Wajah Grady tampak merah padam saat melihat papan kayu berwarna cokelat tua itu. Alkohol benar-benar telah membuatnya kehilangan akal sehat.
"Keluar kamu, Amora!" teriaknya lantang seraya mendobrak pintu.
Tidak berhasil dengan dobrakan pertama, lelaki itu mencobanya untuk yang kedua.
"Kamu pikir bisa sembunyi dariku, hah?!" murka Grady sebelum mendobrak pintu itu lagi.
Pintu terbuka dengan keras. Papan kayu itu nyaris hancur menghantam dinding, hingga meja yang digunakan untuk mengganjalnya ikut terbanting. Grady berdiri di ambang pintu dengan netra sayu yang sarat amarah, memindai seluruh ruangan.
"AMORA!" Suara itu menggelegar, membuat dinding di sekitarnya ikut bergetar.
Entakan pantofel menggema kuat, ketika Grady memasuki ruangan. Membuat wanita itu semakin menggigil ketakutan.
"Bukan aku pembunuhnya. Bukan aku," lirih wanita yang sedang bersembunyi di dalam lemari, memeluk lutut seraya merapalkan afirmasi untuk diri sendiri.
"Amora ...." Grady menyenandungkan nama si wanita. Terdengar merdu, namun mampu menikam kalbu. "Keluarlah, Amora! Aku tidak akan menyakitimu," lanjut lelaki itu yang jelas merupakan sebuah kebohongan besar.
Amora hanyalah nama panggung dari seorang PSK dalam sebuah situs penjaja wanita bernama Lollipop. Wanita bernama asli Evita Maharani itu tak menyangka, bahwa Arman–sugar daddy-nya adalah ayah Grady, cinta lama yang tak pernah lekang dari dalam hati.
Kemarahan Grady ini dipicu oleh kematian sang ibu. Belakangan, Grady baru tahu bahwa wanita yang telah melahirkannya itu mengakhiri hidup pasca mengetahui perselingkuhan sang suami. Satu nama tertulis dalam buku harian wanita itu. Nama yang ditulis dengan tinta darah, yaitu Amora.
Dendam membawa Grady untuk menuntut balas pada Amora. Sampai akhirnya, dia menemukan sang Lady di salah satu rumah milik ayahnya.
"Akan kupastikan kamu membayar nyawa ibuku dengan nyawamu, Amora!" ucap Grady dengan suara serupa auman singa.
Tangan lelaki itu mengepal kuat, kemudian dia kembali mengayun langkah. Tidak ada tempat lain yang Grady curigai selain lemari, karena di ruangan itu memang tidak ada celah untuk melarikan diri.
Evita membekap mulut dengan telapak tangan. Rongga dada wanita itu bergerak cepat, saat indera pendengarannya menangkap derap langkah yang mendekat. Hingga dia takut detak jantungnya yang menggila akan terdengar hingga ke luar.
'Tidak ... kumohon jangan ke sini.' Wanita itu mengharap dengan pias.
Sayangnya, harapan itu pupus ketika Grady membuka pintu lemari dengan kasar.
Mata Evita membelalak dengan wajah yang memucat.
"Gotcha!" seru Grady. Netranya yang merah karena pengaruh alkohol, tampak semakin mengerikan, seperti iblis yang baru keluar dari neraka.
Seringai lebar di bibir lelaki itu membuat Evita bergidik ngeri. Wanita itu memekik saat Grady menyeretnya keluar dari lemari.
"Jalang sialan!" Dengan kasar, Grady mengempas tubuh Evita ke lantai.
"Akh!" rintih wanita itu saat tubuhnya menghantam granit. Dia angkat wajah yang dibanjiri air mata, dengan tatapan memohon pada si lelaki.
"Bukan aku." Evita menggeleng dengan air mata yang terus mengalir. "Bukan aku yang melakukannya, Grad," ungkap Evita.
Kalimat terakhir wanita itu membuat Grady terdiam sejenak. Lelaki itu menyipitkan mata, mengumpulkan titik fokus pada Evita. Samar, sekelebat wajah melintas dalam ingatan. Namun, buru-buru lelaki itu menepisnya. Dia geleng kepala untuk mengusir wajah seseorang dari masa lalunya.
"Berani sekali kamu menyebut namaku! Dasar jalang!" geram Grady yang kembali dibutakan emosi.
Tak terima namanya terucap dari mulut Evita, Grady meraih lengan wanita itu. Dia tarik dengan kasar untuk mendekat, hingga kaki Evita nyaris terangkat.
Saat melihat wajah Evita dari dekat, lagi-lagi pikirannya terdistraksi oleh bayang wajah yang berkelebat. Lelaki itu menggeram sambil memejamkan mata, saat tak berhasil mengenali wajah dalam ingatannya.
Alkohol benar-benar membutakan Grady. Lelaki itu merasa tidak asing dengan wajah wanita ini, namun sulit sekali untuk mengingatnya. Sekeras apa pun dia mencoba, upaya itu tidak menghasilkan apa-apa.
Grady murka. Bukan hanya karena dendam yang menguasai jiwa, akan tetapi karen dia tidak dapat menemukan wajah ini di dalam ingatannya. Satu tangan lelaki itu mencengkeram lengan Evita, lalu satu lagi dia gunakan untuk mengapit wajah si wanita.
"Kamu harus membayar setiap sakit yang ibuku rasakan, Amora!" desis Grady persis di depan wajah Evita.
Aroma alkohol yang menguar dari mulut Grady, membuat kepala Evita pening. Namun, dia tidak dapat berpaling.
"Jangan, kumohon jangan. Aku nggak bunuh ibu kamu," mohon Evita dengan suara yang tidak begitu jelas.
Mata sayu Grady menyipit, memperhatikan wajah Evita baik-baik. Lagi-lagi, dia seperti teringat akan sesuatu, namun tidak tahu apa. Detik berikutnya, sebuah seringai terukir di bibir lelaki itu.
"Sepertinya ... mati adalah hukuman yang terlalu mudah untukmu. Jadi akan kubuat kamu menderita hingga kamu akan memohon kematian padaku," ujar Grady.
Sumpah demi apa pun! Mendengar ucapan Grady membuat Evita ketakutan setengah mati. Siksaan apa yang akan lelaki itu lakukan? Sesungguhnya, bukan sakit pada fisik yang Evita khawatirkan, melainkan luka batin yang mungkin akan membekas selamanya. Karena setiap rasa sakit yang ditorehkan oleh lelaki itu, akan menggores luka yang lebih dalam lagi pada hatinya.
Grady menyeret Evita lalu melempar tubuh wanita itu ke atas ranjang. Dalam gerakan cepat, Grady sudah mengungkung tubuh wanita itu dan mengunci pergerakannya hingga tak berkutik.
Upaya Evita untuk melepaskan diri pun hanya berakhir sia-sia. Wanita itu menggerakkan kaki dengan brutal, namun tak mampu membuat Grady menyingkir dari atas tubuhnya.
"Grady, kumohon jangan lakukan ini." Evita berharap belas kasih dari si lelaki.
Sayangnya, Grady sama sekali tidak peduli. Apalagi saat dari celah bibir wanita itu terucap namanya lagi, Grady semakin terpancing emosi.
"Jangan pernah menyebut namaku dengan mulut kotormu, Jalang Sialan!" murka lelaki itu.
Satu tangan Grady mengunci tangan Evita di atas kepala, lalu dia apit wajah wanita itu dengan jemari tangannya yang lain. Lelaki itu menyeringai, kemudian berkata, "Aku akan membuatmu tidak pernah bisa melupakan malam ini, Amora."
Netra Evita membola. Ketika Grady menyerbu bibir Evita dengan ciumannya, wanita itu tidak kuasa melakukan perlawanan. Ingin berpaling pun dia tak bisa, karena tangan Grady terus mengapit wajahnya. Lelaki itu menciumnya dengan sangat kasar, hingga Evita beberapa kali menjerit ketika rasa nyeri menyerang. Evita yakin bibirnya robek, karena dia dapat merasakan asin darah yang bercampur dengan aroma khas cairan merah itu di mulutnya.
Grady baru melepas ciumannya saat merasa puas membuat Evita tersiksa. Napas lelaki itu terdengar keras dengan ritme cepat. Membuat dada bidang yang terbalut kemeja putih itu turut bergerak mengikuti tarikan napas. Netra sayunya menatap Evita dengan penuh kebencian.
"Kamu mencari masalah dengan orang yang salah, Amora!" Lelaki itu mendengkus sinis dengan netra menatap bengis. "Aku yakin kamu sudah terbiasa memuaskan banyak lelaki. Dan sekarang ... mari kita lihat, apakah kamu bisa memuaskanku?" lanjutnya dengan seringai iblis yang terukir di bibir.
Hanya tangis yang menjadi teman Evita, saat lelaki yang dia cintai itu mencumbunya dengan kasar. Sama sekali tidak ada kelembutan, Grady menggagahinya dengan penuh amarah. Dalam keadaan tanpa sehelai benang pun yang menutupi tubuhnya, Grady mengikat tangan Evita pada tiang ranjang dengan ikat pinggang. Sementara lelaki itu benar-benar memperlakukannya seperti wanita hina untuk memuaskan nafsunya. "Eergh ...!" Grady menggeram dengan gerakan yang semakin cepat mengoyak raga Evita. Wajahnya merah padam, menjelang ledakan gairah di puncak kenikmatan. Hingga akhirnya lelaki itu melenguh panjang dengan tubuh yang mengejang. Napasnya terdengar berat, saat tekanan di pangkal paha Evita terasa semakin kuat.Otak Evita terasa beku. Tubuhnya pun lunglai dan tak ada perlawanan lagi atas apa yang dilakukan Grady. Dia hanya bisa pasrah, ketika lelaki itu kembali mencumbunya. Mungkin Grady merasa tidak ada lagi perlawanan yang Evita lakukan, sehingga lelaki itu melepas ikatan tangannya. Sayang, tub
Perlakuan tidak menyenangkan yang diterima Evita selama bekerja di Neo Creative memang sudah menjadi makanan sehari-hari. Hinaan, cibiran, dan tatapan merendahkan, sudah sering Evita dapatkan. Entah apa yang membuat mereka begitu tidak menyukai Evita, karena wanita itu merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang neko-neko. Namun, baru kali ini ada pegawai yang berani melakukan tindakan di luar batas. Lalu, tiba-tiba saja seseorang muncul menyelamatkan dirinya. Evita merasa begitu lega, namun saat melihat sosok itu, mendadak wajah Evita menjadi pucat. 'Grady?' Evita hanya dapat menyebut nama lelaki itu di dalam hati.Sekujur tubuh Evita terasa membeku. Jantung di dalam dadanya mengentak dengan kuat, hingga rasanya seperti akan melompat. Evita mendengar semuanya, ketika lelaki itu menegaskan siapa dia dan apa saja yang dapat dilakukannya terhadap Willy. Buru-buru wanita itu menundukkan kepala, setengah memutar badan agar Grady tidak melihat wajahnya.Sudah satu tahun, dan Evita pun tel
Ibarat kanebo yang direndam air, Evita merasa seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Sendi-sendi di sekujur tubuhnya terasa begitu lemas, hingga untuk memegang gagang kemoceng saja dia tidak memiliki kekuatan.Suara benda jatuh yang tak begitu keras, membuat Evita tersadar bahwa dia masih berada di bumi. Kakinya masih berpijak di lantai granit yang setiap hari dia bersihkan.Wanita itu buru-buru menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah dari lelaki itu."Maaf, Pak. Tapi itu bukan saya," ucap Evita seraya memungut kemoceng yang dia jatuhkan. Wanita itu lantas memutar badan, melanjutkan pekerjaannya dengan gugup dan masih berpura-pura tidak mengenali Grady."Berhenti meminta maaf, Ev. Apa begini cara kamu membalas sapaan teman lama?" tanya Grady untuk kembali menarik perhatian Evita.Gerakan tangan Evita yang sedang membersihkan meja pun terhenti. Meski tak melihat ke arah Grady, namun dia tahu bahwa lelaki itu sedang berjalan mendekat padanya.'Apa yang harus kulakukan? Tuh
Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.Evita menoleh dengan tatapan malas.“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang
Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka
Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran
Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m
“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl