Baru saja Rama menjejakkan kaki di ruangannya, tiba-tiba pintu diketuk, memunculkan wajah seseorang. Anita. Mata Rama waspada kala melihat Anita membawa sebuah map putih di tangan kirinya, dan sebuah koper hitam di tangan kanannya.
"Sesuai dengan perjanjian kontrak, jika saya keluar sebelum masa kontrak habis, maka saya harus membayar penalti." Anita mengangkat koper di tangannya, meletakkan di atas meja. Ia pun membuka koper tersebut tanpa diminta.
Seperti yang Rama cemaskan. Tumpukan uang yang ia lihat saat ini sudah bisa ditebak apa maksud kedatangan Anita menghadapnya. Tapi Rama masih bergeming di tempatnya, belum ingin mengatakan satu patah kata pun.
"Di sini, ada nominal sebesar seratus juta rupiah sesuai pembayaran penalti seperti yang disebutkan." Anita menatap Rama penuh keyakinan. "Dan ini surat pengunduran diri saya." Ia lalu menyerahkan map putih di tangannya. Meletakkannya pada meja juga.
Rama
Anita tak menyangka kalau Rama akan membawanya pulang. Namun aneh saja kalau rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada beberapa pelayan saja yang tampak lalu lalang sibuk dengan aktifitas mereka."Mama dan Papa kemana?" Anita memberanikan diri bertanya."Mereka sedang keluar. Mungkin ada sesuatu yang harus dikerjakan," jawab Rama mengira-mengira. "Duduklah! Aku akan menyuruh Bi Siti membuatkan minum untukmu."Rama meninggalkan Anita sejenak, mencari seseorang yang ia maksud tadi. Anita menunggu sambil melihat-lihat isi rumah. Tidak lama kemudian seorang perempuan datang dengan membawa dua gelas minuman. Ia tersenyum pada Anita yang telah duduk setelah puas melihat-lihat.Rama datang sesudah Bi Siti mempersilahkan Anita minum, dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Perhatian Anita tertuju pada barang yang dibawa Rama saat ini. Ketika pria itu duduk dan meletakkan benda yang dibawanya di atas meja, Anita mulai te
Seharian Anita tak menampakkan batang hidungnya di depan Heni sang mama. Ia masih belum bisa menerima kebenaran yang diungkap Rama tadi pagi. Sampai pada saat dimana Heni tak tahan lagi dengan kediaman putrinya, ia pun mulai datang mengusik."Anita, tolong keluarlah sebentar, dan kita bicara." Tidak ada jawaban apapun dari dalam. Lengang dan senyap. Heni pun mengulang panggilannya, "Kamu tidak bisa seperti ini terus, Sayang. Mengurung diri bukanlah solusi yang tepat. Keluarlah dan bicara semua dengan Mama."Heni bersorak karena pada akhirnya Anita mau membuka pintu meski awalnya ia sempat putus asa."Kau belum makan seharian," ujar Heni perlahan. Ia mengelus bahu anaknya dengan senyum yang ditautkan."Aku tidak lapar, Ma." Anita menyandarkan tubuhnya pada gawangan pintu kamar sambil bersilang tangan."Hei, meski tidak lapar, kau tetap harus makan. Mama sudah masak makanan kesukaanmu. Yuk k
Usaha untuk menemui Rama ternyata sia-sia. Rupanya pria itu tidak masuk kantor. Ada jadwal penerbangan mendadak yang mengharuskannya untuk mengurus bisnis keluar kota. Alhasil, Anita harus menunggu sampai tiga hari kemudian untuk bertemu. Dan ketika Rama telah kembali, Anita tak menyia-nyiakan waktunya. Ia menghadap Rama segera meski bukan dalam urusan pekerjaan."Ada apa? Bukankah aku tidak memanggilmu?" tanya Rama biasa saja. Ia terlihat sibuk dengan laptop di hadapannya."Aku mau bicara serius denganmu.""Ok. Katakan saja!" Rama tetap menatap layar laptopnya sambil mengetik pada keyboard."Sandi ingin bertemu denganmu."Seketika Rama menghentikan gerakan mengetiknya. Menatap pada Anita sejenak."Kekasihmu itu?""Ya.""Untuk apa?""Kau akan tau kalau sudah bertemu dengannya nanti."Rama tampak berpikir s
Anita dan mamanya tengah berdebat sengit di dalam kamar."Bagaimana bisa mereka datang bersamaan?" Anita bertanya."Kau pikir Mama tahu? Apa kau lupa dengan kejadian kemarin sore? Bukankah kau sendiri yang mengijinkan mereka bersaing dengan adil? Jadi kalau sekarang mereka ada disini bersamaan, itu sudah wajar." Heni mengingatkan cerita putrinya, semalam.Anita mendesah pelan. Raut wajahnya berubah muram. Rupanya memberi pilihan pada mereka untuk bersaing dengan sehat bukan ide yang baik. Mungkin saja Anita yang akan dibuat lelah dengan keberadaan mereka berdua nantinya."Sudahlah. Sekarang kau segera bersiap dan temui mereka segera. Mama akan mengajak mereka sarapan kalau mau.""Tidak perlu!" cegah Anita. "Kami tidak akan sarapan disini."Heni tak bisa berkata lagi. Anita keburu pergi dan mulai bersiap diri.Beberapa saat k
Rama begitu bersemangat karena sore ini bagian dirinya mengantar Anita pulang. "Selamat sore, Pak." Suara sapaan beberapa karyawan yang lewat saat Rama menunggu dengan setia di depan kubikel Anita. "Ya, selamat sore," balas Rama sambil tersenyum. Tak biasanya, pikir mereka. Rama terkenal tak acuh dan dingin. Tapi sekarang? Sejak kembali dari makan siang tadi, bahkan semua pegawai kantor melihat wajah atasannya yang berseri-seri. Sungguh ini adalah keajaiban. Bahkan meski Rama memenangkan tender milyaran rupiah, ia tak akan segembira ini. Bisik-bisik terjadi di antara para pegawai. Kebersamaan Anita dan Rama kini jadi perbincangan panas. Dan Anita menyadarinya, sementara Rama tidak ambil pusing dengan gosip yang beredar. Ia malah bersyukur seandainya Anita dengan dirinya benar-benar menjadi pasangan pada akhirnya. Anita menghela napas panjang. Astaga, ia lupa kalau sore ini Rama menung
Rama mengernyit heran, ketika tak melihat siapapun di rumah Anita. Ia pikir akan seperti kemarin, Sandi yang merupakan rival saingnya dalam mendapatkan hati Anita, akan datang mendahului. Tapi pagi ini disana tak ada satu mobil pun terparkir. Apakah jangan-jangan Sandi sudah menyerah kalah?"Duduklah, Rama. Sebentar lagi Anita keluar. Kita makan bersama sebelum kalian berangkat." Heni mempersilahkan.Dengan patuh, Rama menurut. Ia duduk di ruang tamu sambil menunggu sang pujaan. Tak lebih dari lima menit, orang yang dinantikan pun muncul."Kau sudah datang rupanya," gumam Anita saat melihat Rama telah menanti setia di ruang tamu."Nit, ajak Rama sarapan bareng kita!" teriak Heni dari dalam."Nggak usah, Ma. Lagian dia juga udah sarapan di rumahnya sendiri kok," jawab Anita setengah keberatan. Tapi siapa sangka kalau Rama akhirnya malah berdiri dengan sikap acuh tak acuhnya melewati Anita.
Baik Anita maupun Sandi dibuat terkejut dengan kehadiran Rama yang tiba-tiba. Sementara Sari, sang mama terlihat melebarkan senyum menyambut tamu tak diundang itu."Apa dia temanmu?" tanya Sari menegaskan."Ehm....D-dia....""Iya. Saya teman Sandi, Tante," potong Rama langsung dan mendekat pada perempuan yang terbaring itu. Menyalaminya sesaat sebagai salam pertemuan juga perkenalan. "Kenalkan, Tante, saya Rama.""Hmm....kenapa aku tidak pernah melihatmu, Nak Rama.""Saya sama Sandi baru saja kenal, Tante."Sementara itu Sandi cepat menyeret tangan Anita, mengajaknya keluar segera."Apa maksudnya Rama juga ada disini, Anita? Kau datang bersamanya?" todong Sandi gusar."S-San, aku bisa jelaskan semuanya." Anita tampak mengatur napas dan detak jantungnya yang mulai berpacu kencang. "Ya, aku datang kesini bareng dia. Kau lihat sendiri, di lua
Anita dan Heni masih berdebat di dapur. Permasalahan oleh-oleh yang dibawa Rama semalam sepertinya jadi topik seru untuk dibahas berulang-ulang."Mama yakin, Anita. Oleh-oleh itu bukan buat Mama." Heni mengulang perdebatan semalam yang sempat tertunda karena Anita yang sudah lelah dan tak tahan untuk segera pergi tidur. "Jelas-jelas sekali kalau ukuran Mama nggak segitu, Sayang. Dan lagi, warna yang dipilih juga bukan selera Mama. Apalagi nih, di dalamnya ada lingerienya. Masa iya Mama pakai kaya begituan.""Ya kali aja Rama tengah ngerjai Mama," sahut Anita santai. Ia mencari segelas susu yang sudah dipesan sebelumnya pada sang mama sebelum mandi tadi. "Tapi emang bener ya kalau Mama nggak nitip apa-apa sama dia?""Ya enggak lah, Nit. Lagian, kalau Mama perlu sesuatu, Mama pasti nitipnya ke kamu, bukan ke Rama."Apa yang dikatakan Heni memang ada benarnya juga. Sejak awal Anita pun juga berpikir demikian.