Share

3. Duo Destroyer

Penulis: Black Aurora
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-04 12:31:43

Ketika malam hari tiba, Marvella mendengar ketukan di pintu depan rumahnya.

Dengan ragu ia pun membuka pintu, dan terkejut kala mendapati Dastan berdiri di sana bersama dengan Oreo yang duduk manis di sampingnya.

Ya Tuhan. Lagi-lagi dia...?!

"Malam, Vel. Ini, mainan bola punya Kenzo ketinggalan di rumahku tadi,” ujar pria itu datar, sambil menyerahkan sebuah bola plastik biru kecil ke tangan Marvella.

Baru saja wanita itu hendak menjawab dengan kalimat ketus, tapi tiba-tiba saja Kenzo sudah keburu datang melesat setara kecepatan cahaya dari dalam.

“Om Dastan, Oreo!” Bocah itu tersenyum lebar dan langsung mengelus anjing kesayangannya. "Om, masuk yuk! Mama masak spageti yang enak banget, pasti Om Dastan suka, deh."

Dengan penuh semangat, Kenzo menarik tangan Dastan agar masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Oreo yang menyalak riang sambil melompat-lompat kecil.

Kejadiannya begitu cepat, dan Marvella pun hanya bisa bengong lalu memijit pelipisnya yang mendadak nyeri.

'Astaga, hidupku yang sudah kacau bakal semakin berantakan kalau begini terus!'

Jika ketahuan ibu-ibu komplek, entah gosip apa lagi yang akan ia dengar!

Sambil mendesah pelan, Marvella pun hanya bisa menutup pintu dengan pasrah. Langkahnya tampak gontai menuju ke ruang makan, dimana Kenzo, Dastan dan Oreo sudah menunggunya di sana.

Pemandangan selanjutnya yang ia lihat, membuat Marvella memicingkan mata saat beradu tatap dengan Dastan.

Tapi pria itu masih terlihat santai dan hanya tersenyum tipis ke arahnya.

Kenzo berguling-guling di lantai bersama Oreo yang mengikutinya sambil menggonggong pelan. Tawa putranya terdengar riang dan membuat Marvella lagi-lagi hanya bisa menghela napas pelan.

Setelah perceraian Marvella dengan ayahnya, Kenzo memang tidak berubah drastis menjadi pendiam atau muram, karena sesungguhnya dia memang anak yang periang.

Tapi masalahnya, akhir-akhir ini Kenzo hanya bisa tertawa selepas dan seriang itu jika bersama Oreo.

"Jangan bergulingan di lantai, Ken. Kita mau makan malam. Ayo duduk yang rapi," tegur Marvella, seraya melangkah menuju kompor yang tadi ia matikan dulu sebelum membukakan pintu.

Dengan patuh, Kenzo pun segera berdiri dan melangkah menuju kursi makan diikuti oleh Oreo. Melihat tingkah hewan itu yang lucu dan menggemaskan, Kenzo pun menghadiahkan usapan lembut di leher Oreo.

Dastan melirik wanita cantik bersurai coklat gelap yang sedang sibuk mengaduk saus spaghetti di dalam panci. Marvella terlihat santai dan manis dengan kaus oblong putih lengan pendek dan celana jeans selutut dengan sedikit robekan di paha.

Wanita itu mencepol rambutnya dengan jepitan besar bunga, memperlihatkan lehernya yang putih dan jenjang menawan.

Marvella.

Dastan masih tak percaya jika semesta mempertemukan mereka kembali di sini, setelah sekian tahun tak lagi bersua.

Meskipun telah menikah dan memiliki seorang putra, tapi Dastan berpendapat bahwa Marvella tetap menjadi perempuan tercantik yang dulu pernah ia miliki.

Sayangnya, kesempatan kedua untuk mendapatkan hatinya kembali pasti sangat sulit.

Dulu ia telah melakukan kesalahan hingga akhirnya kehilangan Marvella. Dan sekarang, bahkan ia sendiri pun bisa melihat tatapan kesal Marvella setiap kali melihat dirinya.

Dastan lalu memutuskan berdiri dan berjalan ke arah Marvella.

"Ada yang bisa kubantu?" tanyanya dari arah belakang, membuat Marvella sedikit terkejut dan sontak menatapnya.

"Oh, kebetulan. Kamu bisa mengiris daun parsley?" Marvella menunjuk wadah sayur dengan dagunya.

Dastan tersenyum. Tentu saja dia bisa. Malah sebenarnya dia juga cukup lumayan dalam hal memasak, karena bertahun-tahun tinggal seorang diri dan mengurus segalanya sendirian.

"Oreo sudah bebas dari kutu," ucap Dastan tiba-tiba sambil mengiris parsley, membuat Marvella menoleh ke arahnya.

"Dia juga sudah divaksin lengkap, dan selalu rutin pemeriksaan kesehatan tubuh serta gigi ke dokter. Meskipun badannya besar, tapi dia anjing yang manis, kok."

"Terus?" tanya Marvella bingung.

"Cuma info sih, agar kamu tenang dan nggak cemas karena dia sering bermain dengan Kenzo."

Marvella hanya mengangguk pelan. Meskipun Dastan sudah berkata begitu, namun tetap saja dia tidak serta-merta percaya begitu saja. Oreo adalah hewan pelihara Dastan, tentu saja pria itu akan mengatakan yang baik-baik saja soal anjingnya.

"Kamu sudah lama tinggal di rumah sebelah?" akhirnya Marvella kembali berucap, setelah beberapa saat dalam keheningan dan mereka berdua sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Lumayan. Sejak pulang dari Australia tiga tahun yang lalu," sahut Dastan.

Marvella hanya mengangguk tipis. Ia sudah merasa percakapan ini terlalu berbahaya. Topik tentang masa lalu seperti ranjau yang bisa meledak jika sekali saja tersentuh.

Tiba-tiba terdengar suara berisik dari ruang makan yang mendistraksi keheningan antara Marvella dan Dastan.

“Eh?!” Kenzo berteriak kecil. “Ma! Om! Oreo naik ke atas kursi!”

Marvella sontak menolehkan wajahnya.

Dan benar saja, si husky besar itu sudah berhasil menaruh kedua kaki depannya di atas kursi makan, lalu menjulurkan lidahnya tepat ke arah piring spageti yang belum diberi saus dan masih mengepul harum di meja.

“Oreo! Turun!” Dastan berteriak sambil buru-buru meletakkan pisaunya.

Marvella juga reflek berlari meninggalkan kompor. “Astaga, jangan sampai dia~~”

Tapi terlambat.

Hanya dalam hitungan detik, Oreo sudah berhasil mencicipi satu gulung spageti dari ujung garpu yang diletakkan Kenzo.

Kenzo malah ngakak kegirangan melihatnya. “Hahaha! Lihat, Oreo makan spageti, Ma!”

Marvella membelalak. “Kenzo, jangan ketawa! Oreo, turun kamu!”

Sementara itu, Dastan mencoba menarik kalung anjingnya. Tapi alih-alih patuh, Oreo malah meloncat turun sambil membawa setengah porsi spageti yang tersangkut di mulutnya.

“Astaga, itu adalah makan malam kita!” Marvella berseru dan mengejar si anjing Husky yang bandel.

“Oreo! Stop!” Dastan berseru sambil ikut mengejar.

Anjing besar itu berlari mengitari meja makan dengan spageti bergelantungan dari mulutnya, seperti sedang ikut lomba fashion show.

Kenzo semakin terbahak-bahak, bersorak layaknya menonton pertunjukkan komedi langsung di depan matanya.

Marvella dan Dastan sama-sama mengitari meja dari arah berlawanan.

“Cepat hadang dari sana!” seru Marvella sambil menunjuk arah sebaliknya.

“Aku tahu!” balas Dastan.

Tapi ternyata, mereka berdua malah bertabrakan keras di sudut meja.

BRAK!

“Aduh!”

Kepala mereka berdua beradu. Marvella meringis sambil memegangi keningnya. Dastan juga menunduk sambil memaki pelan.

“Kenapa kamu belok ke arahku, sih?! Aku kan sudah bilang aku dari sini!” omel Marvella.

“Kamu yang nggak sesuai koordinasi!” Dastan membalas tak mau kalah.

Marvella mendengus, tapi kemudian memutuskan untuk menyuruh putranya daripada dirinya yang bekerja sama dengan Dastan.

Lagipula, sepertinya anjing nakal itu lebih menurut kepada Kenzo dibandingkan Dastan.

“Kenzo, cepat ambil Oreo sebelum semua spageti habis!”

Tapi tentu saja bocah itu bukannya menolong, malah masih terpingkal-pingkal sampai berguling di lantai.

“Hahahaaa! Mama sama Om Dastan lucu banget! Kayak Tom and Jerry!”

Wajah Marvella pun semakin memanas. Apalagi saat melihat Oreo yang sekarang sudah duduk manis di pojokan, tampak puas dengan wajah dan bulunya yang belepotan spageti.

“Cukup!” seru Marvella akhirnya.

Ia menunjuk ke arah pintu dengan ekspresi jengkel maksimal. “Dastan. Oreo. Kalian berdua keluar! SEKARANG!”

Dastan menahan senyum melihat ekspresi Marvella yang setengah gusar sekaligus menggemaskan.

Tapi di sisi lain, ia pun tahu kalau kemungkinan besar Marvella akan melemparnya dengan sandal secara membabi-buta, jika ia masih saja sengaja berlama-lama di sini.

Haha. Marvella memang sudah galak sejak dulu, dan sekarang sepertinya berkali lipat lebih galak.

“Baiklah, baiklah. Ayo, Oreo.” Dastan kemudian menepuk pahanya untuk memanggil anjingnya.

Dan ajaibnya, kali ini Oreo dengan patuh mendekati pria itu tidak seperti sebelumnya, mungkin juga karena spageti di mulutnya telah habis.

“Bye, Kenzo,” ucap Dastan sambil melirik sekilas ke arah Marvella. “Terima kasih atas… eh, undangan makan malamnya.”

Marvella hanya mendengus, lalu menutup serta mengunci pintu di belakang mereka, duo destroyer yang sudah mengacaukan makan malam.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mantan Jadi Tetangga    76. Sudah Siap

    BRAAKK!! Marvella membuka pintu ruang kerja Reno dengan keras. Bunyi hentakannya memantul di dinding kaca dan kayu mahal, membuat Reno yang sedang duduk serta sekretaris yang berdiri di dekat meja sama-sama tersentak, dan menoleh. Sekretaris itu membeku selama sesaat. Ia mengenali Marvella. Dulu, wanita itu sering datang dengan wajah lelah atau tersenyum tipis, kadang membawa makan siang, kadang hanya duduk menunggui Reno hingga selesai rapat. Kini yang berdiri di ambang pintu adalah Marvella dengan rahang yang mengeras, mata yang gelap, dan aura yang jelas-jelas ngajak ribut. “Selamat siang, Bu Marvella,” sapa sang sekretaris akhirnya dengan sikap profesional, meski tangannya refleks merapatkan map di dada untuk melindungi diri. Marvella tidak menoleh sedikit pun. Ia melangkah masuk dan menyilangkan kedua tangannya di dada, dengan tatapan tajam tertuju kepada Reno. “Aku mau bicara dengan kamu. Sekarang.” Nada suaranya datar tapi tegas, dan tidak ada ruang untuk menawar. R

  • Mantan Jadi Tetangga    75. Menunda Rapat Demi Seorang Anak

    FLASHBACK – BEBERAPA MENIT SEBELUMNYA Begitu pesan terakhir terkirim, Dastan langsung mengunci ponselnya dan berdiri dari kursinya. “Reyhan,” panggilnya datar. Asistennya yang sejak tadi sibuk membuka laptop dan menyusun slide presentasi refleks menoleh. “Siap, Pak.” “Tolong infokan ke semua kalau rapat pagi ini ditunda ke siang.” Reyhan berkedip pelan dua kali, lalu menegakkan punggungnya. “Ma~maaf, Pak?” suaranya terdengar seperti orang yang baru saja salah dengar. “Ditunda. Ke jam satu,” ulang Dastan tenang sambil melepas dasinya dan meraih jasnya. Reyhan menelan ludah. “Pak… ini rapat dengan Dewan Direksi pusat. Agendanya adalah merger. Semua orang sudah berada di ruang tunggu.” Dastan menyampirkan jas ke bahunya. “Bilang kalau saya ada urusan mendesak yang tidak bisa ditunda.” Reyhan memijat pelipisnya. “Pak, yang biasanya Bapak sebut tidak bisa ditunda itu biasanya cuma… IPO, krisis saham, atau audit pajak.” Dastan berhenti melangkah dan menoleh. “Hari

  • Mantan Jadi Tetangga    74. Yang Benar-benar Datang

    Keesokan harinya, pagi itu terasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Reno datang tepat waktu untuk menjemput Kenzo. Ia berdiri di depan pagar dengan kemeja rapi dan kunci mobil di tangan, seolah ingin menegaskan bahwa hari ini ia benar-benar berniat menjadi “ayah yang hadir”. Kenzo langsung berlari menghampirinya dengan tas kecil di punggung dan wajah berbinar. Anak itu sudah rapi dengan seragam terbaiknya, rambut disisir rapi oleh Marvella, dan sepatu yang berkali-kali dicek talinya agar tidak terlepas di tengah acara. Semalam Kenzo sudah mengingatkan papanya, bahwa besok adalah hari spesial di sekolahnya. Berbarengan dengan acara pengambilan rapot semester akhir, akan ada pula penampilan anak-anak yang menunjukkan kemampuan mereka di atas panggung. Dan Kenzo, telah ditunjuk sebagai perwakilan dari kelasnya untuk membawakan pidato dalam bahasa Inggris. “Hari ini Papa datang, kan?” tanya Kenzo untuk ketiga kalinya sambil memeluk map rapotnya. Reno tersenyum dan men

  • Mantan Jadi Tetangga    73. Arena Adu Dua Pria

    Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup. Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar d

  • Mantan Jadi Tetangga    72. Selalu Ada

    Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d

  • Mantan Jadi Tetangga    71. Salah Fokus

    Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status