Compartir

6. Tiang Listrik

Autor: Black Aurora
last update Última actualización: 2025-11-07 21:48:29

**Flashback Beberapa Jam Sebelumnya. Pagi hari, pukul 05.00**

Suara dering ponsel menembus keheningan kamar, terdengar panjang dan menyebalkan.

Di tengah gelap yang masih melekat di langit-langit, Miranda berguling malas sambil membenamkan wajah ke bantal. Ia baru saja menemukan posisi nyaman ketika seseorang di sampingnya mengguman setengah sadar.

“Sayang, ponsel kamu bunyi tuh…”

Jevan bicara tanpa membuka mata. Tangannya bergerak pelan, seperti usaha lemah untuk mendorong bahu istrinya.

Miranda mendengus, lalu mengulurkan tangan ke atas nakas dan meraba-raba ponsel di antara charger, tisu, dan kacamata baca. “Iya, iya, aku tahu…”

Tapi malah kabel charger nyangkut di sudut meja. Dengan malas, Miranda mencabutnya dan langsung menempelkan ponsel di telinga tanpa melihat layar.

“Hallo..."

“MIRANDA!!”

Suara di seberang itu seperti bom yang meledak di telinganya. Miranda refleks duduk tegak, rambutnya yang awut-awutan jatuh menutupi wajah.

“Kak Marvella?!” serunya dengan jantung yang langsung berpacu. “Kenzo kenapa?! Ada apa?!”

“Ish. Bukan Kenzo!” Sahut Marvella cepat dan berapi-api. “Masalahnya rumah yang kamu pilihin untuk aku beli!”

Miranda mengerjap bingung. “Rumahnya kenapa? Atapnya bocor? Airnya nggak ngalir? Atau komplek-nya kebanjiran?”

“Bukan itu!” Nada Marvella meninggi lagi, sampai-sampai Miranda harus menjauhkan ponsel demi keselamatan telinganya.

“Terus apa dong?”

“Kamu tahu nggak siapa tetangga sebelah rumahku sekarang?”

Miranda menatap langit-langit, mencoba mengingat daftar properti yang mereka survei bulan lalu. “Hmm... pensiunan? Pasutri tua? Jangan bilang kamu sebelahan sama bandar judol.”

Marvella berdecak. “Dastan, Mir.”

Miranda berkedip. “Dastan siapa?”

“Dastan Alvaro.” Kembali Marvella berucap.

Hening sesaat, lalu seperti lampu sorot yang tiba-tiba menyala terang di dalam otaknya, Miranda sontak menatap Jevan di sebelahnya yang masih terlelap damai dengan posisi miring.

“Dastan? Cinta pertama kamu itu?! Yang dulu katanya mau ngelamar tapi malah ngilang kayak ninja? Dastan Alvaro YANG ITU?!”

Jeritan Miranda sukses membuat suaminya terbangun karena kaget. “Siapa yang meninggal?!” serunya panik.

Miranda menatap Jevan dengan pandangan maut. “Kamu. Mungkin sebentar lagi kamu!”

Dari seberang sana, Marvella menggeram kesal. “Kamu tuh gimana, Miranda! Aku cuma minta tolong cariin rumah yang tenang buat aku dan Kenzo. Eh, malah kamu kasih rumah yang tetangganya dia!”

Miranda memejamkan mata. “Aduh, Kak, aku minta maaf banget. Aku pikir nggak perlu tahu siapa tetangganya. Yang penting airnya lancar, listrik nyala, harga belinya bagus~~”

Jevan yang sudah sadar sepenuhnya kini menatap Miranda dengan senyum tertahan. “Eh, kayaknya aku tahu ending-nya bakal lucu nih.”

“Otak kamu yang lucu,” guman Miranda sambil melempar bantal ke wajah Jevan. “Serius, kak. Aku benar-benar nggak tahu! Duh, harusnya aku cek dulu.”

Terdengar helaan napas panjang Marvella dari seberang. “Ya, sudahlah. Mungkin bukan sepenuhnya salahmu. Aku cuma... nggak nyangka aja jika dunia ternyata sekecil ini.”

Miranda pun menegakkan punggungnya mendengar nada sendu kakaknya.“Tapi kalau mau, aku bisa cariin rumah lain sih, meskipun surat-menyuratnya mungkin akan butuh waktu agak lama. Atau gimana kalau pindah ke apartemen?"

“Tidak,” jawab Marvella cepat. “Apartemen nggak cocok buat Kenzo. Aku mau halaman, udara, dan ketenangan. Aku cuma mau hidup tenang, Mir.”

“Tenang?” Miranda nyaris tertawa. “Kamu berharap bisa tenang sementara tetanggamu itu laki-laki yang sempat bikin kamu trauma?”

“Terserah kamu mau ngomong apa. Kayanya aku akan anggap Dastan itu seperti tiang listrik: ada, tapi nggak perlu diperhatiin.”

Miranda terkekeh pelan. “Oke. Asal tiang listriknya jangan nyetrum aja, Kak.”

Marvella diam sebentar. “Miranda.”

“Iya?”

“Aku masih belum maafin kamu, by the way.”

Klik. Telepon pun ditutup secara sepihak oleh Marvella.

Miranda menatap ngeri ponselnya yang kini hening. “Wah, aku resmi jadi sasaran murka.”

Jevan tertawa kecil, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. “Jadi barusan itu takdir yang sedang reuni, ya?”

“Takdir apanya, Van! Kamu bikin kepalaku hampir migrain pagi-pagi!”

“Tapi kan lucu, Sayang. Dunia ini terus berputar, dan dua orang mantan dipertemukan lagi di pagar yang sama. Kalau bukan semesta, siapa lagi yang ngatur?”

Miranda menatapnya datar. “Van, sumpah. Satu kalimat lagi, aku suruh kamu tidur di garasi.”

Pria itu tertawa sambil menutup kepala pakai bantal. “Oke-oke, aku diam deh.”

Miranda mendengus, lalu memeluk lututnya di atas ranjang. “Kasihan juga, sih. Kak Vella kan cuma mau hidup tenang setelah cerai. Eh, malah dikasih bonus tetangga dari masa lalu.”

Jevan kembali terkekeh. "Tapi jujur aja, aku jadi penasaran. Kalau mereka ketemu lagi, kira-kira salaman atau saling lempar panci?”

Miranda menatap suaminya dengan durasi yang cukup lama, lalu menjawab dengan nada yakin.

“Dua-duanya.”

***

Sementara itu, di rumah nomor sebelas Green Valley Residence, Marvella duduk di ruang tamu dengan secangkir kopi yang sudah dingin.

Ponselnya bergetar lagi, dan ternyata pesan dari Miranda.

‘Kak, udah minum kopi, belum? Jangan stress. Anggap aja tetanggamu itu pemandangan. Toh, pemandangan yang bagus, kan?’

Marvella pun segera mengetik balasan.

‘Kalau aku mau lihat pemandangan, aku beli rumah di gunung! Bukan di sebelah trauma masa lalu.’

Ia menekan tombol kirim dan segera menutup ponsel.

Di luar sana, terdengar suara berat yang berucap. “Oreo, jangan ke situ! Hei!"

Suara itu. Suara yang dulu bisa menenangkan, sekarang malah membuat dadanya terasa panas.

“Tiang listrik, Marvella. Fokus.” Ia menepuk pipinya sendiri. “Itu cuma tiang listrik. Tidak akan berbahaya kalau tidak disentuh.”

Namun begitu ia berdiri dan berjalan ke dapur, matanya sempat menoleh sekilas lewat jendela.

Dan di halaman sebelah sana, ada Dastan yang berdiri dengan mengenakan kaus putih dan rambut sedikit berantakan, sedang menggulung selang air di tangannya sambil menatap ke arah langit yang cerah.

Marvella buru-buru mundur dan menutup tirai dengan cepat. “Ya ampun. Tiang listriknya bisa senyum.”

Ia meraih cangkir kopi dan menelan tegukan terakhir seraya berguman. “Oke, hidup tenang dimulai sekarang... dan semoga nggak ada elemen kejutan lagi, please."

**Flashback selesai**

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Mantan Jadi Tetangga    74. Yang Benar-benar Datang

    Keesokan harinya, pagi itu terasa sedikit lebih tegang dari biasanya. Reno datang tepat waktu untuk menjemput Kenzo. Ia berdiri di depan pagar dengan kemeja rapi dan kunci mobil di tangan, seolah ingin menegaskan bahwa hari ini ia benar-benar berniat menjadi “ayah yang hadir”. Kenzo langsung berlari menghampirinya dengan tas kecil di punggung dan wajah berbinar. Anak itu sudah rapi dengan seragam terbaiknya, rambut disisir rapi oleh Marvella, dan sepatu yang berkali-kali dicek talinya agar tidak terlepas di tengah acara. Semalam Kenzo sudah mengingatkan papanya, bahwa besok adalah hari spesial di sekolahnya. Berbarengan dengan acara pengambilan rapot semester akhir, akan ada pula penampilan anak-anak yang menunjukkan kemampuan mereka di atas panggung. Dan Kenzo, telah ditunjuk sebagai perwakilan dari kelasnya untuk membawakan pidato dalam bahasa Inggris. “Hari ini Papa datang, kan?” tanya Kenzo untuk ketiga kalinya sambil memeluk map rapotnya. Reno tersenyum dan men

  • Mantan Jadi Tetangga    73. Arena Adu Dua Pria

    Malam harinya di hari yang sama, Reno tiba-tiba saja datang lagi dengan membawa mainan baru, dengan alasan, “kebetulan ada rapat di dekat sini.” Kenzo tentu saja senang sekali. Anak itu belum cukup besar untuk membaca ambiguitas orang dewasa. Yang ia tahu, ayahnya hadir. Dan itu cukup. Di sisi lain, Marvella mulai gelisah. Reno terlalu perhatian, tapi bukan jenis perhatian yang hangat. Lebih mirip sebuah klaim. “Besok pagi biar aku saja yang antar Kenzo ke sekolah,” ucap Reno, tanpa bertanya lebih dulu. Marvella mengernyit samar. “Biasanya Kenzo diantar sama Dastan.” Reno menoleh dan alisnya terangkat tipis. “Oh?” Nada satu suku kata itu terdengar ringan, tapi ada sesuatu di baliknya. Seperti sebuah catatan yang akan disimpan rapi. “Oooh...,” ulangnya lagi, kali ini disertai dengan senyum kecil. “OM DASTAN, ya?” Marvella memilih diam tidak menjawab, sementara Dastan yang saat itu sedang menyiapkan minuman di dapur mendengar jelas percakapan mereka. Ia segera keluar d

  • Mantan Jadi Tetangga    72. Selalu Ada

    Saat Marvella hendak meletakkan ponselnya setelah chat dengan Dastan, tiba-tiba saja layarnya kembali menyala, berdenting pelan, pertanda ada pesan baru. Semula Marvella mengira itu pesan yang datang dari Dastan lagi, namun ternyata ia salah. Pesan itu datang dari... Reno, yang awalnya hanya berupa pesan singkat. Reno : (Kenzo sudah di sekolah?) Reno : (Aku kebetulan lewat di daerah rumahmu. Boleh mampir sebentar?) Sambil menghela napas, Marvella akhirnya hanya menjawab seperlunya. Singkat, aman dan netral, meskipun ia ingin marah karena terakhir kalinya mereka bertemu, Reno mengatakan akan membawa Kenzo pergi. Marvella : (Kenzo masih di sekolah) Beberapa detik kemudian, ia pun menambahkan satu pesan lagi. Marvella : (Maaf, sekarang aku lagi ada urusan di rumah. Mungkin lain kali) Tapi Reno tidak berhenti di situ. Beberapa menit setelah percakapan itu berakhir, Marvella yang sedang menyiram tanaman di halaman depan tiba-tiba mendengar suara mobil berhenti tepat d

  • Mantan Jadi Tetangga    71. Salah Fokus

    Sekitar pukul sebelas siang, Dastan akhirnya benar-benar berangkat ke kantornya. Tanpa ada drama, tidak ada ciuman perpisahan yang berlebihan, juga tidak ada kalimat klise. Ia hanya memegang kunci mobil dan menatap Marvella, lalu berkata, “Aku pergi. Jangan lupa makan yang benar.” Sesederhana itu. Dan justru karena itu, Marvella berdiri terlalu lama di dekat pintu setelah suara mesin mobil mewah Dastan menghilang di ujung jalan. Kemudian hanya ada keheningan. Kesunyian yang terasa... aneh. Yang ia inginkan adalah ruang. Ia ingin bernapas. Ia ingin jarak. Tapi ketika Dastan benar-benar memberikannya dengan cara yang dewasa dan tidak menuntut, Marvella malah merasa seperti seseorang yang telah salah mengajukan permintaan. 'Kenapa rasanya jadi begini?' batinnya. Ia menghela napas, lalu menepuk pelan kedua pipinya. “Oke. Fokus, Marvella. Ini justru bagus. Ini yang sehat.” Namun lima menit kemudian, ia masih berdiri di ruang tamu seraya menatap sofa kosong, seolah Dast

  • Mantan Jadi Tetangga    70. Batas yang Tak Lagi Tegas

    Marvella mulai sadar ada yang berubah sejak pagi itu. Bukan perubahan besar yang langsung terasa mencolok, melainkan hal-hal kecil yang terlalu konsisten untuk diabaikan. Cara Dastan duduk sedikit lebih jauh di sofa. Cara ia tidak lagi sembarangan merangkul pinggang Marvella saat lewat di dapur. Cara ia selalu berhenti setengah detik seolah bertanya tanpa suara, sebelum menyentuh apa pun yang berkaitan dengannya. Dan anehnya, justru itu yang membuat Marvella semakin gelisah. Biasanya, Dastan adalah tipe pria yang… hadir secara fisik. Terlalu hadir, malah. Bahu lebar yang sering jadi sandaran tanpa izin, tangan besar yang entah bagaimana selalu menemukan jalannya ke punggung, lengan, pinggang Marvella, dan tatapan manik gelapnya yang terlalu jujur soal apa pun yang ia inginkan. Sekarang? Pria itu malah seperti sedang menarik rem. Dan sejujurnya, Marvella tidak tahu harus merasa lega atau tersinggung. Pagi itu setelah Kenzo berangkat sekolah, Dastan mengatakan bahwa

  • Mantan Jadi Tetangga    69. Masih Butuh Waktu

    Pagi harinya, Marvella terbangun lebih dulu. Kesadarannya pun mulai muncul dengan perlahan, diiringi olehcahaya pagi yang menyusup dari sela sela gorden. Selama beberapa detik ia hanya diam, menatap langit-langit kamar sambil mencoba mengingat… di mana ia berada, dan kenapa ranjang terasa lebih sempit dari biasanya. Lalu ia menoleh, baru teringat jika Dastan tidur di sampingnya. Rambut gelap dan tebal pria itu sedikit berantakan, satu tangan memeluk pinggang Marvella, dan hal yang paling mencolok adalah plester besar yang menempel di pelipisnya. Wajahnya terlihat damai, sangat kontras dengan kejadian dramatis dini hari tadi. Marvella menelan ludah. Perasaan bersalah kembali menyusup. Ia yang memukul, terus panik, dan pada akhirnya menyerah. Namun di balik rasa bersalah itu, ada secercah kehangatan yang tak akan bisa ia sangkal. Hangat karena untuk beberapa hari belakangan ini, ia tidak terbangun dalam kesendirian lagi. Tapi… ada juga rasa takut, karena batas yang se

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status