua tangan di kantong celana pendeknya. Aurel lupa kalau ada sosok mantan suaminya itu di sana.Aurel mendengus sambil tertawa canggung. “Kita baru saling kenal, Fathan. Dan, kamu sudah mau melamar? Ngga harus terburu-buru, kita—”Fathan kembali menatap Aurel. “Kenapa? Ada yang salah? Aku ingin kita tinggal seatap, secepatnya. Aku ingin bisa selalu ada buat kamu, begitu juga sebaliknya. Kamu tahu rasanya jadi aku beberapa hari ini? Rasanya mau mati karena ngga bisa ketemu sama kamu.”Merinding seluruh tubuh, itu yang dirasakan oleh Aurel ketika melihat wajah serius Fathan yang pucat bersama deretan kata yang sangat menggugah perasaannya itu.“Aku akan melamarnya, maksudku, aku akan menemanimu ke rumah orang tuanya,” ucap Rafa tiba-tiba. Dia sudah tidak tahan mendengar gombalan Fathan. Kalau memang Fathan punya nyali melamar Aurelia, okay, akan dia lakukan.Aurel menatap Rafa kaget, terlebih lagi lelaki itu menatapnya.Meskipun samar, bisa terlihat oleh Rafa kalau Aurel menggeleng pelan.Rafa bergeming. Malah, tatapannya terlihat tajam pada Aurel, sebelum berpaling, lantas pergi ke kamarnya.Aurel hanya bisa memandangi punggung Rafa. ‘Gimana nanti Ibu sama Bapak kalau ketemu kamu, Rafa? Kok malah gampangnya mengiyakan permintaan Fathan, sih!’Aurel menggigit bibir bawahnya. Ah, lamaran ini hanya menambah beban pikirannya saja.Bersambung ...Bunyi jemari mengetuk meja besi putih nan bundar terdengar begitu nyaring di telinga Shanum. Beberapa kali dia meringis akibat nyilu yang menyayat hatinya. Setelah berusaha menghindar, akhirnya Shanum beranikan diri melirik ke arah wanita cantik yang duduk di hadapannya. Dia tahu kalau wanita itu tidak melepaskan tatapan darinya sedari tadi, tapi Shanum tetap terkejut dan refleks mengalihkan pandangannya ke arah lain. Bunyi ketukan menghilang karena Fania menarik tangannya. Kedua kakinya yang jenjang terekspos jelas ketika melipat kaki hingga rok span pendek sebatas lutut yang dikenakannya tertarik sampai paha. “Jadi, kamu anak dari wanita yang membuat Papa-ku sering bolak-balik ke Jogja,” gumamnya lebih ke sebuah tudingan. Seringainya muncul di akhir kalimat. Mata elangnya enggan melepaskan Shanum dari pandangan. Shanum meliriknya. “Aku ngga tahu tentang itu. Buktinya, aku ngga kenal Papa-nya Kakak.” “Tapi, Papa mengenalimu. Aku kira dulu dia punya anak lain selain kami kar
Dengan mata yang membengkak, Aurel sudah bersiap dengan peralatan membersihkan pekarangan rumah. Selepas Subuh tadi, diperhatikannya halaman depan yang rumputnya sudah memanjang. Begitu juga dengan bunga-bunga dan tanaman yang dulu peliharan almarhum ibunya sudah tumbuh tidak karuan, dia hendak merapikannya. Hitung-hitung bisa menghilangkan sejenak kesedihannya.Namun, langkah Aurel terhenti. Dia terkejut mendapati Ridho berada di depan pagar rumah ini.“Ngapain kamu di sini, Dho?” tanyanya seraya menghampiri pagar dan membuka kuncinya. Seharusnya jam tujuh begini, Ridho sudah berada di kantor. Kok malah ada di depan rumah ini? Kalau bukan urusan yang penting, tidak mungkin mau ke sini.“Itu ....” Ridho terlihat meragu. Bukannya lekas menjawab, dia malah menoleh ke arah jalan gang ini.Aurel juga ikut melihat ke sana. Menerka sekiranya ada jawaban di ujung jalan i
Selesai sarapan, Shanum memegangi perutnya. “Padahal, hanya semangkuk kecil begitu. Tapi, udah bikin kenyang banget,” ujarnya dengan bibir yang tersenyum puas.Saat mengangkat pandangannya, dia menemukan Ghani yang berjalan cepat di lorong hendak ke arah luar. “Ghani,” gumamnya senang. Lalu, berlari kecil ke arah cowok itu.Ghani sudah berpakaian seragam putih abu-abu lengkap dengan tas punggungnya, yang hanya tercantol di bahu kanannya. Dari langkahnya yang cepat, cowok itu masih terlihat penuh emosi.“Ghani, Ghani,” panggil Shanum.Yang dipanggil sempat menoleh, tapi begitu tahu suara itu milik siapa dia langsung malah kian mempercepat langkahnya. Namun selebar-lebarnya langkah Ghani, tetap terkejar oleh Shanum, yang pantang menyerah.Gadis itu menangkap pergelangan tangan Ghani. “Tunggu," pintanya agak memaksa. Kemudian, mengatur napasnya yang tersengal-sengal. “Aku harus jelasin kalau tujuanku ke sini bukan untuk menjadi penerus perusahaan Fadel Group. Aku cuma mau ....”“Bullshit
Ketukan di pintu tidak juga membangunkan Shanum. Makanya, salah satu pelayan rumah tangga berambut pendek itu memilih untuk membuka pintu. Dia tidak kaget melihat sosok Shanum masih terlelap di atas tempat tidur, dia sudah dapat menduganya.Sejak kepala asisten rumah tangga menunjuknya menjadi pelayan Nona Muda baru, pelayan bermata kecil ini sudah tahu kalau perjalanannya akan sangat panjang dan berat. Maka dari itu, dia sudah memenuhi hatinya dengan kuota kesabaran yang ekstra.“Non,” panggil pelayan dengan name tag Minah itu. Digoyangkannya perlahan namun intens kaki Shanum. Tugasnya adalah membangunkan majikan baru ini. Dan, ternyata itu menjadi tantangan sendiri untuknya karena Shanum tidak jua kunjung membuka matanya.Pantang menyerah sekaligus menambah stok sabarnya lagi dan lagi, Minah menggoyangkan lengan atas Shanum kali ini. “Non, bangun. Sebentar lagi harus sarapan. Bapak yang nyuruh Non ikut.”Sontak, Shanum membuka matanya. Dia langsung melotot. Tatapannya langsung tertu
Karena lantai yang berkarpet tebal, kedatangan Ridho tidak diketahui oleh Fathan. Tiba-tiba saja dia sudah berada di dekat Shanum. Dia mengangguk pada Fathan, yang menyadari kedatangannya.“Aku sudah menelepon Ridho untuk mengantarkan kamu pulang,” ujar Fathan menjelaskan kenapa sekretarisnya itu ada di sini.Tapi, sepertinya, Aurel sedang tidak fokus ke sana. Dia meraih pergelangan tangan Shanum. “Kamu yakin dengan keputusan ini? Hampir tiga tahun kamu akan tinggal di sini. Itu lama, Num.”Tatapan Shanum tertuju pada ibunya. “Itu artinya Shanum juga akan berpisah sama Ibu dan Dewi, kan?”“Iya,” jawab Aurel seraya mengangguk mantap. “Coba kamu pikirkan sekali lagi.”“Tiga tahun tidak lama. Dengan keseruan di sekolah, waktu akan berlalu dengan cepat. Saya juga tidak akan mengekang kamu untuk bertemu ibumu atau teman-temanmu. Kamu bisa mengunjungi mereka di akhir pekan atau pas liburan. Saya tidak sejahat Ibumu, yang melarang kita bertemu.” Di akhir kalimatnya, Fathan menatap tajam Aure
Manik mata Feny bergetar seraya membulat sempurna. ‘Dia datang?’“Aurel, kan?” tanya Feny, meskipun sudah tahu jawabannya. Ini percakapan mereka yang pertama.Aurel tidak langsung menjawab. Dia merasa tidak memiliki kewajiban untuk menanggapi pertanyaan itu. Manik matanya bergerak ke arah sosok yang muncul di belakang Feny. “Shanum!” sergahnya kesal.Feny bergegas menoleh. Dia menemukan sosok gadis itu bergegas bersembunyi di balik badannya.Aurel pun melangkah masuk. Dibiarkannya koper berada di luar. “Kenapa kamu ke sini?! Ibu sudah melarang kamu ke sini! Kenapa malah bandel begini?! Ayo, pulang!” Dia berusaha meraih pergelangan tangan Shanum, tapi anaknya itu terus menghindar.“Kenapa dia tidak boleh ke sini? Dia tidak boleh bertemu dengan ayah kandungnya sendiri?”Aurel, Feny, dan Shanum menoleh ke arah sumber suara. Fathan muncul dengan tatapan tajam, namun ekspresinya datar saja.Bagi Aurel, lelaki itu banyak berubah. Dulu, senyuman begitu murah terpampang di wajahnya. Tapi, tid