로그인Hari ini, Sera tampak luar biasa, kecantikannya memukau. Balutan kebaya modern berwarna lembut menyatu sempurna dengan riasan natural di wajahnya. Rambutnya disanggul sederhana, tapi justru itulah yang membuatnya terlihat anggun.
Sebastian berdiri di ambang pintu kamar, menatap istrinya dengan senyum lembut. Tangannya terulur kemudian menggenggam tangan istrinya. “Kamu sangat cantik hari ini,” ucapnya, tulus. Sera tersenyum tersipu malu, sementara kedua matanya menunduk pelan, menahan gejolak rasa di dada. Tanpa banyak bicara, Sebastian melangkah pelan, membuka pintu lemari pakaiannya, dan mengambil sebuah kotak beludru merah berukuran sedang. Ia kembali menghampiri Sera. “Ini hadiah untukmu. Selamat telah menyandang gelar sarjana, Sayang,” Sebastian mengecup lembut puncak kepala Sera. Dengan hati-hati, Sera membuka kotak itu dan matanya membesar seketika. Di dalamnya terdapat sebuah kalung berlian yang sederhana, tapi begitu indah dan elegan. Sebastian mengambil kalung itu, lalu memakaikannya perlahan di leher istrinya. Setelah selesai, ia memegang tangan Sera dan menuntunnya ke depan cermin. “Lihat, Kecantikanmu meningkat seratus kali lipat.” Ucap Sebastian dengan nada bercanda Sera tak bisa menahan tawa. “Berlebihan,” Sera memukul pelan dada Sebastian “Aku tidak berlebihan sayang, kamu memang sangat cantik,” balas Sebastian cepat, ia memeluk Sera dari belakang “Ini bukan soal kalungnya. Kamu memang selalu cantik, tapi hari ini… kamu bersinar.” Sera tersenyum manis, ia menatap suaminya dari pantulan mereka di cermin, tangannya mengusap tangan suaminya yang melingkar di pinggangnya, rasanya Sera ingin mengabadikan momen bahagia ini selamanya. Sebastian menggandeng tangan Sera saat menuruni anak tangga bersama. Gaun kebaya Sera dengan lembut mengikuti langkah kakinya dan senyum tak luput dari wajahnya. Sesampainya di bawah, seluruh keluarga sudah berkumpul. Senyum mama langsung menyambut, matanya berbinar bangga melihat menantunya yang kini telah resmi menjadi seorang sarjana. “Kamu cantik sekali, Sayang,” puji mama sambil membenarkan sedikit rambut Sera. Papa pun mengangguk setuju. “Kamu dan Olivia sama-sama membanggakan" Sera membalas senyuman itu dengan sopan, tak lupa ia mengucapkan terima kasih kepada mertuanya. Mama juga memuji anak bungsunya, tetapi saat mama melanjutkan pujian untuk Olivia, ada jarak yang tak terlihat namun terasa di antara kata-kata itu. Olivia melangkah duluan dengan dagu terangkat tinggi. Di saat yang sama, Sebastian melepaskan genggaman tangannya dari Sera, membuat Sera tiba-tiba merasa kehilangan sesuatu. Ia jadi kikuk. “Aku mengundang Naomy ke wisudaku,” ucap Olivia tiba-tiba, nada suaranya ringan, seolah tak ada yang aneh dengan ucapannya. Tidak ada yang menanggapi. Papa dan mama diam, Sebastian pun tak berkata apa pun, seolah nama itu adalah tamu biasa, bukan bagian dari masa lalu suaminya. Sera hanya terdiam, walau di dalam hatinya ada rasa getir yang mulai naik ke dada. Saat mereka berjalan ke arah mobil, tiba-tiba ponsel Sera bergetar. Ada sebuah pesan masuk, sera menunduk sekilas untuk melihatnya. “Selamat wisuda, Sera," "Aku akan mengunjungimu." – Aiden - Napas Sera tercekat, jantungnya seolah tersentak, wajahnya seketika pucat, dengan gerakan cepat, ia mengunci layar dan menyelipkan ponselnya kembali ke dalam tas. Tidak, Ini bukan waktunya, Ia tak ingin siapa pun tahu, Terutama Sebastian. Ia menarik napas pelan, berusaha menenangkan diri, Ia tersenyum kecil, mencoba terlihat biasa. Namun di dalam hatinya, ada suara yang berteriak "Kenapa semuanya datang di hari bahagiaku?" Mobil melaju cepat, membawa serta kegelisahan di hati Sera, ia hanya bisa berharap, wisudanya hari ini akan berjalan lancar dan menjadi hari yang membahagiakan. . . Hari ini yang seharusnya menjadi salah satu momen paling membahagiakan di hati sera, justru menjadi momen yang paling mengguncang batinnya. Untuk pertama kalinya, ia melihat langsung sosok Naomy, wanita masa lalu yang dicintai suaminya. Naomy memang sangat cantik, kecantikannya memikat tanpa polesan yang berlebihan. Ia membawa dirinya dengan elegan, penuh percaya diri, dan sorot matanya tajam. Bahkan saat tersenyum pun, ada kesan kuat bahwa ia tahu persis di mana tempatnya berdiri, dekat dengan keluarga Sebastian, dan mungkin saja masih dekat dengan hati Sebastian. Sebastian memperkenalkan Naomy dengan tenang. Sera membalasnya dengan senyum sopan dan suara lembut, seolah tak ada yang mengganggu pikirannya. Tapi di dalam dadanya, ada keresahan yang mendesak keluar. "Kenapa haris Sebastian yang mengenalkan kami? Kenapa bukan olivia?" Sera membatin, dadanya sesak, rasanya ada sesuatu hal yang tak ia ketahui dari keluarga barunya. Sebelum acara dimulai, mereka mengobrol ringan, Mama Clara terlihat sangat akrab dengan Naomy, tertawa kecil sambil menggandeng tangannya, seolah mereka keluarga lama. Papa pun demikian, sementara Olivia tak berhenti menatap Sera dengan senyum penuh makna.ip Dan saat Sera melirik ke arah suaminya, kenyataan yang menyesakkan dada muncul tiba-tiba. Pandangan Sebastian dan Naomy sering kali bersirobok. Sekilas, memang terlihat biasa, tapi di mata Sera, itu bukan sekadar tatapan. Itu adalah kilasan masa lalu yang belum selesai. Seketika, tanpa berpikir panjang, Sera mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Sebastian yang ada di sampingnya. Bukan karena ingin bermanja. Tapi untuk menunjukkan, khususnya pada Naomy, bahwa Sebastian adalah suaminya, sebastian adalah miliknya dan ia bukan sekadar tamu dalam rumah tangga ini. Sebastian menoleh, sempat terkejut, namun kemudian tersenyum. Senyum lembut yang seolah berkata "Tenang saja." Dan untuk sejenak, Sera merasa menang. Merasa diakui, ia membalas senyuman suaminya. Tapi di balik genggaman itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh di dalam hatinya. Ia sadar… bahwa ia mulai jatuh cinta pada Sebastian. Perlahan tapi pasti, dan justru karena itulah ia mulai takut. Naomy… terasa seperti ancaman besar bagi cintanya. Bersambung. . . Jangan lupa tinggalkan jejak teman TerimakasihSera sedang sibuk bekerja. Ia begitu fokus pada layar di depannya, jari-jarinya menari cepat di atas keyboard. Ada banyak hal yang harus ia selesaikan sebelum hari pernikahannya tiba. Tanggal pernikahan semakin dekat, dan makin hari ia semakin takut tidak bisa membagi waktu dengan baik. Di satu sisi pekerjaannya menumpuk, di sisi lain ia harus memastikan segalanya berjalan sesuai keinginannya. Ia ingin hari itu sempurna. Sementara itu di lobby kantor, suasana memanas. Bella dan asistennya tampak berdebat dengan resepsionis. “Maaf, Bu. Saya tidak boleh mengizinkan siapa pun naik ke ruangan Pak Aiden,” ujar receptionist sopan. “Kau tidak tahu siapa aku? Aku tunangan Aiden!” Bella mengangkat dagunya angkuh, seolah-olah seluruh dunia harus tunduk kepadanya. “Maaf, Bu. Tapi Pak Aiden sedang tidak di tempat. Hanya sekretarisnya, Ibu Sera yang berada di kantor,” jawab receptionist tetap lembut. “Kalau begitu, aku akan bertemu sekretarisnya. Di mana ruangannya?” Bella masih saja berbica
Sore itu, Aiden tiba di rumah Sera bersama kedua orang tuanya. Ia sengaja tidak memberi kabar lebih dulu, ia tahu, sebentar lagi Sera pasti akan tiba di rumah. “Om, Tante… perkenalkan, ini orang tua saya,” ucap Aiden sopan. Papa dan Mama menyambut hangat calon besan mereka dengan senyum penuh keramahan. Mereka pun saling berkenalan, bertukar sapa, dan berbincang hangat. Daddy membuka percakapan dengan nada bersahabat. “Niat kami datang ke sini adalah untuk melamar putri Bapak. Kami bahagia mendengar kalau anak kami sudah menemukan wanita yang ia cintai.” Papa mengangguk pelan, lalu menarik napas sebelum berbicara. “Tapi mohon maaf, Pak, saya ingin bercerita sedikit tentang anak saya… dan kesalahan yang pernah saya lakukan. Saya hanya ingin semuanya jelas, agar tidak ada hal yang membebani mereka di kemudian hari.” Daddy dan Mommy saling berpandangan, lalu mengangguk penuh pengertian. Mereka menghargai ketulusan Papa yang ingin terbuka. Papa pun mulai menceritakan semuanya,
Aiden akhirnya tiba di kota kelahirannya. Ia pulang dengan satu tujuan, yaitu memberi kabar kepada kedua orang tuanya bahwa ia akan menikah. Dalam hati, ia berharap kabar ini membawa kebahagiaan bagi mereka. “Morning, Dad... morning, Mom,” sapanya hangat. “Aiden…” seperti biasa, Mommy langsung menyambutnya dengan pelukan penuh rindu, mencium pipinya seperti anak kecil yang baru kembali dari perjalanan jauh. “Selalu saja pulang tanpa memberi kabar,” Mommy menepuk dada putranya lembut. Aiden terkekeh, lalu kembali memeluk Mommy lama-lama, sebelum merangkul Daddy yang sudah menatapnya dengan senyum tenang. “Apa kabar, Nak?” tanya Daddy. “Aku sangat baik, Dad. Dan... aku membawa kabar gembira,” ucap Aiden sambil tersenyum melihat dua orang yang paling ia sayangi. Mommy mulai menyiapkan sarapan untuk kedua lelaki kesayangannya. “Berita apa, sayang?” tanyanya sambil menuangkan kopi. “Aku ingin menikah, Mom. Dad.” Mommy langsung menatapnya antusias. “Benarkah? Dengan siapa?
“Aku akan bicara pada Mama dan Papa,” ucap Aiden begitu mereka tiba di rumah. Sera hanya tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat kemudian, Aiden melangkah masuk ke ruang tamu rumah Sera. “Maaf, Om, Tante... ada yang ingin saya bicarakan,” ujarnya sopan. Papa dan Mama Sera menatap Aiden penuh tanya. “Maaf kalau Aiden lancang, Om,” lanjutnya sambil menarik napas panjang. Aiden menggenggam kedua tangannya sendiri, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tidak beraturan. “Saya... ingin menikahi Sera, Om, Tante.” Ucapan itu menggantung di udara. Papa dan Mama saling berpandangan, terdiam cukup lama. Mama akhirnya bersuara pelan, “Apa tidak sebaiknya menunggu sampai ingatannya pulih? Tante takut kalau nanti, saat Sera sudah benar-benar ingat, dia tidak bisa menerima semuanya.” Sera segera menyela, tak ingin Aiden disalahpahami. “Aiden sudah menceritakan semuanya, Ma. Aku sudah tahu kalau aku seorang janda... dan Leo adalah anakku. Meskipun aku belum mengingat semuanya, se
Sera tiba-tiba menangis, membuat Aiden panik. “Aku seperti merindukan seseorang, Aiden…” suaranya lirih, bergetar. Aiden tak tahu harus berbuat apa selain memeluknya erat, mencoba menenangkan isak tangis itu. “Apa dia menyakitiku? Kenapa hatiku sakit sekali?” Sera terisak di dada Aiden. “Tidak, sayang… dia tidak pernah menyakitimu,” ucap Aiden lembut. Sera menunduk, matanya menatap papan nama di makam di hadapannya. Sejak tadi pikirannya dipenuhi ribuan potongan kenangan yang tak bisa ia tangkap utuh. “Leonard Maximus… apa dia anak kita?” tanyanya pelan, menatap Aiden dengan mata sembab. Aiden menggeleng pelan. “Dia anakmu… tapi bukan denganku.” “Maksudmu… apa aku sudah menikah?” Sera spontan menjauh dari pelukan Aiden, menghapus air matanya dengan punggung tangan. “Lebih tepatnya, kau sudah janda, sayang,” ujar Aiden lembut. Sera terdiam, menatap kosong ke arah nisan kecil itu. “Aku akan menceritakan semuanya nanti, kalau kau sudah siap,” lanjut Aiden, ia mengusap permukaa
Dua hari telah berlalu, dan hari ini adalah hari pernikahan Sebastian dan Naomy. Mereka mengucap janji suci di rumah orang tua Sebastian, disaksikan hanya oleh keluarga inti. Sebastian tampak sangat bahagia. Wajahnya bersinar penuh semangat saat memperkenalkan Naomy kepada keluarga besarnya, sangat berbeda dengan Sera dulu yang selalu terlihat tenang, bahkan sedikit cuek. Malam harinya, Papa dan Mama Sebastian meminta pasangan itu untuk bermalam di rumah. Namun Naomy menolak halus, terutama ketika Sebastian mengajaknya ke kamar lamanya. “Aku tidak mau tidur di kamarmu yang dulu... yang pernah kau tempati bersama Sera,” ucap Naomy dengan bibir yang sedikit manyun. Bayangan masa lalu suaminya dengan wanita lain membuat dadanya sesak. Sebastian tersenyum lembut, merengkuh istrinya dalam pelukan. “Ini malam bahagia kita, sayang. Jangan mengingat siapa pun selain aku. Dia sudah lama aku buang jauh-jauh.” Naomy menghela napas dan mengangguk. Pelan, ia membalas pelukan itu. “Akhirnya ki







