LOGINRoma tidak pernah ramah pada mereka yang datang membawa amarah. Seperti Damian Morreti yang tiba menjelang subuh. Mobilnya melaju tanpa pengawalan, terlalu cepat untuk protokol keluarga, terlalu nekat untuk seorang pewaris. Lampu kota memantul di matanya yang gelap, mata seorang pria yang kehilangan sesuatu yang dianggapnya miliknya mutlak. Ia tidak menunggu izin untuk pergi atau masuk ke mana pun. Jika berurusan dengan miliknya. Damian membuka pintu ruang kerja Giovanni dengan keras, hingga menghantam dinding. Beberapa anak buah refleks berdiri, tangan nyaris ke senjata, namun satu anggukan kecil dari Giovanni membuat mereka membeku.“Keluar!” perintah Giovanni singkat.Mereka patuh dan pergi meninggalkan ruangan. Kini tinggal dua Morreti di ruangan itu.Damian berdiri di tengah, dadanya naik turun. “Di mana dia?”Giovanni tidak langsung menjawab. Ia menyesap wine dengan tenang, seolah yang berdiri di depannya bukan anaknya sendiri, melainkan tamu tak diundang. “Kamu datang ke Roma
Giovanni Morreti tidak percaya pada kebetulan.Jika delapan klan besar mulai bergerak bersamaan, itu berarti waktu hampir habis dan jika mereka semua mengincar satu titik yang sama, maka titik itu harus dihilangkan atau dipindahkan. Mereka mengincar Elara untuk menyakiti atau dijadikan senjata penghancur Damian. Giovanni duduk di ruang kerjanya di Roma, dikelilingi peta lama, berkas rahasia, dan laporan intelijen yang menumpuk. Di hadapannya berdiri tiga pria kepercayaannya. Tidak satu pun berani duduk.“Damian terlalu dekat dengan wanita itu,” ucap Giovanni datar. “Dan kedekatan adalah celah.”“Apakah Tuan ingin kami menyingkirkannya?” tanya salah satu pria dengan nada hati-hati. Mereka tahu, wanita yang akan mereka singkirkan bukanlah wanita sembarangan. Wanita itu, mantan anak tiri tuannya dan juga wanita kesayangan Damian. Giovanni mengangkat tangan. “Tidak. Membunuhnya. Jika kita nekat membunuhnya akan memicu kegilaan Damian. Aku tidak ingin perang terbuka dengan anakku sendiri
Elara terbangun dengan perasaan asing, ia merasa tenang yang dipaksakan.Kamar itu sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah vila yang dijaga puluhan pria bersenjata. Tirai tebal menutup cahaya pagi, menyisakan bayangan lembut di dinding. Tidak ada suara langkah, tidak ada teriakan, tidak ada Damian.Seharusnya ia lega. Namun justru itulah yang membuat dadanya sesak.Pintu terbuka pelan. Seorang pelayan wanita masuk membawa nampan sarapan. Wajahnya tertunduk, sikapnya hati-hati, terlalu hati-hati membuat Elara semakin tak nyaman.“Di mana Damian?” tanya Elara.“Signor Morreti sedang pergi,” jawab wanita itu singkat. “Beliau berpesan untuk Nona. Anda tidak perlu keluar kamar hari ini.”Elara menelan ludah. Sebuah pesan yang menurutnya seperti rantai yang membelenggu tanpa terlihat. "Baiklah." Lagi-lagi hanya keterpaksaan. Elara tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Kekuatan Damian sangat besar dan ia hanya seorang gadis biasa. Tidak punya kekuatan atau pun harta untuk menjaga dirinya. ♣♣♣D
Elara tidak tahu, kapan keributan itu berubah menjadi keheningan yang mencekik. Ia tidak bisa lagi melawan Damian. Dinding dingin menempel di punggungnya, napasnya terengah, sementara Damian berdiri di hadapannya seperti bayangan yang menelan cahaya. Tatapan pria itu gelap, bukan kemarahan yang meledak-ledak, melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya, obsesi yang kehilangan kendali.“Kenapa kamu selalu melawan?” suara Damian rendah, serak, seolah ditahan oleh sesuatu yang bergejolak di dadanya. “Aku sudah menghancurkan siapa pun yang bisa menyakitimu.”Elara tertawa kecil dan terasa getir. “Dan kamu pikir itu membuatku aman?” Matanya basah. “Atau justru membuatku semakin terperangkap?”Damian mendekat. Terlalu dekat. Kehadirannya menekan ruang, membuat Elara merasa dunia menyempit hanya menjadi tubuh dan napas mereka. Tangannya menahan dinding di sisi kepala Elara, bukan menyentuh, tapi cukup untuk membuatnya tak bisa pergi.“Aku melindungimu,” katanya lagi, lebih keras. “Semua ini
Kabar pembantaian di Pegunungan Toscana menyebar lebih cepat dari peluru yang dilepaskan Damian Morreti saat membantai klan De Luca. Tidak butuh sehari penuh hingga nama itu bergaung di seluruh penjuru negeri dari ruang bawah tanah Napoli, gudang pelabuhan Genoa, vila-vila tua Sicilia, hingga meja perundingan gelap di luar Italia. Dunia bawah tanah yang biasanya bergerak dalam senyap kini bergemuruh oleh satu cerita yang sama.'Damian Morreti membantai satu klan sampai habis tanpa adanya negosiasi, tanpa ampun. Semua itu hanya karena seorang wanita.'Di sebuah ruang pertemuan rahasia di Roma, delapan pria duduk melingkar. Tidak ada jabat tangan, tidak ada senyum basa-basi. Hanya wajah-wajah tegang dan asap rokok yang menebal di udara.“Ini sudah kelewatan,” ujar seorang Don berambut perak, suaranya rendah namun tajam. “Keseimbangan kita hancur karena emosinya.”“De Luca memang musuh lama Morreti,” sahut yang lain, mengetukkan jarinya ke meja. “Tapi ini bukan perang klan. Ini eksekusi
Elara menjerit kecil saat Damian mendekat.Bukan karena ia tidak mengenal pria itu, melainkan karena sosok yang berdiri di hadapannya terasa asing. Wajah Damian dipenuhi darah dan debu, matanya gelap, kosong, dan dingin seperti jurang yang baru saja menelan ratusan nyawa. Bau mesiu, tanah basah, dan kematian melekat di tubuhnya.Damian berhenti satu langkah darinya. Elara sungguh takut dan ia tidak bisa menyembunyikan ketakutan itu. “Jangan takut,” ucap Damian pelan, suaranya serak dan berat. Ia berlutut, tangannya gemetar saat membuka ikatan di pergelangan Elara. “Aku di sini. Kamu aman sekarang.” Ia meringis saat melihat luka lecet bekas ikatan, mengeluarkan darah. Rasanya, amarahnya kembali naik lagi. "Jangan takut, mulai sekarang tidak akan ada yang berani menyakitimu." Ia menyentuh luka luka Elara dengan lembut karena takut menyakitinya.Namun sentuhan itu membuat Elara tersentak mundur. Tubuhnya menempel ke dinding batu, napasnya memburu. Tangannya bergetar hebat saat ikatan te







