LOGINKetika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya.
Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya. Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?! "Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella. Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam. “Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh." Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil. Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri. 'Astaga, hidupku yang sudah kacau bakal semakin berantakan kalau begini terus!' Jika ketahuan ibu-ibu komplek, entah gosip apa lagi yang akan ia dengar! Sambil mendesah pelan, Marvella pun hanya bisa menutup pintu dengan pasrah. Langkahnya tampak gontai menuju ke ruang makan, dimana Kenzo, Dastan dan Oreo sudah menunggunya di sana. Pemandangan selanjutnya yang ia lihat, membuat Marvella memicingkan mata saat beradu tatap dengan Dastan. Tapi pria itu masih terlihat santai dan hanya tersenyum tipis ke arahnya. Kenzo berguling-guling di lantai bersama Oreo yang mengikutinya sambil menggonggong pelan. Tawa putranya terdengar riang dan membuat Marvella lagi-lagi hanya bisa menghela napas pelan. Setelah perceraian Marvella dengan ayahnya, Kenzo memang tidak berubah drastis menjadi pendiam atau muram, karena sesungguhnya dia memang anak yang periang. Tapi masalahnya, akhir-akhir ini Kenzo hanya bisa tertawa selepas dan seriang itu jika bersama Oreo. "Jangan bergulingan di lantai, Ken. Kita mau makan malam. Ayo duduk yang rapi," tegur Marvella, seraya melangkah menuju kompor yang tadi ia matikan dulu sebelum membukakan pintu. Dengan patuh, Kenzo pun segera berdiri dan melangkah menuju kursi makan diikuti oleh Oreo. Melihat tingkah hewan itu yang lucu dan menggemaskan, Kenzo pun menghadiahkan usapan lembut di leher Oreo. Dastan melirik wanita cantik bersurai coklat gelap yang sedang sibuk mengaduk saus spaghetti di dalam panci. Marvella terlihat santai dan manis dengan kaus oblong putih lengan pendek dan celana jeans selutut dengan sedikit robekan di paha. Wanita itu mencepol rambutnya dengan jepitan besar bunga, memperlihatkan lehernya yang putih dan jenjang menawan. Marvella. Dastan masih tak percaya jika semesta mempertemukan mereka kembali di sini, setelah sekian tahun tak lagi bersua. Meskipun telah menikah dan memiliki seorang putra, tapi Dastan berpendapat bahwa Marvella tetap menjadi perempuan tercantik yang dulu pernah ia miliki. Sayangnya, kesempatan kedua untuk mendapatkan hatinya kembali pasti sangat sulit. Dulu ia telah melakukan kesalahan hingga akhirnya kehilangan Marvella. Dan sekarang, bahkan ia sendiri pun bisa melihat tatapan kesal Marvella setiap kali melihat dirinya. Dastan lalu memutuskan berdiri dan berjalan ke arah Marvella. "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dari arah belakang, membuat Marvella sedikit terkejut dan sontak menatapnya. "Oh, kebetulan. Kamu bisa mengiris daun parsley?" Marvella menunjuk wadah sayur dengan dagunya. Dastan tersenyum. Tentu saja dia bisa. Malah sebenarnya dia juga cukup lumayan dalam hal memasak, karena bertahun-tahun tinggal seorang diri dan mengurus segalanya sendirian. "Oreo sudah bebas dari kutu," ucap Dastan tiba-tiba sambil mengiris parsley, membuat Marvella menoleh ke arahnya. "Dia juga sudah divaksin lengkap, dan selalu rutin pemeriksaan kesehatan tubuh serta gigi ke dokter. Meskipun badannya besar, tapi dia anjing yang manis, kok." "Terus?" tanya Marvella bingung. "Cuma info sih, agar kamu tenang dan nggak cemas karena dia sering bermain dengan Kenzo." Marvella hanya mengangguk pelan. Meskipun Dastan sudah berkata begitu, namun tetap saja dia tidak serta-merta percaya begitu saja. Oreo adalah hewan pelihara Dastan, tentu saja pria itu akan mengatakan yang baik-baik saja soal anjingnya. "Kamu sudah lama tinggal di rumah sebelah?" akhirnya Marvella kembali berucap, setelah beberapa saat dalam keheningan dan mereka berdua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. "Lumayan. Sejak pulang dari Australia tiga tahun yang lalu," sahut Dastan. Marvella hanya mengangguk tipis. Ia sudah merasa percakapan ini terlalu berbahaya. Topik tentang masa lalu seperti ranjau yang bisa meledak jika sekali saja tersentuh. Tiba-tiba terdengar suara berisik dari ruang makan yang mendistraksi keheningan antara Marvella dan Dastan. “Eh?!” Kenzo berteriak kecil. “Ma! Om! Oreo naik ke atas kursi!” Marvella sontak menolehkan wajahnya. Dan benar saja, si husky besar itu sudah berhasil menaruh kedua kaki depannya di atas kursi makan, lalu menjulurkan lidahnya tepat ke arah piring spageti yang belum diberi saus dan masih mengepul harum di meja. “Oreo! Turun!” Dastan berteriak sambil buru-buru meletakkan pisaunya. Marvella juga reflek berlari meninggalkan kompor. “Astaga, jangan sampai dia~~” Tapi terlambat. Hanya dalam hitungan detik, Oreo sudah berhasil mencicipi satu gulung spageti dari ujung garpu yang diletakkan Kenzo. Kenzo malah ngakak kegirangan melihatnya. “Hahaha! Lihat, Oreo makan spageti, Ma!” Marvella membelalak. “Kenzo, jangan ketawa! Oreo, turun kamu!” Sementara itu, Dastan mencoba menarik kalung anjingnya. Tapi alih-alih patuh, Oreo malah meloncat turun sambil membawa setengah porsi spageti yang tersangkut di mulutnya. “Astaga, itu adalah makan malam kita!” Marvella berseru dan mengejar si anjing Husky yang bandel. “Oreo! Stop!” Dastan berseru sambil ikut mengejar. Anjing besar itu berlari mengitari meja makan dengan spageti bergelantungan dari mulutnya, seperti sedang ikut lomba fashion show. Kenzo semakin terbahak-bahak, bersorak layaknya menonton pertunjukkan komedi langsung di depan matanya. Marvella dan Dastan sama-sama mengitari meja dari arah berlawanan. “Cepat hadang dari sana!” seru Marvella sambil menunjuk arah sebaliknya. “Aku tahu!” balas Dastan. Tapi ternyata, mereka berdua malah bertabrakan keras di sudut meja. BRAK! “Aduh!” Kepala mereka berdua beradu. Marvella meringis sambil memegangi keningnya. Dastan juga menunduk sambil memaki pelan. “Kenapa kamu belok ke arahku, sih?! Aku kan sudah bilang aku dari sini!” omel Marvella. “Kamu yang nggak sesuai koordinasi!” Dastan membalas tak mau kalah. Marvella mendengus, tapi kemudian memutuskan untuk menyuruh putranya daripada dirinya yang bekerja sama dengan Dastan. Lagipula, sepertinya anjing nakal itu lebih menurut kepada Kenzo dibandingkan Dastan. “Kenzo, cepat ambil Oreo sebelum semua spageti habis!” Tapi tentu saja bocah itu bukannya menolong, malah masih terpingkal-pingkal sampai berguling di lantai. “Hahahaaa! Mama sama Om Dastan lucu banget! Kayak Tom and Jerry!” Wajah Marvella pun semakin memanas. Apalagi saat melihat Oreo yang sekarang sudah duduk manis di pojokan, tampak puas dengan wajah dan bulunya yang belepotan spageti. “Cukup!” seru Marvella akhirnya. Ia menunjuk ke arah pintu dengan ekspresi jengkel maksimal. “Dastan. Oreo. Kalian berdua keluar! SEKARANG!” Dastan menahan senyum melihat ekspresi Marvella yang setengah gusar sekaligus menggemaskan. Tapi di sisi lain, ia pun tahu kalau kemungkinan besar Marvella akan melemparnya dengan sandal secara membabi-buta, jika ia masih saja sengaja berlama-lama di sini. Haha. Marvella memang sudah galak sejak dulu, dan sekarang sepertinya berkali lipat lebih galak. “Baiklah, baiklah. Ayo, Oreo.” Dastan kemudian menepuk pahanya untuk memanggil anjingnya. Dan ajaibnya, kali ini Oreo dengan patuh mendekati pria itu tidak seperti sebelumnya, mungkin juga karena spageti di mulutnya telah habis. “Bye, Kenzo,” ucap Dastan sambil melirik sekilas ke arah Marvella. “Terima kasih atas… eh, undangan makan malamnya.” Marvella hanya mendengus, lalu menutup serta mengunci pintu di belakang mereka. ***Marvella pun akhirnya tak tahan. Begitu pertunjukan kembang api itu akhirnya selesai, ia segera melangkah keluar rumah dengan tatapan waspada, takut ada tetangga yang keburu mengintip dan mulai bergosip. Saat langkah Marvella memasuki pagar, Oreo yang antusias langsung menghampirinya sembari menggoyangkan ekor penuh semangat. Sementara Dastan yang baru saja meletakkan batang kembang api terakhir di ember berisi air, terlihat tenang saat menoleh ke arahnya. “Kamu gila, ya? Jam segini bikin pertunjukan kayak gitu?? Kalau ada yang lapor ke satpam komplek gimana?” suara Marvella terdengar ketus, matanya menatap Dastan tajam. Dastan mengangkat sebelah alis. “Tapi yang penting Kenzo senang, kan?” Marvella refleks menoleh ke samping. Dari balik jendela, ia bisa melihat Kenzo masih berjingkrak-jingkrak sambil bertepuk tangan riang. Anak itu tampak lebih hidup dari biasanya. “Bukan gitu intinya,” potong Marvella cepat, mencoba menutup perasaan yang mulai sedikit goyah. “Kamu itu
Kenzo duduk di meja makan sambil menatap Marvella dengan wajah kecewa. “Ma, kok Mama usir Om Dastan? Padahal seru banget tadi. Aku suka kalau Om Dastan dan Oreo ada di sini.” Marvella menghela napas panjang, lalu mengelus kepala anaknya. “Ken, dia itu tetangga, bukan bagian dari keluarga kita. Jangan terlalu dekat, ya.” “Tapi Oreo suka sama aku, dan aku juga suka sama Oreo. Lagian… Om Dastan nggak jahat, kok.” Marvella terdiam. Meski hatinya menolak, tapi dengan mata kepalanya sendiri tadi ia melihat dengan jelas bagaimana Oreo bisa membuat anaknya tertawa sepuas itu. Jarang sekali tawa Kenzo begitu lepas sejak perceraiannya. Wanita itu lalu tersenyum kepada putranya. “Sudah, yuk kita makan dulu. Masih ada sisa spageti di panci.” Beberapa saat kemudian, rumah Marvella akhirnya tenang. Kenzo sedang duduk menonton TV sambil mengunyah sisa spageti. Sementara itu, Marvella menatap piring penuh spageti yang tadi sudah ia susun rapi. Porsinya masih terlalu banyak untuk diri
Ketika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya. Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya. Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?! "Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella. Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam. “Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh." Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil. Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri. 'Astag
Udara pagi di Green Valley Residence terasa lebih segar dibandingkan siang terik kemarin.Aroma rumput basah masih menempel di udara, bercampur dengan suara burung gereja yang hinggap di kabel listrik.Marvella berdiri di dapur mungil rumah barunya, masih mengenakan piyama pink bergambar bunga. Rambut cokelat gelapnya tergerai acak, sementara ia sibuk menyiapkan roti panggang untuk sarapan.“Kenzo, ayo sarapan dulu sebelum Mama telat antar kamu ke sekolah.”Tidak ada jawaban.“Kenzo?” Ia menoleh ke arah ruang tamu yang sepi.Dengan alis mengernyit, Marvella meletakkan pisau selai lalu berjalan keluar ke halaman.Dan benar saja dugaannya.Putra semata wayangnya itu sudah jongkok di rumput bersama Oreo, si anjing husky berbulu putih abu-abu yang terlihat menempel manja di sampingnya.Bocah itu mengelus leher Oreo sambil tertawa cekikikan ketika anjing itu menjilat tangannya.“Kenzo!” Marvella setengah berteriak. “Berapa kali Mama bilang jangan main sama anjing tetangga?”Kenzo menoleh d
Udara siang itu cukup terik, ketika sebuah mobil pickup bak terbuka berhenti di depan rumah nomor 11 di komplek Green Valley Residence. Sopir menurunkan tumpukan kardus, lemari kecil, dan satu kasur lipat yang diikat seadanya. Di balik mobil, seorang wanita berambut cokelat gelap yang digelung asal-asalan sibuk memberi arahan. Dengan kaus putih longgar dan celana jeans yang sudah belel, Marvella Riani terlihat berkeringat. Meski wajahnya masih menyimpan pesona, garis-garis lelah terlihat jelas di bawah matanya. “Kenzo, jangan lari-larian! Itu masih banyak barang pecah belah!” teriaknya pada bocah laki-laki berusia delapan tahun yang melesat ke halaman rumah baru mereka. Kenzo Rafi, anak semata wayangnya itu tampak sumringah. Ia mengenakan kaos bergambar robot penuh noda es krim dari perjalanan tadi, celana pendek gombrang, serta rambut acak-acakan yang membuatnya tampak seperti jelmaan energi tak terbatas. “Yeay, akhirnya punya rumah baru!” serunya sambil menendang bo







