MasukHari ini Marvella telah menyelesaikan tugas rumah, serta beberapa barang dalam kardus telah ia keluarkan dan susun di lemari.
Syukurlah ia tidak terlalu banyak membawa benda dari rumah lama milik mantan suaminya, dan hanya membawa yang penting-penting saja. Pagi di Green Valley terasa santai. Udara bersih, langit biru pucat, dan suara burung dari pepohonan kompleks memberi ilusi kedamaian. Ya, ilusi, tentu saja. Karena di rumah sebelah masih tinggal seseorang bernama Dastan Alvaro. Dan bagi Marvella, kedamaian dan pria itu tidak akan bisa muncul pada kalimat yang sama. Ia baru saja menyesap kopi ketika membuka kulkas dan menatap kosong ke dalamnya. Susu Kenzo habis. Semua camilan pun lenyap tak berbekas. “Ck, dasar Kenzo. Imut, ganteng, tapi lambungnya kayak monster mini. Semuanya dilahap,” gumannya dengan wajah pasrah. Marvella lalu menatap jam tangannya, masih ada waktu sebelum Kenzo pulang sekolah. Jadi ia mengambil tas belanja menuju minimarket yang kebetulan tak begitu jauh dari rumahnya, maka Marvella pun memutuskan untuk berjalan kaki saja alih-alih mengendarai mobilnya. *** Minimarket kompleks itu lumayan lengang. Pendingin udara bekerja dengan suara lembut, dan lagu pop manis terdengar dari speaker langit-langit. Marvella mendorong troli sambil bersenandung pelan. Ia mulai mengambil roti tawar, beberwpa biskuit, sereal, madu, dan camilan favorit Kenzo. Sampai langkahnya berhenti di rak susu cair, tersisa hanya satu kotak merek favorit Kenzo. Tersisa satu kotak susu favorit anaknya di rak paling atas. Ia pun menjinjit. Saat jarinya nyaris menyentuh ujung kotak itu, tiba-tiba seseorang dari sisi lain juga mengulurkan tangan. Sentuhan ringan di ujung jari membuat Marvella refleks menoleh, dan sontak terkejut. Demi harga skin care yang ia cicil tiga bulan, kenapa harus ketemu dia lagi?! Dastan. Rambut hitamnya rapi, lengan kemejanya tergulung santai, dan senyum kecil di bibirnya seperti bayangan masa lalu yang berwujud manusia. “Serius?” tanya Marvella datar tapi kesal. “Banyak merek lain, tapi kamu pilih rebutan sama aku juga?” Dastan melirik kotak susu yang sama-sama mereka pegang. “Kebetulan aku sukanya merek yang ini.” “Kebetulan atau kamu cuma hobi aja gangguin orang?” Dastan tersenyum miring. “Aku kan cuma belanja, Vel." “Bukannya jam segini seharusnya kamu masih kerja??” “Meetingnya dibatalkan,” jawab Dastan ringan. “Kupikir, beli susu lebih produktif daripada pura-pura sibuk di kantor.” “Luar biasa. Filosofi hidup yang... absurd.” Mereka pun masih sama-sama belum melepas kotak susu itu seperti tak ada yang mau mengalah. Seorang pegawai minimarket riba lewat dan berhenti, lalu menatap bingung keduanya sambil membatin dalam hati, “astaga, kenapa dua orang ini sama-sama keras kepala?" Karena saling menarik, akhirnya kotak susu itu malah terpental lalu jatuh ke lantai, membuat sebagian isinya tumpah. Marvella berdiri dengan tangan di pinggang. “Lihat, kan? Ini semua karena kamu.” “Karena aku?” Dastan memiringkan kepala. “Yang narik duluan siapa?” “Aku narik karena kamu narik.” “Dan aku narik karena kamu narik duluan.” Marvella mendengus. “Terus aja muter kaya omongan politisi.” Seorang pegawai minimarket datang di antara mereka sambil membawa tisu gulung. “Ehm, maaf, Bu, Pak, ini kami pel dulu ya…” Marvella berdeham dengan wajahnya agak merah. “Maaf, ya. Susu yang rusak ini biar saya yang ganti. Dan minta susu yang baru untuk saya ya, Mas." "Untuk kita,” sahut Dastan cepat. “Bukan, untuk aku,” balas Marvella tajam. "Tapi aku juga mau minum susu, Vel." Marvella menatapnya datar. “Sana beli sendiri.” Dastan mengangkat alisnya yang lebat, dan senyum licik pun muncul. “Hm. Tapi aku lebih suka... berbagi susu.” Suasana di antara mereka langsung hening. Pegawai yang mendengar kalimat itu tiba-tiba terbatuk gugup, lalu pura-pura sibuk membereskan rak roti di ujung lorong. Sementara Marvella menatap pria itu dengan pipi mulai memanas. “Das~tan…” Marvella memberikan peringatan pelan. “Kenapa?” tanyanya tenang. “Aku cuma ngomong fakta.” “Otakmu itu yang tumpul sama fakta!” Geram Marvella, yang malah membuat Dastan tertawa. *** Beberapa menit kemudian mereka sama-sama berdiri di kasir. Marvella bersedekap, sementara Dastan tampak santai sambil memainkan ponselnya. Kasirnya seorang gadis muda berponi, kini menatap mereka penuh minat. “Maaf, tapi kalian ini pasangan, ya? Soalnya aura-nya tuh kayak ‘ribut tapi sayang’," godanya sambil nyengir. Marvella mendecak. “Bukan.” “Belum,” timpal Dastan bersamaan. Tampak si Mbak kasir itu hampir twk bisa menahan tawanya, membuat Marvella buru-buru membayar belanjaannya dan keluar. Tapi langkahnya pun seketika terhenti begitu mendengar langkah lebar di belakangnya lagi. “Ngapain kamu ngikutin aku?” tanyanya sembari menoleh. Dastan mengangkat kantung belanjaannya. “Kita kan ke arah yang sama. Rumah kita tetanggaan, ingat?” “Kalau gitu kamu jalan duluan!” “Kalau aku duluan, kamu nanti kangen.” Marvella berhenti, berbalik, lalu menatap Dastan dengan tajam. “Kamu selalu begini, ya? Datang, ngomong seenaknya, lalu pergi seolah nggak ada apa-apa.” Dastan menatap lama wajah Marvella, lalu langkahnya melambat saat akhirnya di tiba tepat selangkah jarak yang tersisa di antara mereka. “Sejujurnya, kamu adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa bikin aku pengen berhenti pergi, Vel.” Marvella sontak terdiam dengan dada berdebar, tapi kemudian ia pun pura-pura menatap arloji. “Gombal pagi-pagi itu dosa, tahu.” “Kalau gombalnya tulus, gimana?” sahut Dastan sambil tersenyum. “Lebih dosa lagi!” Desis Marvella sambil membalikkan badan dam mulai berjalan sambil menghentakkan kaki. *** Mereka akhirnya sampai di depan rumah masing-masing. Dastan berhenti di antara dua pagar, menatap wajah Marvella dalam cahaya matahari. Tatapannya hangat tapi nakal. Ia mendekat perlahan, cukup dekat sampai Marvella bisa merasakan napasnya dalam jarak yang hanya tinggal sejengkal. Marvella terpaku, matanya melebar. “Dastan...” “Hmm?” “Jangan~~” Tapi pria itu tetap menundukkan tubuh sedikit hingga wajahnya nyaris sejajar dengan Marvella. Aroma parfumnya bercampur udara pagi, membuat waktu seolah melambat. Sial. Marvella sadar kalau sejak dulu pria ini benar-benar tampan dan selalu saja membuat jantungnya deg-degan. Namun tiba-tiba saja Dastan berhenti dan menarik diri, lalu menyeringai kecil melihat rona merah muda yang cantik di pipi Marvella. “Tenang aja,” bisiknya pelan. “Aku cuma mau ngecek, apa aku masih bisa bikin kamu gugup atau nggak.” Marvella menatapnya, syok sekaligus kesal. Aargh, boleh nonjok mukanya nggak sih??! “Dan ternyata,” lanjut Dastan santai, “hasilnya positif.” Ia mundur selangkah, lalu mengangkat dua kotak susu di tangannya dan menaruhnya ke dalam kantung belanja milik Marvella. “Oh ya, Vel. Kalau kamu butuh tambahan susu... aku punya lebih. Tapi kali ini bukan yang ada di rak, melainkan...” Marvella membuka mulut hendak menyemprot, karena ia tahu kemana arah tujuan perkataan itu. Tak senonoh, pastinya. Tapi sayangnya, Dastan sudah keburu berbalik melangkah menuju rumahnya sambil tertawa kecil. Wanita itu berdiri kaku di depan pagar dengan pipinya yang merah padam. Dan dari pagar sebelah, suara berat itu pun terdengar lagi. “Kalau susumu kebanyakan, Marvella…” jeda sebentar sebelum Dastan kembali berucap. “…aku bisa kok bantu abisin. Aku kan sudah terbiasa minum yang asli dari sumbernya langsung.” Marvella menutup wajah dengan kedua tangan, separuh malu dan separuh geram mendengar kalimat mesum Dastan yang membuat rona merah di wajahnya semakin melebar ke telinga. Astaga, Tuhan!! Boleh nggak tuh orang disemprot desinfektan biar otaknya bersih??! ***Keesokan harinya, pagi itu terasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Reno datang tepat waktu untuk menjemput Kenzo. Ia berdiri di depan pagar dengan kemeja rapi dan kunci mobil di tangan, seolah ingin menegaskan bahwa hari ini ia benar-benar berniat menjadi “ayah yang hadir”. Kenzo langsung berlari menghampirinya dengan tas kecil di punggung dan wajah berbinar. Anak itu sudah rapi dengan seragam terbaiknya, rambut disisir rapi oleh Marvella, dan sepatu yang berkali-kali dicek talinya agar tidak terlepas di tengah acara. Semalam Kenzo sudah mengingatkan papanya, bahwa besok adalah hari spesial di sekolahnya. Berbarengan dengan acara pengambilan rapot semester akhir, akan ada pula penampilan anak-anak yang menunjukkan kemampuan mereka di atas panggung. Dan Kenzo, telah ditunjuk sebagai perwakilan dari kelasnya untuk membawakan pidato dalam bahasa Inggris. “Hari ini Papa datang, kan?” tanya Kenzo untuk ketiga kalinya sambil memeluk map rapotnya. Reno tersenyum dan men
Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup. Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar d
Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d
Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast
Marvella mulai sadar ada yang berubah sejak pagi itu. Bukan perubahan besar yang langsung terasa mencolok, melainkan hal-hal kecil yang terlalu konsisten untuk diabaikan. Cara Dastan duduk sedikit lebih jauh di sofa. Cara ia tidak lagi sembarangan merangkul pinggang Marvella saat lewat di dapur. Cara ia selalu berhenti setengah detik seolah bertanya tanpa suara, sebelum menyentuh apa pun yang berkaitan dengannya. Dan anehnya, justru itu yang membuat Marvella semakin gelisah. Biasanya, Dastan adalah tipe pria yang… hadir secara fisik. Terlalu hadir, malah. Bahu lebar yang sering jadi sandaran tanpa izin, tangan besar yang entah bagaimana selalu menemukan jalannya ke punggung, lengan, pinggang Marvella, dan tatapan manik gelapnya yang terlalu jujur soal apa pun yang ia inginkan. Sekarang? Pria itu malah seperti sedang menarik rem. Dan sejujurnya, Marvella tidak tahu harus merasa lega atau tersinggung. Pagi itu setelah Kenzo berangkat sekolah, Dastan mengatakan bahwa
Pagi harinya, Marvella terbangun lebih dulu. Kesadarannya pun mulai muncul dengan perlahan, diiringi olehcahaya pagi yang menyusup dari sela sela gorden. Selama beberapa detik ia hanya diam, menatap langit-langit kamar sambil mencoba mengingat… di mana ia berada, dan kenapa ranjang terasa lebih sempit dari biasanya. Lalu ia menoleh, baru teringat jika Dastan tidur di sampingnya. Rambut gelap dan tebal pria itu sedikit berantakan, satu tangan memeluk pinggang Marvella, dan hal yang paling mencolok adalah plester besar yang menempel di pelipisnya. Wajahnya terlihat damai, sangat kontras dengan kejadian dramatis dini hari tadi. Marvella menelan ludah. Perasaan bersalah kembali menyusup. Ia yang memukul, terus panik, dan pada akhirnya menyerah. Namun di balik rasa bersalah itu, ada secercah kehangatan yang tak akan bisa ia sangkal. Hangat karena untuk beberapa hari belakangan ini, ia tidak terbangun dalam kesendirian lagi. Tapi… ada juga rasa takut, karena batas yang se







