Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!
Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.
“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.
Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.
“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.
“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.
Evita menoleh dengan tatapan malas.
“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang dia kenakan.
Ranti meletakkan botol minum lalu memutar badan ke arah temannya tersebut.
“Beb, kamu itu sadar nggak sih? Mukamu itu bukan muka office girl. Muka kamu itu muka-muka mahal. Kalau kita bertiga berdiri jejeran di depan cermin, yang ada aku sama Dewi itu kelihatan buluk banget, kayak dayang yang berdiri di samping Putri Mahkota—”
“Woy! Muka kamu aja tuh yang buluk. Aku kan rutin pake skincare,” potong Dewi.
“Skincare abal-abal!” sahut Ranti. “Hati-hati loh, bisa burik itu muka lama-lama,” lanjutnya menakut-nakuti.
“Ya mau gimana lagi? Duitnya cuma cukup buat beli itu.” Dewi tertawa renyah.
“Itu sih mau cantik tapi nggak ada modal!” sahut Ranti.
“Terus … apa aku harus cari modal dari sugar daddy?” canda Dewi.
Candaan itu membuat pikiran Evita berselancar ke masa lalu, pada kenangan tentang Arman—sugar daddy alias ayah kandung Grady. Wanita itu menyandarkan kepala pada tembok, tak mendengarkan lagi ocehan dua temannya yang masih saling mengejek. Pikiran Evita justru melanglang buana pada salah satu obrolannya dengan Arman.
“Hari ini anak bungsu saya akan datang ke Jakarta,” ujar Arman saat sedang bersama Evita.
“Anak bungsu? Bukannya anak Om cuma satu, ya?” Evita mengerutkan wajah.
Arman terkekeh lalu mengelus kepala Evita yang bersandar di dadanya.
“Anak saya dua. Memang yang bungsu ini dari kecil tidak tinggal bersama kami, tapi sama neneknya.” Lelaki paruh baya itu menjelaskan.
“Terus, kenapa tiba-tiba mau tinggal sama Om?” tanya Evita seraya menengadah, melihat pada Arman.
“Dia bilang, pengin lebih dekat dengan ibunya,” jawab Arman.
“Tapi kan ….” Evita tidak melanjutkan ucapannya karena takut akan membuat Arman tersinggung.
Lelaki itu tersenyum kecil. “Dia ingin tinggal bersama kenangan ibunya,” ujar Arman dengan nada lembut, seperti sedang memberi penjelasan pada putri kesayangannya.
Dari semua lelaki yang pernah menggunakan jasa Evita, Arman adalah orang yang bisa membuat wanita itu merasa nyaman. Kenyamanan yang dia rindukan dari figur seorang ayah. Terlebih lagi karena Arman tidak serta merta memperlakukan Evita seperti wanita murahan yang harus melayani kebutuhan biologisnya setiap kali bertemu. Mereka bahkan lebih sering menghabiskan waktu hanya untuk mengobrol dan berpelukan. Seperti sedang mengisi kekosongan di hati masing-masing.
Karena penasaran dengan anak bungsu Arman, Evita merengek untuk ikut menjemput anak itu di stasiun. Dia berjanji untuk tidak menampakkan diri di hadapan sang anak dan hanya ingin melihat dari kejauhan. Hingga akhirnya, Arman pun memperbolehkan Evita ikut bersamanya.
Semula, Evita mengira bahwa anak Arman masih remaja. Namun, ketika melihat sosok yang datang menghampiri dan memeluk lelaki tersebut, saat itulah badai dahsyat menghantam benak Evita. Dia tidak pernah menyangka, bahwa dia akan melihat lelaki yang namanya selalu tersimpan rapi di hatinya dalam kondisi seperti ini. Evita merasa hancur berkeping-keping saat tahu bahwa anak dari sugar daddy-nya adalah Grady, lelaki yang dia pikir tidak akan pernah dia temui lagi. Dan dari situlah nestapa itu bermula, yang membuat Evita akhirnya memutuskan untuk berhenti menjual diri.
Sudah satu minggu semenjak Grady memimpin Neo Creative, akan tetapi Evita belum bertemu dengan lelaki itu lagi. Sebenarnya ini bagus untuk menghindari “serangan jantung” yang sewaktu-waktu dapat menewaskannya. Namun, tak tahu mengapa, dia juga merasa gelisah. Terselip keinginan untuk melihat sosok itu lagi, meski dia tahu hal tersebut hanya akan membuat batinnya semakin tersiksa.
“Tuh kan bener, pada ngumpul di sini,” ucap seorang staf yang membuat ketiga office girl itu berpaling.
“Kan lagi istirahat, Mbak,” ucap Dewi.
“Aku nggak ngomong sama kamu.” Staf itu lantas berpaling pada Evita. “Eh, itu mejaku ketumpahan bubur ayam. Bersihin dulu gih! Cepet, ya! Mau dipakai kerja,” perintah staf itu dengan raut judes.
Setelah memberi perintah, staf itu langsung pergi begitu saja. Membuat tiga office girl di sana melongo, seperti baru saja melihat setan penghuni tangga yang melintas.
“Apa susahnya sih bilang ‘tolong’? Gitu amat jadi orang,” gerutu Ranti.
“Lagian siang-siang makan bubur ayam, kayak orang bengek aja,” sahut Dewi yang tak kalah kesal.
Evita sendiri hanya menanggapi dengan senyuman. Dia bereskan kotak makan miliknya lalu bangkit.
“Ev, sekali-sekali lawan dong kalau ada yang seenaknya begitu,” kata Dewi yang juga turut membereskan bekas makan siangnya.
“Buat apa? Buat nunjukin kalau aku sama buruknya sama dia? Lagian, bersih-bersih kan emang tugas kita,” sahut Evita.
“Ya tapi nggak seenaknya gitu juga kali. Kita ini juga manusia, punya hati. Biar kata derajat kita beda sama dia, tapi kita juga karyawan di sini. Merintah sih merintah, tapi bisa kan pakai bahasa yang lebih enak didengar,” timpal Ranti yang emosi dengan sikap staf tadi.
“Positive thinking saja. Barangkali dia dulu lulus kuliahnya nyogok,” balas Evita santai. “Udah, ah. Aku mau kerja dulu,” lanjutnya yang lantas meninggalkan tempat tersebut.
Bukannya Evita lemah, dia bisa saja melawan. Bahkan jika harus berkelahi dengan wanita itu, dia pun berani. Hanya saja … untuk apa? Jika dia melawan, yang ada malah dia akan mendapatkan semakin banyak musuh. Namun, ini juga tidak berarti bahwa dia akan diam saja, jika yang dilakukan terhadapnya sudah kelewat batas.
Dengan membawa peralatan yang dibutuhkan, Evita datang ke meja yang katanya ketumpahan bubur ayam. Dengan telaten, wanita itu membersihkan meja bahkan lantai di bawahnya. Entah apa yang terjadi di sana, hingga bubur ayamnya bisa berceceran seperti itu.
“Pintar juga ya dia cari muka sama si Bos.”
Sejenak gerakan tangan Evita berhenti ketika mendengar kalimat tersebut terucap dari salah satu staf.
“Berlagak lemah, tapi aslinya kayak siluman rubah,” timpal yang lainnya sambil tertawa menghina.
Beginilah yang dialami Evita selama satu minggu terakhir. Memang nama Evita tidak disebut. Dia pun ingin sekali mengelak bahwa yang dibicarakan orang-orang itu adalah dirinya. Namun, batin Evita tidak bisa berbohong.
‘Abaikan saja, Ev! Cepat selesaikan pekerjaanmu lalu pergi dari ruangan ini,’ batin Evita seraya menggerakkan tangan lebih cepat untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Evita menulikan telinga, tidak ingin mendengar obrolan toxic tersebut. Begitu selesai, Evita buru-buru membereskan peralatan dan meninggalkan ruangan itu. Namun, alangkah terkejutnya dia ketika melihat Grady berdiri di depan pintu dengan raut wajah mengeras. Evita menahan napas, apakah Grady mendengar apa yang tadi mereka katakan?
Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka
Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran
Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m
“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl
Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin
“Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa
“Evita! Evita!” panggilan itu sejurus dengan gedoran pintu yang begitu keras.Kaget dengan suara berisik itu, Evita yang masih terlelap pun langsung membuka mata. Dan, seketika itu rasa nyeri menyerang kepala.“Ssh ... aduh,” desisnya sambil memegang kepala. “Apaan sih itu anak,” ujarnya sambil menahan rasa sakit yang menusuk.“Ev, buka pintunya! Aku tahu kamu masih hidup!” teriak Ranti sambil menggedor pintu.Netra Evita menyipit, menoleh ke arah jendela yang manampakkan siluet seseorang tengah mengintip ke dalam. Evita yakin orang itu adalah Dewi. Dia lantas menyingkap selimut, berniat untuk membukakan pintu. Akan tetapi, ketika kakinya menekuk, wanita itu kembali terduduk sambil mengaduh kesakitan. Lututnya terasa kaku, dan terasa lebih nyeri dibandingkan tadi malam.“Sakit banget, sih,” keluhnya.Mengantisipasi Ranti yang mungkin akan menjebol pintu kamarnya, Evita memaksakan diri untuk bangkit. Pelan-pelan, dia angkat badan tanpa menekuk kakinya yang terluka. Setelah berdiri, bar
Selama beberapa waktu, Evita mematung. Pandangannya tak lepas dari sosok lelaki yang kini berdiri di depan pintu kamarnya. Sampai dia tersadar bahwa lelaki ini adalah lelaki yang sama dengan yang dia tampar semalam. Evita mundur satu langkah, lalu menarik daun pintu untuk menutupnya.“Tunggu!” cegah Grady seraya menahan papan kayu tersebut. “Jangan tutup pintunya,” ujar lelaki itu.Evita memalingkan wajah sambil membasahi bibir. “Mau apa lagi kamu ke sini?” tanyanya.Kejadian semalam membuat dada Evita terasa sesak. Wanita itu enggan melihat pada Grady karena dia tidak ingin lelaki itu melihat kelemahannya. Mati-matian Evita menahan air mata agar tidak tumpah, karena dia tidak ingin terlihat lemah.“Aku cuma ingin memastikan kalau kamu sudah minum obat. Aku juga harus memastikan kalau sebelum minum obat, kamu sudah makan,” jawab lelaki itu seraya mengangkat kantong kresek di tangannya.“Aku bisa mengurus diriku sendiri. Kamu nggak perlu repot-repot seperti ini,” balas Evita.Grady mel