LOGINSore itu, Sera tiba di rumah orang tuanya dengan taksi online. Bukan ke rumahnya bersama Sebastian, melainkan ke rumah tempat ia dibesarkan.
"Ma, aku pulang," ucap Sera sambil memeluk mamanya erat. "Sera, sayang?" Mama menatapnya kaget dan heran. Matanya refleks melirik ke arah pintu, seolah menanti sosok lain muncul di belakang putrinya. "Kamu sendirian? Apa Sebastian tau kamu mampir ke rumah mama?" Sera hanya menggeleng pelan "Aku baru pulang dari kampus ma" jawab Sera sambil duduk di sofa, melepas napas panjang. "Aku mau mengambil mobil ma, repot sekali kalau harus kemana-kemana. Tadi saja aku terpaksa pergi bareng adik iparku." Mama mengangguk pelan, masih terlihat khawatir. "Kalau begitu pergilah dan habis itu kamu harus segera pulang. Kalau Sebastian pulang dan tidak menemukanmu di rumah, nanti bisa jadi masalah." Sambil tersenyum, Mama menyerahkan kunci mobil ke tangan putrinya. Sera merengut kecil. "Ya ampun, Mama... baru juga sampai, udah disuruh pulang lagi." "Aku ini anak mama apa bukan sih?" Sambung Sera merajuk. Mama hanya tersenyum dan mencium lembut puncak kepala Sera. "Istri yang baik itu harus nurut dan melayani suami. Hati-hati ya, Sayang." Sera hanya bisa mendesah pelan, lalu berdiri dan melangkah keluar rumah. Wajahnya cemberut, sementara di belakangnya, Mama tetap tersenyum lebar sambil melambaikan tangan, mengantarnya pergi dengan pandangan penuh kasih. . . Sesampainya di rumah, Sera melihat mobil yang biasa dipakai Sebastian sudah terparkir rapi di halaman. “Dia sudah pulang? Cepat sekali,” gumamnya, setengah kaget. Sera melangkah masuk dan menaiki anak tangga perlahan. Tidak ada siapa pun di ruang keluarga. Rumah itu terasa sunyi, hanya suara langkahnya yang terdengar memantul di dinding. “Benar-benar sepi…” batinnya, merasa sedikit asing di rumah yang kini ia tinggali sebagai istri. Ceklek. . . Pintu kamar terbuka, menampakkan Sebastian yang baru saja selesai mandi. Ia melirik sekilas sambil menyisir rambut didepan cermin “Kamu dari mana? Kenapa tidak memintaku untuk menjemputmu?” tanyanya datar, namun nada suaranya menyimpan kekhawatiran. “Aku dari rumah Mama... mengambil mobilku,” jawab Sera tenang. Ia mengangkat ponselnya dan tersenyum pahit. “Dan aku... tidak punya nomor ponselmu.” Sebastian menatapnya dalam diam, lalu berjalan mendekat. Ia mengambil ponsel dari tangan Sera, menekan beberapa tombol, dan menyerahkannya kembali. Layar ponsel itu menunjukkan satu nama yang baru saja ia simpan dengan nama: Suamiku. Sera tertegun sejenak, lalu tersenyum malu. “Karena kamu tidak menyimpan nomorku,” ucap Sebastian sambil makin mendekat, “maka kamu harus…” Ia tidak menyelesaikan kalimatnya. Bibirnya sudah menyentuh bibir Sera, lembut. Sebuah ciuman yang tidak hanya menyambung komunikasi mereka, tapi juga menyambung hati yang sempat terasa jauh. Dalam diam, mereka saling menerima. Entah cinta itu tumbuh dari rasa, kewajiban, atau perlahan karena kebersamaan... tapi sore itu, kehangatan mulai merayap masuk ke dalam rumah yang tadinya terasa sepi. . . Makan malam kembali mempertemukan mereka di meja makan yang besar, lagi-lagi ruangan ya g besar itu terasa sunyi. Tidak ada percakapan hangat, hanya obrolan bisnis yang bergulir di antara para pria, yang terdengar seperti siaran radio asing di telinga Sera. Setelahnya, semua kembali ke kamar masing-masing. Sama sekali tidak ada interaksi, begitu juga Sebastian, ia kembali sibuk di depan laptop. Jari-jarinya bergerak lincah di atas keyboard, wajahnya serius, tak terganggu apa pun. Sera hanya duduk di tepi ranjang, menatapnya dalam diam. Sejenak ia menghela napas, lalu berdehem pelan, mencoba mencairkan suasana dan berharap ada obrolan hangat malam ini. Tapi Sebastian tetap fokus. Bahkan suara deheman itu tak mampu mengalihkan pandangannya dari layar. “Sebastian…” Sera memberanikan diri. Ia bangkit dan duduk di sofa di sebelah suaminya. Sebastian hanya melirik sekilas tanpa berucap apapun. Sera berucap ragu, ia takut jika itu akan menyinggung Sebastian “Apa... kalian memang jarang mengobrol?” tanyanya, tanpa basa-basi. Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Tak ada niat menyindir, hanya sebuah keheranan dari seorang perempuan yang baru masuk ke dalam ritme keluarga yang terasa asing. Tatapan mata Sebastian menajam. Diamnya membuat Sera gugup, mata Sera berkedip cepat, Ia masih belum memahami sepenuhnya, lelaki ini bisa sangat lembut... tapi juga bisa begitu dingin seperti tak tersentuh. “Kami bicara kalau ada yang perlu dibicarakan" jawabnya singkat, datar. Seolah itu hal yang lumrah. Seolah kehangatan dalam keluarga adalah hal yang tak penting untuk diperjuangkan. Sera menunduk. Dalam diamnya, ia sadar rumah ini besar, mewah, penuh kesuksesan… tapi entah mengapa, terasa kosong dan hampa. Sera duduk termenung, ia merindukan kehangatan rumah lamanya, tawa yang mengisi ruangan, obrolan ringan di sore hari, bahkan suara televisi yang menyala sebagai latar kebersamaan. Di rumah keluarga Sebastian, Sera merasa seperti kehilangan dirinya sendiri. Semuanya tampak asing… sunyi… dan dingin. Ia kesepian, ia tak lagi ceria, ia lebih banyak diam dan berpikir sendiri. Tak ada teman bicara, tak ada pelukan ibu yang menenangkan. Yang ia lihat hanya suaminya, yang selalu sibuk dalam pekerjaannya. Anehnya, saat waktu makan tiba, mereka semua akan muncul. Seolah terpanggil oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sera menarik napas panjang. Ia membiarkan pikirannya tenggelam dalam diam, membayangkan betapa berbeda hidupnya kini. "Aku istirahat dulu, kamu jangan terlalu lama bekerja, istirahatlah" ucap Sera lembut memegang pelan tangan suaminya Sebastian hanya mengangguk singkat tanpa mengalihkan pandangan. Sera menatapnya sejenak, berharap akan ada kata-kata manis atau kecupan selamat tidur yang menenangkannya. Tapi semua itu tidak ada. Tanpa suara, Sera melangkah menuju tempat tidur. Sepi kembali menyelimuti dirinya dan rumah itu. Bersambung. . . Jangan lupa tinggalkan jejak kawan TerimakasihSera sedang sibuk bekerja. Ia begitu fokus pada layar di depannya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan sebelum hari pernikahannya tiba. Tanggal pernikahan semakin dekat, dan makin hari ia semakin takut tidak bisa membagi waktu dengan baik. Di satu sisi pekerjaannya menumpuk, di sisi lain ia harus memastikan segalanya berjalan sesuai keinginannya. Ia ingin hari itu sempurna. Sementara itu di lobby kantor, suasana memanas. Bella dan asistennya tampak berdebat dengan resepsionis. “Maaf, Bu. Saya tidak boleh mengizinkan siapa pun naik ke ruangan Pak Aiden,” ujar receptionist sopan. “Kau tidak tahu siapa aku? Aku tunangan Aiden!” Bella mengangkat dagunya angkuh, seolah-olah seluruh dunia harus tunduk kepadanya. “Maaf, Bu. Tapi Pak Aiden sedang tidak di tempat. Hanya sekretarisnya, Ibu Sera yang berada di kantor,” jawab receptionist tetap lembut. “Kalau begitu, aku akan bertemu sekretarisnya. Di mana ruangannya?” Bella masih saja berbica
Sore itu, Aiden tiba di rumah Sera bersama kedua orang tuanya. Ia sengaja tidak memberi kabar lebih dulu, ia tahu, sebentar lagi Sera pasti akan tiba di rumah. “Om, Tante… perkenalkan, ini orang tua saya,” ucap Aiden sopan. Papa dan Mama menyambut hangat calon besan mereka dengan senyum penuh keramahan. Mereka pun saling berkenalan, bertukar sapa, dan berbincang hangat. Daddy membuka percakapan dengan nada bersahabat. “Niat kami datang ke sini adalah untuk melamar putri Bapak. Kami bahagia mendengar kalau anak kami sudah menemukan wanita yang ia cintai.” Papa mengangguk pelan, lalu menarik napas sebelum berbicara. “Tapi mohon maaf, Pak, saya ingin bercerita sedikit tentang anak saya… dan kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya hanya ingin semuanya jelas, agar tidak ada hal yang membebani mereka di kemudian hari.” Daddy dan Mommy saling berpandangan, lalu mengangguk penuh pengertian. Mereka menghargai ketulusan Papa yang ingin terbuka. Papa pun mulai menceritakan semuanya,
Aiden akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ia pulang dengan satu tujuan, yaitu memberi kabar kepada kedua orang tuanya bahwa ia akan menikah. Dalam hati, ia berharap kabar ini membawa kebahagiaan bagi mereka. “Morning, Dad... morning, Mom,” sapanya hangat. “Aiden…” seperti biasa, Mommy langsung menyambutnya dengan pelukan penuh rindu, mencium pipinya seperti anak kecil yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Selalu saja pulang tanpa memberi kabar,” Mommy menepuk dada putranya lembut. Aiden terkekeh, lalu kembali memeluk Mommy lama-lama, sebelum merangkul Daddy yang sudah menatapnya dengan senyum tenang. “Apa kabar, Nak?” tanya Daddy. “Aku sangat baik, Dad. Dan... aku membawa kabar gembira,” ucap Aiden sambil tersenyum melihat dua orang yang paling ia sayangi. Mommy mulai menyiapkan sarapan untuk kedua lelaki kesayangannya. “Berita apa, sayang?” tanyanya sambil menuangkan kopi. “Aku ingin menikah, Mom. Dad.” Mommy langsung menatapnya antusias. “Benarkah? Dengan siapa?
“Aku akan bicara pada Mama dan Papa,” ucap Aiden begitu mereka tiba di rumah. Sera hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, Aiden melangkah masuk ke ruang tamu rumah Sera. “Maaf, Om, Tante... ada yang ingin saya bicarakan,” ujarnya sopan. Papa dan Mama Sera menatap Aiden penuh tanya. “Maaf kalau Aiden lancang, Om,” lanjutnya sambil menarik napas panjang. Aiden menggenggam kedua tangannya sendiri, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan. “Saya... ingin menikahi Sera, Om, Tante.” Ucapan itu menggantung di udara. Papa dan Mama saling berpandangan, terdiam cukup lama. Mama akhirnya bersuara pelan, “Apa tidak sebaiknya menunggu sampai ingatannya pulih? Tante takut kalau nanti, saat Sera sudah benar-benar ingat, dia tidak bisa menerima semuanya.” Sera segera menyela, tak ingin Aiden disalahpahami. “Aiden sudah menceritakan semuanya, Ma. Aku sudah tahu kalau aku seorang janda... dan Leo adalah anakku. Meskipun aku belum mengingat semuanya, se
Sera tiba-tiba menangis, membuat Aiden panik. “Aku seperti merindukan seseorang, Aiden…” suaranya lirih, bergetar. Aiden tak tahu harus berbuat apa selain memeluknya erat, mencoba menenangkan isak tangis itu. “Apa dia menyakitiku? Kenapa hatiku sakit sekali?” Sera terisak di dada Aiden. “Tidak, sayang… dia tidak pernah menyakitimu,” ucap Aiden lembut. Sera menunduk, matanya menatap papan nama di makam di hadapannya. Sejak tadi pikirannya dipenuhi ribuan potongan kenangan yang tak bisa ia tangkap utuh. “Leonard Maximus… apa dia anak kita?” tanyanya pelan, menatap Aiden dengan mata sembab. Aiden menggeleng pelan. “Dia anakmu… tapi bukan denganku.” “Maksudmu… apa aku sudah menikah?” Sera spontan menjauh dari pelukan Aiden, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Lebih tepatnya, kau sudah janda, sayang,” ujar Aiden lembut. Sera terdiam, menatap kosong ke arah nisan kecil itu. “Aku akan menceritakan semuanya nanti, kalau kau sudah siap,” lanjut Aiden, ia mengusap permukaa
Dua hari telah berlalu, dan hari ini adalah hari pernikahan Sebastian dan Naomy. Mereka mengucap janji suci di rumah orang tua Sebastian, disaksikan hanya oleh keluarga inti. Sebastian tampak sangat bahagia. Wajahnya bersinar penuh semangat saat memperkenalkan Naomy kepada keluarga besarnya, sangat berbeda dengan Sera dulu yang selalu terlihat tenang, bahkan sedikit cuek. Malam harinya, Papa dan Mama Sebastian meminta pasangan itu untuk bermalam di rumah. Namun Naomy menolak halus, terutama ketika Sebastian mengajaknya ke kamar lamanya. “Aku tidak mau tidur di kamarmu yang dulu... yang pernah kau tempati bersama Sera,” ucap Naomy dengan bibir yang sedikit manyun. Bayangan masa lalu suaminya dengan wanita lain membuat dadanya sesak. Sebastian tersenyum lembut, merengkuh istrinya dalam pelukan. “Ini malam bahagia kita, sayang. Jangan mengingat siapa pun selain aku. Dia sudah lama aku buang jauh-jauh.” Naomy menghela napas dan mengangguk. Pelan, ia membalas pelukan itu. “Akhirnya ki







