Pagi menyambang, Sera kembali mendatangi kampus. Sebenarnya urusan akademiknya sudah rampung, tapi rasa suntuk yang menghantuinya di rumah membuatnya memilih pergi. Setidaknya, bertemu Jelita bisa menghilangkan rasa sepinya.
Setelah menemani Jelita menyelesaikan keperluannya, mereka pun melipir ke sebuah kafe kecil yang tak jauh dari kampus. Tempatnya tenang, hangat, dan nyaman. “Akhirnya minggu depan kita wisuda, Ser!” seru Jelita dengan semangat, hampir berteriak. Sera hanya terkekeh, Jelita selalu bisa menghiburnya “Kau tetap akan bekerja di perusahaan Papa, kan?” tanya Jelita, sambil menyeruput minumannya. Sera menggeleng lemas. “Aku tidak dibolehkan bekerja...” Jelita mengerutkan kening. “Jadi kau cuma akan jadi ibu rumah tangga? Sebenarnya tidak apa-apa sih, tidak ada yang salah dengan ibu rumah tangga" "Apa lagi suamimu sudah kaya raya, kau hanya perlu melayaninya dengan baik". Sambung Jelita “Eh..." Jelita memukul meja pelan, "Kau belum cerita banyak tentang suamimu." "Gimana sih dia? Sudah lebih dari sebulan kalian menikah,” desak Jelita penasaran, ia mengubah topik pembicaraan Sera menarik napas dalam-dalam, lalu menghembusnya pelan. Ia tidak tahu harus memulainya dari mana. Hampir tidak ada rahasia di antar Sera dan Jelita, mereka selalu berbagi cerita, meskipun demikian mereka tetap tahu batasan dalam bercerita “Entahlah... aku sendiri masih bingung dengan sikapnya. Di satu sisi, dia bisa sangat manis. Aku sudah mulai menyukainya. Tapi di sisi lain, dia bisa terlihat cuek, bahkan tidak peduli.” Jelita mengangguk pelan, ia penasaran dengan sosok Sebastian yang membuat Sera begitu cepat melupakan Aiden. Walaupun ia juga belum pernah melihat Aiden, Jelita hanya mendengar Aiden lewat cerita Sera. “Kau harus kenalkan aku padanya suatu saat nanti.....Atau sekarang aja!” katanya tiba-tiba. "Coba kau telefon dia dan ajak Sebastian ke sini. Kalau dia datang berarti dia juga menyukaimu.” “Apa kau gila?” Sera memprotes cepat, wajahnya memerah. “Aku tidak mau menganggu pekerjaannya.” “Justru kalau dia sayang, dia akan menyempatkan waktu. Ayolah...Anggap saja ini eksperimen cinta.” Jelita bersikeras sambil menaikkan kedua alisnya Sera menatap layar ponselnya ragu. Tapi dalam hati, ia juga ingin tahu, apa Sebastian benar-benar mulai menyukainya? Atau... dia masih menyimpan Naomi, seperti yang pernah dikatakan Olivia? Dengan ragu, ia menekan tombol panggil di ponselnya. Dering terdengar... satu kali... dua kali... tiga kali... Jantung Sera berdegup kencang. Jemarinya gemetar. Hingga akhirnya, suara berat yang sangat ia kenal terdengar di ujung sana. “Ya, sayang. Ada apa?” Pipi Sera langsung merona. Suara itu dan panggilan itu meluluhkan benteng gugupnya. Untuk pertama kalinya Sebastian memanggilnya sayang. Sementara Jelita yang ada di hadapannya menahan diri untuk tidak berteriak kegirangan, seperti dirinya yang baru saja dipanggil sayang. “Hm... tidak, aku cuma lagi di kafe X. Kalau kamu tidak sibuk, bisakah kamu ke sini? Kalau tidak bisa juga tidak apa-apa,” ucap Sera ragu-ragu, takut kecewa. Sebastian terdiam sejenak. Hening di seberang terasa seperti ribuan detik menunggu vonis. “Baiklah, sayang. Aku akan datang. Kita makan siang bersama.” Senyuman melengkung di wajah Sera. Rasa hangat menjalar di dadanya. “Terima kasih, sayang...” balasnya pelan sebelum menutup telepon, pipinya semakin merah. Jelita hampir melompat dari kursinya. “Aaahh so sweet sekali kalian!" Serunya sambil memeluk wajahnya dengan kedua tangan diatas meja, seperti gadis temaja yang baru saja melihat adegan favoritnya di drama korea. Sera hanya tersenyum malu, tapi dalam hatinya berbisik "Apa dia benar-benar mulai menyukaiku?" . . Cukup lama Sera dan Jelita menunggu kedatangan Sebastian, Aroma kopi hangat dan denting gelas menjadi latar obrolan ringan mereka, diselingi tawa kecil yang terdengar samar di antara riuhnya pelanggan lain. Beberapa kali Sera melirik ke arah pintu, memastikan kalau Sebastian benar-benar akan datang menemuinya. Lalu tidak lama kemudian, sebuah mobil tampak berhenti di depan kafe. Sera sangat mengenali kendaraan itu bahkan sebelum pengemudinya turun. Senyumnya merekah, Sebastian benar-benar mengunjunginya. Ia segera berdiri, melangkah keluar untuk menyambut suaminya dengan senyum yang paling manis menurutnya. “Terima kasih sudah datang,” ucap Sera begitu Sebastian menghampirinya. Tanpa sadar tangannya sudah menggandeng lengan pria, seolah takut ia akan pergi lagi. “Maaf ya... temanku mendadak datang. Tidak apa-apa kan kalau dia ikut makan bersama kita?” Tatapannya penuh harap, namun tenang. Sebastian mengangguk pelan, lalu tangannya terangkat, mengelus lembut pipi istrinya. “Tidak apa-apa, sayang,” jawabnya pelan. Sera tertegun sejenak, seperti tersentuh oleh kelembutan yang begitu sederhana, namun berarti besar baginya yang tSera. Sera tersenyum bahagia Dari balik kaca kafe, Jelita menyaksikan semuanya. Tatapan Sebastiran, sentuhannya, cara ia menyebut Sera sayang membuat Jelita merasa ikut bahagia… meski tak bisa disangkal, ada sedikit rasa iri yang berbisik di hatinya. Bukan iri karena Sera memiliki Sebastian, tapi karena sahabatnya merasakan cinta yang perlahan menjadi nyata. Sebastian masuk ke dalam kafe bersama Sera. Dengan senyum yang sopan, Sera memperkenalkan sahabatnya. “Sebastian, ini Jelita, sahabatku sejak awal kuliah.” Sebastian mengangguk dan menjabat tangan Jelita dengan ramah. “Terima kasih sudah menemani istri saya hari ini.” Perkenalan sederhana itu cukup membuat hati Sera lega. Suaminya yang selama ini terasa cuek, kini bersedia hadir, bahkan memberi ruang bagi orang-orang yang penting dalam hidupnya. Dan saat itu, Sera semakin yakin jika Sebastian adalah yang terbaik untuknya. Sera meyakini jika Sebastian merasakan perasaan yang sama dengannya yaitu membuka hati dan mulai mencintai. Bersambung. . . Jangan lupa tinggalkan jejak kawan Terimakasih“Waaah, sepertinya setelah Sera dan Sebastian bercerai, dia melupakan kita, Mike,” sindir Vincent, Mike hanya mengangguk sambil mencibir Aiden tetap cuek, seolah tak mendengar apa pun, ia sibuk bersiap sampai lupa pada sarapannya “Sarapan pun dilewatkan demi si pujaan hati,” sindir Mike lagi “Aku akan membawa Sera ke rumah sakit pagi ini, untuk memeriksa kandungannya,” ucap Aiden sambil merapikan jam tangannya “Kau jangan lupa, Bella akan segera datang, berhati-hatilah,” ujar Vincent mengingatkan sambil menikmati sarapannya “Ya, aku setuju, jangan sampai Sera jadi korban lagi,” sambung Mike menegaskan “Menurutku, lebih baik kau saja yang mengunjungi Bella, sebelum Bella yang datang menemuimu. Kalau dia tahu soal kau dan Sera, itu bisa berbahaya bagi Sera,” tambah Vincent Aiden menghela napas panjang, ia tahu ucapan sahabat-sahabatnya benar. Bella bisa saja menimbulkan masalah besar untuk Sera “Baiklah, terima kasih...Aku akan memikirkannya,” jawab Aiden singkat, la
Sebastian menghela nafasnya, ia harus siap menerima cacian dari Papa, keinginan Papa tidak terwujud untuk membawa Sera kembali ke rumahnya "Putusan sidang sudah keluar Pa, aku..." mulut Sebastian terasa kaku "Aku sudah resmi bercerai" Sebastian menunduk takut, makan malam yang di depannya sama sekali tidak tersentuh Treng.... Bunyi sendok dan garpu beradu di piring, selera makan Papa sudah lenyap "Mengurus satu wanita saja tidak becus" ucap Papa tajam lalu pergi meninggalkan meja makan Mama dan Olivia hanya menatap kepergian Papa, sementara Sebastian hanya menunduk lalu ikut pergi meninggalkan Mama dan Olivia "Perempuan itu....selalu menimbulkan masalah" Mama menggerutu kesal, melihat perseteruan ayah dan anak itu "Aku akan memberinya pelajaran Ma..berani-beraninya dia membuat keluarga kita tercoreng" ucap Olivia dengan nada yang penuh amarah "Tapi ingat..kamu harus hati-hati" Olivia mengangguk mendengar peringatan Mama . . Di sebuah apartemen Sebastian merebah
Dua minggu berlalu, Sebastian selalu datang ke pengadilan untuk bertemu Sera, sejak ia menyakiti Sera di rumah tempo hari Aiden selalu menghalangi pertemuannya dengan Sera Sebastian selalu hadir dalam persidangan guna untuk mediasi namun sayang, Sera tidak pernah hadir dan sampailah hari ini adalah hasil akhir dari sidang perceraian mereka Sebastian masih berusaha untuk membujuk Sera namun Sera enggan untuk menatapnya, hakim menerima gugatan Sera dengan bukti yang kuat hakim juga mengabulkan perceraian mereka Sera tersenyum lega mendengar putusan hakim, kini ia bebas dari rasa sakitnya, walaupun belum benar-benar terbebas karena ia tahu, Sebastian pasti akan selalu menghantuinya Setelah putusan hakim selesai Sebastian mendatangi Sera. "Aku menyesal dan aku ingin memperbaiki semuanya Sera, aku harap kamu bisa menerimaku kembali" Sera diam seolah tak peduli "Sudahlah, semua sudah berlalu, Papa hargai penyesalanmu, semoga kau bisa dapat yang lebih baik" Papa menepuk pundak Seba
Aiden menyambut pagi itu dengan ceria. Hidupnya terasa lebih berwarna, apalagi dengan status Sera yang sebentar lagi menjadi janda, itu membuatnya lebih leluasa untuk mendekati Sera. Ia tidak perlu lagi menjaga jarak, namun tetap harus menjaga nama baik Sera dan keluarganya, dikarenakan status perceraian Sera belum resmi, ia tak akan memperkeruh suasana dengan sikap yang terlalu mencolok. Hari ini, dan seterusnya, ia sudah berniat menjemput Sera setiap pagi untuk pergi ke kantor bersama. Dengan senyum yang tidak bisa ia sembunyikan, ia bersiap dan pergi "Apa aku harus menghubunginya dulu?" gumam Aiden lirih sambil menatap ponselnya Lalu ia menggeleng pelan. "Ah, tidak perlu. Lebih baik aku langsung datang ke rumahnya" Langkahnya terasa ringan, seolah tak sabar untuk segera tiba, tak lama kemudian mobilnya berhenti di depan rumah Sera. Namun alisnya langsung berkerut saat melihat sebuah mobil lain sudah terparkir di sana "Mobil siapa ini?" batinnya heran Ia turun dan mela
"Sera…” Aiden mengetuk pintu kamar Sera, namun tidak ada jawaban “Sera…” panggilnya lagi, kali ini nadanya lebih dalam. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya “Sera… buka pintunya! Kamu tidak apa-apa?” suara Aiden meninggi, penuh kecemasan Ceklek… Pintu terbuka, menampakkan sosok Sera. Aiden langsung menghela napas panjang, wajah tegangnya seketika berubah menjadi lega “Kenapa lama sekali membuka pintu?” tatapan Aiden menelusuri wajah Sera, begitu lekat “Memangnya kenapa? Aku dari kamar mandi,” jawab Sera cuek sambil berjalan santai menuju sofa “Apa perutmu sudah membaik? Apa kita perlu ke rumah sakit?” Aiden berdiri tepat di hadapannya, menunggu jawaban Sera menggeleng, menghindari tatapan Aiden “Tidak perlu, sakitnya sudah hilang,” “Syukurlah… tunggu di sini sebentar.” Aiden segera berbalik dan keluar. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa sesuatu Aiden dengan santai masuk ke dapur rumah Sera, seolah itu adalah rumahnya sendiri. Sera memperhatikannya hera
Sepi… sunyi… Begitulah suasana di rumah Sebastian. Sama seperti biasanya, dingin tanpa kehidupan. Tidak ada interaksi yang berarti, apalagi kehangatan keluarga. Di sana hanya ada satu hal yang selalu dibicarakan yaitu selalu soal bisnis. “Abraham sudah bertekad menceraikan Sera darimu,” ucap Papa dengan suara dingin, suaranya menggema, membuat seisi rumah seketika diliputi rasa takut. “Maafkan aku, Pa…” hanya itu yang mampu keluar dari mulut Sebastian “Kau harus terus membujuk Sera sebelum surat cerai itu berada di tanganmu,” Papa menatapnya tajam. Kedua tangannya mengepal. “Kau hanya tinggal selangkah lagi, tapi kau malah mengacaukannya terlalu cepat. Seandainya kau sedikit lebih bersabar, perusahaan Abraham sudah bisa kau kuasai!” “Aku akan berusaha, Pa…” Sebastian menunduk, menelan pahitnya kenyataan. Ia tidak punya pilihan selain mengikuti keinginan ayahnya. Bagaimanapun, tujuan awal mereka tetap sama menjadikan perusahaan Abraham miliknya, lewat Sera. . . Pag