Share

#Bab 7. Beban Pikiran

Rafa tengah berbaring menghadap dinding. Matanya tampak segar, belum ada tanda-tanda mengantuk. Kemudian, dia tidur terlentang. Sorot matanya kembali menerawang ke langit-langit kamar berdampingan tingkat dengan lampu warna cream yang kalem.

“Ma,” panggil Rafa pelan.

“Hm,” sahut Davina pelan dari balik meja rias. Banyak rentetan skincare malam yang harus dipoles pada wajah hingga ujung kakinya. Dia hanya melirik suaminya dari kaca.

Rafa menghela napas pelan. “Menurut kamu, Fathan serius ngga dengan ucapannya tadi?”

“Mau melamar Aurel? Kayaknya serius, sih.”

“Lho, kok kayaknya?” tanya Rafa seolah tidak terima.

Davina menoleh. Dia sudah selesai mengoleskan krim malam. Karena tidak ada hijab yang menutupi kepalanya, ketahuanlah bahwa rambutnya panjang bergelombang hingga ke punggung. Tubuhnya juga hanya berbalut setelan piyama berlengan dan celana pendek.

“Iya, menurutku serius, sih. Karena selama ini dia ngga pernah mempersilakan seorang teman perempuan datang ke rumah ini.”  Davina pun naik ke atas tempat tidur. Duduk menyender. Tangannya meraih ponsel, melihat media sosialnya sebelum malam ini berakhir.

“Tapi, kalau di luar sana, kamu tahu sendiri bagaimana pergaulannya. Selalu gonta-ganti perempuan. Sering juga ke club.”

“Justru itu, aku melihat keseriusannya Fathan di hubungannya kali ini. Dia ngga memperkenalkan Aurel dengan mengajak kita bertemu di luar. Tapi, di rumah ini.” Jemari Davina pun menyentuh rambut suaminya. Dielusnya pelan. “Kenapa? Apa yang membuat Mas khawatir?”

“Aku takut kalau dia hanya menyakiti wanita tadi. Aku tahu betul kalau Fathan ngga pernah serius soal perempuan. Aku ngga sepenuhnya bisa percaya dengan apa yang diucapkannya tadi.”

“Umurnya sekarang sudah tiga puluh tahun. Mungkin itu alasannya untuk coba serius dengan seseorang.” Davina meletakkan ponselnya di atas nakas. “Kamu sudah janji untuk membantunya melamar Aurelia. Kamu belum lupa akan hal itu, kan, Mas?”

Rafa mengangguk pelan.

Melihat wajah suaminya yang masih terlihat serius berpikir, Davina pun menaikkan selimut ke dada Rafa. “Sebaiknya sekarang kita tidur aja, ya. Besok kamu harus bangun pagi dan aku rencanya mau sholat tahajud nanti.”

Davina pun menekan tombol di ponselnya, dan lampu di kamar itu langsung mati, hanya lampu di atas plafon yang menerangi.

Rafa tidak juga memejamkan matanya. Apa yang terjadi tadi siang di ruang tamu bawah terlalu mengganggu pikirannya hingga tidak bisa beristirahat.

“Dia pacarku.” Senyuman terpampang jelas, meskipun tampak lemah karena wajah Fathan yang terlihat kuyu akibat demam yang dideritanya. Matanya memandang lembut pada wanita yang ada di sisinya. “Aku menyukainya sejak pertama melihatnya. Dia sangat cantik dengan segala pesona yang dimiliki, juga kecerobohannya yang sesekali muncul.”

“Ceroboh?” tanya Aurel tampak kaget juga sedikit tersinggung.

“Iya. Aku lihat kamu ngejatuhin box isi sambel lumpia.”

Aurel mencoba mengingat, lalu tersentak kaget. “Kamu lihat yang itu?”

Kala itu dia tidak sengaja menyenggol ujung meja, hingga kakinya mundur beberapa langkah, dan tangannya meraih box yang kemudian jatuh ke lantai bersama isinya—plastik-plastik kecil berisikan sambal lumpia goreng.

Fathan mengangguk pelan.

“Tapi, itu kan udah lama banget. Jadi, sejak itu kamu—”

“Iya, sejak itu kamu tampak menarik di mata aku.”

Aurel terperangah lantas ikut tersenyum. Matanya mulai berkaca-kaca.

Sementara itu, Rafa yang melihatnya hanya menyeringai jijik. Pemandangan yang dilihatnya sekarang ini sungguh membuatnya muak. Fathan memang bermulut manis seperti itu. Tidak aneh baginya.

“So sweet,”  komentar Davina, yang malah merasa terenyuh mendengar cerita Fathan. Baginya, cerita pertemuan mereka itu sangatlah indah.

“Tolong bantu aku melamar ke rumah orang tuanya. Karena aku serius mau menikahinya.” Setelah menatap lama Aurel, Fathan pun menoleh pada Rafa. “Orang tua kami sudah lama meninggal, mau kan Mas mewakilkan mereka melamar Aurel?”

“Melamar?” tanya Aurel kaget. Lalu, matanya mengikuti ke mana perginya sorot mata Fathan. Dia terkejut karena menemukan sosok Rafa, yang berdiri menyender di dinding dengan kedua tangan di kantong celana pendeknya. Aurel lupa kalau ada sosok mantan suaminya itu di sana.

Aurel mendengus sambil tertawa canggung. “Kita baru saling kenal, Fathan. Dan, kamu sudah mau melamar? Ngga harus terburu-buru, kita—”

Fathan kembali menatap Aurel. “Kenapa? Ada yang salah? Aku ingin kita tinggal seatap, secepatnya. Aku ingin bisa selalu ada buat kamu, begitu juga sebaliknya. Kamu tahu rasanya jadi aku beberapa hari ini? Rasanya mau mati karena ngga bisa ketemu sama kamu.”

Merinding seluruh tubuh, itu yang dirasakan oleh Aurel ketika melihat wajah serius Fathan yang pucat bersama deretan kata yang sangat menggugah perasaannya itu.

“Aku akan melamarnya, maksudku, aku akan menemanimu ke rumah orang tuanya,” ucap Rafa tiba-tiba. Dia sudah tidak tahan mendengar gombalan Fathan. Kalau memang Fathan punya nyali melamar Aurelia, okay, akan dia lakukan.

Aurel menatap Rafa kaget, terlebih lagi lelaki itu menatapnya.

Meskipun samar, bisa terlihat oleh Rafa kalau Aurel menggeleng pelan.

Rafa bergeming. Malah, tatapannya terlihat tajam pada Aurel, sebelum berpaling, lantas pergi ke kamarnya.

Aurel hanya bisa memandangi punggung Rafa. ‘Gimana nanti Ibu sama Bapak kalau ketemu kamu, Rafa? Kok malah gampangnya mengiyakan permintaan Fathan, sih!’

Aurel menggigit bibir bawahnya. Ah, lamaran ini hanya menambah beban pikirannya saja.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status