Sepulangnya Ustadzah Aisyah, aku yang akan kembali ke dapur mendengar derap suara kaki melangkah masuk.
"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumussalam," jawabku menoleh kebelakang, rupanya Darma baru saja pulang dengan menenteng belanjaan.
"Ini, Bu. Belanjanya, semoga cukup untuk stok seminggu," ucap Darma menyerahkan kantong plastik ukuran besar.
"Ya Allah, Nak. Banyak banget belanjanya," kataku berbinar sambil melihat isinya.
Ada beras sepuluh kilo, minyak goreng, sabun cuci dan sabun mandi, sampo, tepung, dan lainnya semua lengkap di beli Darma.
Saat asyik mengeluarkan isi belanjaan, Rose keluar dari kamar. Mungkin dia mendengar Darma sudah pulang.
"Mas, mana makanan pesananku?" tanyanya sambil mengambil kantong plastik dan mengacak isinya.
"Nggak beli!" sahut Darma.
"Kenapa? Mas nggak tega keluar uang untukku? Dasar pelit!" cemooh Rose memonyongkan bibirnya.
"Bukan pelit, Mas udah malu diluaran sana karena kelakuanmu," sungut Darma.
"Malu kenapa?" tanya Rose tak mengerti.
"Masih pake tanya lagi, gara-gara kamu suka bangun siang tadi Mas belanja diserbu ibu-ibu yang kepo. Kan Mas malu jadinya!" Darma menatap tajam ke arah Rose.
"Ih, itu sih gara-gara Ibu. Dia yang duluan nyebar berita kalo aku bangun siang!" cerca Rose tak mau kalah.
"Istri macam apa kamu? Yang buat salah tuh kamu kok malah nuduh Ibu, makanya jadi istri itu bangun pagi nyiapin keperluan suaminya kerja," Darma mulai emosi.
Aku segera menengahi pertengkaran mereka. "Sudah-sudah, jangan diteruskan lagi. Darma kamu susul bapak ke ladang sana, lihat ada yang dipanen nggak!"
"Iya Bu, Darma ke ladang sekarang. Dan kamu Rose bantu ibu masak kek, biar ada kerjamu sikit. Ntar kalo ada tamu yang datang nggak buat malu lagi," titah Darma berlalu dan keluar rumah.
Setelah Darma menghilang dari pandangan, aku melirik Rose yang masih duduk kesal. Mungkin saja dia marah karena disindir Darma. Aku cuma diam sambil merapikan barang belanjaan tadi ketempatnya.
"Rose!" panggilku mencoba menghiburnya.
"Apa? Masih belum puas Ibu menyiksaku, nyesel aku balik kesini lagi!" jawabnya ketus.
"Bukan begitu, Rose. Ibu tau, sebenarnya kamu baik, hanya Ibu ingin kamu merubah kebiasaan mu. Bagaimanapun kamu sudah menikah, punya suami jadi punya tanggung jawab," Aku menjelaskan biar Rose paham.
"Apa kamu udah lupa gimana dulu Darma berjuang menikahimu? Kamu pasti nggak tau kesulitan dia meminta restu orang tuamu. Bahkan Darma dipersulit tapi dia begitu bersungguh hati untuk menjadikanmu sebagai istri. Maka Ibu sangat menghargai pernikahan kalian," kataku mencoba memberi pengertian.
Rose hanya diam, ekspresi wajahnya yang tak mengerti. Semoga saja apa yang kusampaikan tadi dapat membuat dia berpikir.
"Oh ya, Ustadzah Aisyah titip salam padamu. Lihatlah, nggak semua orang menjelekkan kamu. Masih banyak yang memperhatikan, beliau juga berkata akan membantumu melewati kesulitan ini."
Rose menoleh memandangku saat aku bicara mengenai ustadzah Aisyah. Aku harap Rose tergerak hatinya untuk datang kepengajian nanti.
"Rose, nanti temani ibu ya ke rumah Ustadzah Aisyah. Kamu mau kan?" rayuku.
Rose menggeleng dan beranjak bangun kemudian masuk ke kamar lagi. Aku membiarkannya, daripada terus ribut. Sabar, pelan-pelan saja menasehatinya yang penting sedikit demi sedikit dia bisa mendengarkan yang kusampaikan.
*****
Jumat pun tiba, sedari pagi aku sudah bersiap-siap akan berangkat ke rumah Ustadzah Aisyah. Hari ini akan diadakan pengajian, banyak ibu-ibu sekitar yang di undang. Ada puluhan orang kalo dihitung, karena ada juga dari kampung sebelah.
Setelah membereskan dapur dan sarapan, aku pamit pada suamiku. "Pak, ibu pergi dulu ke rumah Ustadzah Aisyah ya!"
"Ya sudah, Bu. Ajak juga Rose biar ada kawannya," seru bapak yang akan pergi ke sawah.
Aku mengangguk, kemudian berjalan ke kamar Rose dan mengetuk pintunya. "Rose ... Ikut ibu nggak ke rumah Ustadzah Aisyah?"
Tiba-tiba pintu terbuka, terlihat Rose sedang bersiap. Aku kaget dan tak menyangka Rose mau ikut, aku menunggu di luar.
"Pake jelbab Rose, karena nanti ada pengajian," kataku saat melihat penampilannya yang hanya memakai kemeja dan celana panjang tanpa memakai kerudung.
"Ibu bawel banget, udah mau Rose ikut masih mengatur baju yang Rose pake," ucap Rose melengos dan keluar menuju pintu.
Aku menggeleng kemudian menyusul dirinya. "Ya sudah, yang penting kamu mau ikut Ibu udah senang," balasku tersenyum.
Karena rumah Ustadzah Aisyah tak terlalu jauh, kami cuma berjalan kaki kesana. Sepanjang jalan Rose hanya diam, bahkan dia berjalan agak cepat meninggalkanku dibelakang.
"Rose ... Rose, tunggu Ibu!" panggilku ngos-ngosan karena ikut percepat langkahnya.
"Ibu cepat dong jalannya, panas ini! Lambat kali sih!" teriaknya sambil terus berjalan.
Aku pun bergegas menyusul Rose, hingga kadang kakiku terantuk batu untung saja tidak jatuh.
"Eh, Rose kalo jalan itu dituntun Ibumu. Kasihan beliau!" tegur Mang Asep yang lewat naik sepeda.
"Salah Ibu, lambat banget jalannya. Panas tau nggak Mang!" ujar Rose mencibir.
Mang Asep cuma geleng-geleng kepala. "Dasar mantu jaman sekarang, nggak ada hormatnya sama mertua."
"Mau kemana, Mbak Ijah?" tanya Mang Asep padaku, ya tetangga sering manggil aku Ijah.
"Mau kerumah Ustadzah Aisyah, Mang!" jawabku tersenyum.
"Oh ya udah, saya pergi dulu ya! Pelan-pelan aja jalannya, nggak usah ngejar mantumu yang hebat itu," sindir Mang Asep.
Aku mengangguk, kemudian dengan perlahan kucoba mengatur nafas kemudian berjalan pelan. Daripada kakiku sakit lebih baik biarkan saja Rose sampai duluan.
"Walah, Mbak Ijah kasihannya! Jalan kok sendirian, itu mantumu nggak ada akhlak memang, ninggali mertua sendiri," ucap Bude Rami yang kebetulan bertemu di jalan.
"Nggak apa-apa, Ram. Biarkan aja dia sampai dulu daripada ribut di jalan. Malu!" kataku sambil menyeka keringat.
"Lagian ngapain sih dia diajak? Bikin Mbak repot aja nanti, biar aja dia tidur di rumah. Biar kalo ada gempa tertimpa sekalian," umpat Bude Rami geram.
"Husstt, jangan nyumpahi gitu Ram. Pamali, ucapan adalah doa," tegurku.
"Abisnya aku geram, Mbak. Yo Mbak kok bisa sabar ngadepinya, kalo itu mantuku udah kutendang dia dari rumah!" gerutu Bude Rami berapi-api.
"Walaupun mantuku begitu, tapi aku yakin suatu saat dia akan berubah Ram. Kita cuma dituntut bersabar dan berusaha menasehati dan juga berdoa pada Allah SWT. Allah SWT aja Maha Pengampun dan Maha Sabar, jadi kenapa kita sebagai hambanya tidak," kataku sedikit menenangkan Rami.
Rami mengangguk kemudian pamit berlalu dari hadapanku. Aku pun meneruskan langkah ke rumah Ustadzah Aisyah. Disana Rose udah sampai dan duduk di kursi sambil mengibaskan tangannya ke wajah.
"Duh, panasnya! Bagusan tadi aku di rumah aja, nggak capek-capek kesini. Tapi karena Mas Darma udah ngancem nggak ngasih uang kalo aku nggak ikut Ibu. Terpaksa deh!" keluhnya bicara sendiri.
"Apa yang terpaksa?" tanya Ustadzah Aisyah tiba-tiba muncul dan membuat Rose kaget setengah mati.
Walaupun Ustadzah Aisyah sudah mendengar jelas tapi beliau pura-pura tidak tau, untuk menjaga perasaan Rose.
"Nggak apa-apa kok Ustadzah!" jawab Rose kikuk.
"Oh ya, mana Ibumu kok nggak datang bersama?" Ustadzah Rose celingukan.
"Itu masih jalan dibelakang," jawab Rose sekenanya.
Ustadzah Aisyah geleng-geleng kepala, kemudian menyusul dan menuntunku sampai kerumah.
"Maaf Bu Khadijah, udah merepotkan untuk datang. Ibu pasti capek ya kan!"
"Nggak apa-apa, Ustadzah. Mari kita kedalam dan memasak. Apa Ustadzah udah belanja?" tanyaku.
"Sudah tadi bakda Subuh udah ke pasar, biar dapet yang masih segar!" jawab Ustadzah tersenyum.
Begitulah akhlak beliau, selain mengisi pengajian dan menyirami qolbu tiap hati manusia, beliau juga memilih yang paling baik untuk dimakan para jamaahnya.
"Ayo Bu, Rose, kita masuk kedalam. Apa Rose mau bantu Ibu memasak?"
"Ogah, Rose nggak bisa masak. Biar Ibu aja yang masak," ucap Rose menolak.
Aku menatap Ustadzah dan meminta pengertiannya agar Ustadzah Aisyah mau memaklumi.
"Kalo begitu, kamu ikut saya aja. Mau kan?" tawar Ustadzah.
"Kemana?" tanya Rose penasaran.
Seminggu setelah Rose resmi bercerai, Rose yang telah berhasil menjual rumah Mamanya segera membeli rumah di dekat sini. Darma yang membantu mencari akhirnya dapat rumah di depan kecamatan perbatasan antar kampung.Kebetulan pemilik rumah juga mau pindah, jadi Rose pun setuju membelinya. Rose sengaja pilih rumah yang tidak terlalu besar. Karena cuma ditempati sendiri, namun perabotan lengkap karena Rose membawa dari rumah Mamanya.Aku dan Fatimah membantu Rose membersihkan rumahnya, pekerjaan akan ringan bila dikerjakan bersama-sama. Darma juga membantu mengangkat dan menggeser perabot yang besar.Sore itu akhirnya pekerjaan selesai, Rose yang dibantu Fatimah memasak lauk dan menggoreng mendoan untuk cemilan. Kami semua makan dengan nikmat, beberapa tetangga juga turut membantu seperti Rami, Ratna dan Mang Asep.Kami juga berkenalan dengan tet
Sudah tiga hari, semenjak Darma dan Fatimah bulan madu, hari ini mereka mengabarkan akan pulang. Aku dan Rose pun sibuk membersihkan rumah agar setelah mereka di rumah merasa nyaman.Selama Rose di rumah, aku mengajarkannya masak. Baru beberapa hari Rose sudah bisa memasak nasi, merebus sayur dan sambal. Masih masak yang ringan dulu dikuasai, Alhamdulillah.Rose pun begitu gembira bisa memasak beberapa lauk, walaupun rasa masih terus diperbaiki tapi lumayanlah. Sengaja hari ini Rose yang masak agar Darma dan Fatimah bisa memberi nilai.Selesai pekerjaan rumah, aku dan Rose duduk santai di teras. Sambil mengobrol, Rose berbicara banyak hal dan meminta pendapatku."Bu, Rose berpikir akan menjual rumah Mama," katanya serius."Loh, kenapa dijual? Nanti setelah menikah kamu bisa tempati lagi," ucapku kaget.
Setelah bertegur sapa dan meminta maaf pada para tetangga, aku menuntun Rose masuk kedalam rumah. Karena kamar cuma dua, jadi Rose tidur dikamar bersamaku.Fatimah membantu membawakan tas Rose ke dalam kamarku. Kamarku selalu bersih dan rapi karena tiap hari disapu Fatimah. Rumah dan halaman juga bersih. Sementara Darma meletakkan rantang di dapur.Aku menyuruh Rose agar beristirahat dulu dikamar sampai pulih kembali. Rose pun menurut dan membaringkan tubuhnya di kasur. Kasur bekas pernikahan mereka dulu, karna Darma dan Fatimah sekarang memakai spring bed.Memastikan Rose tidur, aku baru keluar kamar. Fatimah berada di dapur mencuci piring, mungkin pagi tadi belum sempat mencuci. Aku pun berjalan menghampirinya."Imah, perlu ibu bantu?" tanyaku."Nggak usah, Bu! Udah mau siap, oh Imah bisa minta tolong ibu a
Sudah beberapa jam, semenjak Rose dibius belum sadar juga. Hari sudah malam, berkali-kali perawat masuk mengecek. Perawat mengatakan butuh beberapa jam untuk menghilangkan pengaruh obat bius.Aku pun melaksanakan sholat magrib di samping ranjang Rose, memohon pada Allah SWT atas kesembuhan Rose. Siap sholat, aku mengaji berharap alunan ayat suci bisa masuk meresapi ke kalbu Rose.Benar saja, saat khusyuk mengaji jari tangan Rose mulai bergerak. Diikuti mata yang terbuka, aku pun menghentikan ngaji. Tampak Rose berkedip-kedip, lalu menoleh kesamping."Rose, kamu udah sadar Nak?" tanyaku sambil mengelus bahunya."Ibu?" katanya kaget."Iya, ini ibu. Bagaimana keadaanmu? Mana yang sakit?"Rose menggeleng, kemudian dia terisak menangis. Bahunya berguncang, aku pun menepuk bahunya
Sampai di rumah, kulihat Darma baru saja keluar dari mobil. Aku dan Fatimah menyongsong kedatangan Darma dengan cemas."Gimana, keadaan Rose dan Mamanya?" tanyaku tak sabar.Darma menjatuhkan tubuhnya di kursi, sembari menghela napas. Aku dan Fatimah saling pandang ingin tau."Rose dan Mamanya udah dibawa ke rumah sakit, Bu! Mamanya Rose masuk UGD dan Rose dibius agar tenang karena terus meracau," jelas Darma."Ya, Allah! Sebenarnya ada apa kok Mamanya Rose bisa sampai di tusuk suaminya, Mas?"" tanya Fatimah."Blom diketahui apa motif penusukan itu, karena Rose sebagai saksi pun masih trauma. Jadi blom bisa dimintai keterangan, tunggu sampe Rose sadar dan normal kembali," jawab Darma.Aku hanya menggeleng sedih mendengar cerita Darma. Kasihan Rose, padahal baru saja mereguk kebahagiaan sebagai pengantin baru tapi harus mengalami kejadian mengerikan ini.Wa
Tok, tok, tok,"Imah, bangun Nak! Sudah sore, udah sholat Ashar blom?" panggilku diluar pintu kamar.Tak lama, bunyi pintu terbuka. Muncul wajah Darma yang masih ngantuk. Aku pun terkejut, ternyata Darma udah pulang."Loh, kapan kamu pulang Nak? Kok ibu nggak tau?" tanyaku."Tadi, Bu! Ibu masih tidur jadi Imah bilang nggak usah ganggu ibu jadi Darma istirahat dulu," kata Darma sambil menguap."Ya udah, kamu mandi sana sholat Ashar. Imah udah bangun blom?" tanyaku tersenyum."Blom, Bu! Sepertinya Imah ngantuk berat," ujar Darma sambil melirik istrinya."Iya, dia tadi nyuci banyak. Mau ibu bantuin tapi nggak boleh sama Imah," jelas ku.Lalu Darma keluar setelah mengambil handuk, masuk ke kamar mandi. Aku pun