Share

Bab 5. Tinggal Bersama Kenangan

Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!

Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.

“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.

Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.

“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.

“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.

Evita menoleh dengan tatapan malas.

“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang dia kenakan.

Ranti meletakkan botol minum lalu memutar badan ke arah temannya tersebut.

“Beb, kamu itu sadar nggak sih? Mukamu itu bukan muka office girl. Muka kamu itu muka-muka mahal. Kalau kita bertiga berdiri jejeran di depan cermin, yang ada aku sama Dewi itu kelihatan buluk banget, kayak dayang yang berdiri di samping Putri Mahkota—”

“Woy! Muka kamu aja tuh yang buluk. Aku kan rutin pake skincare,” potong Dewi.

“Skincare abal-abal!” sahut Ranti. “Hati-hati loh, bisa burik itu muka lama-lama,” lanjutnya menakut-nakuti.

“Ya mau gimana lagi? Duitnya cuma cukup buat beli itu.” Dewi tertawa renyah.

“Itu sih mau cantik tapi nggak ada modal!” sahut Ranti.

“Terus … apa aku harus cari modal dari sugar daddy?” canda Dewi.

Candaan itu membuat pikiran Evita berselancar ke masa lalu, pada kenangan tentang Arman—sugar daddy alias ayah kandung Grady. Wanita itu menyandarkan kepala pada tembok, tak mendengarkan lagi ocehan dua temannya yang masih saling mengejek. Pikiran Evita justru melanglang buana pada salah satu obrolannya dengan Arman.

“Hari ini anak bungsu saya akan datang ke Jakarta,” ujar Arman saat sedang bersama Evita.

“Anak bungsu? Bukannya anak Om cuma satu, ya?” Evita mengerutkan wajah.

Arman terkekeh lalu mengelus kepala Evita yang bersandar di dadanya.

“Anak saya dua. Memang yang bungsu ini dari kecil tidak tinggal bersama kami, tapi sama neneknya.” Lelaki paruh baya itu menjelaskan.

“Terus, kenapa tiba-tiba mau tinggal sama Om?” tanya Evita seraya menengadah, melihat pada Arman.

“Dia bilang, pengin lebih dekat dengan ibunya,” jawab Arman.

“Tapi kan ….” Evita tidak melanjutkan ucapannya karena takut akan membuat Arman tersinggung.

Lelaki itu tersenyum kecil. “Dia ingin tinggal bersama kenangan ibunya,” ujar Arman dengan nada lembut, seperti sedang memberi penjelasan pada putri kesayangannya.

Dari semua lelaki yang pernah menggunakan jasa Evita, Arman adalah orang yang bisa membuat wanita itu merasa nyaman. Kenyamanan yang dia rindukan dari figur seorang ayah. Terlebih lagi karena Arman tidak serta merta memperlakukan Evita seperti wanita murahan yang harus melayani kebutuhan biologisnya setiap kali bertemu. Mereka bahkan lebih sering menghabiskan waktu hanya untuk mengobrol dan berpelukan. Seperti sedang mengisi kekosongan di hati masing-masing.

Karena penasaran dengan anak bungsu Arman, Evita merengek untuk ikut menjemput anak itu di stasiun. Dia berjanji untuk tidak menampakkan diri di hadapan sang anak dan hanya ingin melihat dari kejauhan. Hingga akhirnya, Arman pun memperbolehkan Evita ikut bersamanya.

Semula, Evita mengira bahwa anak Arman masih remaja. Namun, ketika melihat sosok yang datang menghampiri dan memeluk lelaki tersebut, saat itulah badai dahsyat menghantam benak Evita. Dia tidak pernah menyangka, bahwa dia akan melihat lelaki yang namanya selalu tersimpan rapi di hatinya dalam kondisi seperti ini. Evita merasa hancur berkeping-keping saat tahu bahwa anak dari sugar daddy-nya adalah Grady, lelaki yang dia pikir tidak akan pernah dia temui lagi. Dan dari situlah nestapa itu bermula, yang membuat Evita akhirnya memutuskan untuk berhenti menjual diri.

Sudah satu minggu semenjak Grady memimpin Neo Creative, akan tetapi Evita belum bertemu dengan lelaki itu lagi. Sebenarnya ini bagus untuk menghindari “serangan jantung” yang sewaktu-waktu dapat menewaskannya. Namun, tak tahu mengapa, dia juga merasa gelisah. Terselip keinginan untuk melihat sosok itu lagi, meski dia tahu hal tersebut hanya akan membuat batinnya semakin tersiksa.

“Tuh kan bener, pada ngumpul di sini,” ucap seorang staf yang membuat ketiga office girl itu berpaling.

“Kan lagi istirahat, Mbak,” ucap Dewi.

“Aku nggak ngomong sama kamu.” Staf itu lantas berpaling pada Evita. “Eh, itu mejaku ketumpahan bubur ayam. Bersihin dulu gih! Cepet, ya! Mau dipakai kerja,” perintah staf itu dengan raut judes.

Setelah memberi perintah, staf itu langsung pergi begitu saja. Membuat tiga office girl di sana melongo, seperti baru saja melihat setan penghuni tangga yang melintas.

“Apa susahnya sih bilang ‘tolong’? Gitu amat jadi orang,” gerutu Ranti.

“Lagian siang-siang makan bubur ayam, kayak orang bengek aja,” sahut Dewi yang tak kalah kesal.

Evita sendiri hanya menanggapi dengan senyuman. Dia bereskan kotak makan miliknya lalu bangkit.

“Ev, sekali-sekali lawan dong kalau ada yang seenaknya begitu,” kata Dewi yang juga turut membereskan bekas makan siangnya.

“Buat apa? Buat nunjukin kalau aku sama buruknya sama dia? Lagian, bersih-bersih kan emang tugas kita,” sahut Evita.

“Ya tapi nggak seenaknya gitu juga kali. Kita ini juga manusia, punya hati. Biar kata derajat kita beda sama dia, tapi kita juga karyawan di sini. Merintah sih merintah, tapi bisa kan pakai bahasa yang lebih enak didengar,” timpal Ranti yang emosi dengan sikap staf tadi.

“Positive thinking saja. Barangkali dia dulu lulus kuliahnya nyogok,” balas Evita santai. “Udah, ah. Aku mau kerja dulu,” lanjutnya yang lantas meninggalkan tempat tersebut.

Bukannya Evita lemah, dia bisa saja melawan. Bahkan jika harus berkelahi dengan wanita itu, dia pun berani. Hanya saja … untuk apa? Jika dia melawan, yang ada malah dia akan mendapatkan semakin banyak musuh. Namun, ini juga tidak berarti bahwa dia akan diam saja, jika yang dilakukan terhadapnya sudah kelewat batas.

Dengan membawa peralatan yang dibutuhkan, Evita datang ke meja yang katanya ketumpahan bubur ayam. Dengan telaten, wanita itu membersihkan meja bahkan lantai di bawahnya. Entah apa yang terjadi di sana, hingga bubur ayamnya bisa berceceran seperti itu.

“Pintar juga ya dia cari muka sama si Bos.”

Sejenak gerakan tangan Evita berhenti ketika mendengar kalimat tersebut terucap dari salah satu staf.

“Berlagak lemah, tapi aslinya kayak siluman rubah,” timpal yang lainnya sambil tertawa menghina.

Beginilah yang dialami Evita selama satu minggu terakhir. Memang nama Evita tidak disebut. Dia pun ingin sekali mengelak bahwa yang dibicarakan orang-orang itu adalah dirinya. Namun, batin Evita tidak bisa berbohong.

‘Abaikan saja, Ev! Cepat selesaikan pekerjaanmu lalu pergi dari ruangan ini,’ batin Evita seraya menggerakkan tangan lebih cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Evita menulikan telinga, tidak ingin mendengar obrolan toxic tersebut. Begitu selesai, Evita buru-buru membereskan peralatan dan meninggalkan ruangan itu. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Grady berdiri di depan pintu dengan raut wajah mengeras. Evita menahan napas, apakah Grady mendengar apa yang tadi mereka katakan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status