INICIAR SESIÓNGiovanni Morreti tidak pernah memenjarakan dengan rantai. Dia menggunakan rasa aman. Elara mulai menyadari itu sejak hari ketiga di Roma. Tidak ada kamar terkunci, tidak ada penjaga di ambang pintu, ia boleh berjalan di taman belakang, membaca di perpustakaan tua, bahkan memilih gaun sendiri dari lemari yang dipenuhi pakaian baru-semuanya pas di tubuhnya, seolah telah diukur jauh hari."Signor Giovanni ingin Anda merasa seperti di rumah," ujar wanita paruh baya yang selalu menemaninya, suaranya lembut dan konsisten. "Ini cemilan dan minuman kesukaan Anda." Wanita itu meletakkan di meja. "Signor Giovanni sebentar lagi datang berkunjung."Benar saja, Giovanni akhirnya muncul sore itu. Dia tidak datang dengan ancaman, tidak pula dengan bentakan. Dia duduk berhadapan dengannya di ruang makan kecil, menyuguhkan teh hangat dan kue sederhana."Aku minta maaf," ucap Giovanni pelan, tanpa basa-basi. "Caraku mungkin mengejutkanmu."Elara menatapnya waspada. "Anda menculik saya?" Ia bertanya tan
Roma tidak pernah ramah pada mereka yang datang membawa amarah. Seperti Damian Morreti yang tiba menjelang subuh. Mobilnya melaju tanpa pengawalan, terlalu cepat untuk protokol keluarga, terlalu nekat untuk seorang pewaris. Lampu kota memantul di matanya yang gelap, mata seorang pria yang kehilangan sesuatu yang dianggapnya miliknya mutlak. Ia tidak menunggu izin untuk pergi atau masuk ke mana pun. Jika berurusan dengan miliknya. Damian membuka pintu ruang kerja Giovanni dengan keras, hingga menghantam dinding. Beberapa anak buah refleks berdiri, tangan nyaris ke senjata, namun satu anggukan kecil dari Giovanni membuat mereka membeku.“Keluar!” perintah Giovanni singkat.Mereka patuh dan pergi meninggalkan ruangan. Kini tinggal dua Morreti di ruangan itu.Damian berdiri di tengah, dadanya naik turun. “Di mana dia?”Giovanni tidak langsung menjawab. Ia menyesap wine dengan tenang, seolah yang berdiri di depannya bukan anaknya sendiri, melainkan tamu tak diundang. “Kamu datang ke Roma
Giovanni Morreti tidak percaya pada kebetulan.Jika delapan klan besar mulai bergerak bersamaan, itu berarti waktu hampir habis dan jika mereka semua mengincar satu titik yang sama, maka titik itu harus dihilangkan atau dipindahkan. Mereka mengincar Elara untuk menyakiti atau dijadikan senjata penghancur Damian. Giovanni duduk di ruang kerjanya di Roma, dikelilingi peta lama, berkas rahasia, dan laporan intelijen yang menumpuk. Di hadapannya berdiri tiga pria kepercayaannya. Tidak satu pun berani duduk.“Damian terlalu dekat dengan wanita itu,” ucap Giovanni datar. “Dan kedekatan adalah celah.”“Apakah Tuan ingin kami menyingkirkannya?” tanya salah satu pria dengan nada hati-hati. Mereka tahu, wanita yang akan mereka singkirkan bukanlah wanita sembarangan. Wanita itu, mantan anak tiri tuannya dan juga wanita kesayangan Damian. Giovanni mengangkat tangan. “Tidak. Membunuhnya. Jika kita nekat membunuhnya akan memicu kegilaan Damian. Aku tidak ingin perang terbuka dengan anakku sendiri
Elara terbangun dengan perasaan asing, ia merasa tenang yang dipaksakan.Kamar itu sunyi, terlalu sunyi untuk sebuah vila yang dijaga puluhan pria bersenjata. Tirai tebal menutup cahaya pagi, menyisakan bayangan lembut di dinding. Tidak ada suara langkah, tidak ada teriakan, tidak ada Damian.Seharusnya ia lega. Namun justru itulah yang membuat dadanya sesak.Pintu terbuka pelan. Seorang pelayan wanita masuk membawa nampan sarapan. Wajahnya tertunduk, sikapnya hati-hati, terlalu hati-hati membuat Elara semakin tak nyaman.“Di mana Damian?” tanya Elara.“Signor Morreti sedang pergi,” jawab wanita itu singkat. “Beliau berpesan untuk Nona. Anda tidak perlu keluar kamar hari ini.”Elara menelan ludah. Sebuah pesan yang menurutnya seperti rantai yang membelenggu tanpa terlihat. "Baiklah." Lagi-lagi hanya keterpaksaan. Elara tidak bisa melakukan apa pun saat ini. Kekuatan Damian sangat besar dan ia hanya seorang gadis biasa. Tidak punya kekuatan atau pun harta untuk menjaga dirinya. ♣♣♣D
Elara tidak tahu, kapan keributan itu berubah menjadi keheningan yang mencekik. Ia tidak bisa lagi melawan Damian. Dinding dingin menempel di punggungnya, napasnya terengah, sementara Damian berdiri di hadapannya seperti bayangan yang menelan cahaya. Tatapan pria itu gelap, bukan kemarahan yang meledak-ledak, melainkan sesuatu yang jauh lebih berbahaya, obsesi yang kehilangan kendali.“Kenapa kamu selalu melawan?” suara Damian rendah, serak, seolah ditahan oleh sesuatu yang bergejolak di dadanya. “Aku sudah menghancurkan siapa pun yang bisa menyakitimu.”Elara tertawa kecil dan terasa getir. “Dan kamu pikir itu membuatku aman?” Matanya basah. “Atau justru membuatku semakin terperangkap?”Damian mendekat. Terlalu dekat. Kehadirannya menekan ruang, membuat Elara merasa dunia menyempit hanya menjadi tubuh dan napas mereka. Tangannya menahan dinding di sisi kepala Elara, bukan menyentuh, tapi cukup untuk membuatnya tak bisa pergi.“Aku melindungimu,” katanya lagi, lebih keras. “Semua ini
Kabar pembantaian di Pegunungan Toscana menyebar lebih cepat dari peluru yang dilepaskan Damian Morreti saat membantai klan De Luca. Tidak butuh sehari penuh hingga nama itu bergaung di seluruh penjuru negeri dari ruang bawah tanah Napoli, gudang pelabuhan Genoa, vila-vila tua Sicilia, hingga meja perundingan gelap di luar Italia. Dunia bawah tanah yang biasanya bergerak dalam senyap kini bergemuruh oleh satu cerita yang sama.'Damian Morreti membantai satu klan sampai habis tanpa adanya negosiasi, tanpa ampun. Semua itu hanya karena seorang wanita.'Di sebuah ruang pertemuan rahasia di Roma, delapan pria duduk melingkar. Tidak ada jabat tangan, tidak ada senyum basa-basi. Hanya wajah-wajah tegang dan asap rokok yang menebal di udara.“Ini sudah kelewatan,” ujar seorang Don berambut perak, suaranya rendah namun tajam. “Keseimbangan kita hancur karena emosinya.”“De Luca memang musuh lama Morreti,” sahut yang lain, mengetukkan jarinya ke meja. “Tapi ini bukan perang klan. Ini eksekusi







