Share

Bab 4. Kontradiktif

Ibarat kanebo yang direndam air, Evita merasa seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Sendi-sendi di sekujur tubuhnya terasa begitu lemas, hingga untuk memegang gagang kemoceng saja dia tidak memiliki kekuatan.

Suara benda jatuh yang tak begitu keras, membuat Evita tersadar bahwa dia masih berada di bumi. Kakinya masih berpijak di lantai granit yang setiap hari dia bersihkan.

Wanita itu buru-buru menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah dari lelaki itu.

"Maaf, Pak. Tapi itu bukan saya," ucap Evita seraya memungut kemoceng yang dia jatuhkan. Wanita itu lantas memutar badan, melanjutkan pekerjaannya dengan gugup dan masih berpura-pura tidak mengenali Grady.

"Berhenti meminta maaf, Ev. Apa begini cara kamu membalas sapaan teman lama?" tanya Grady untuk kembali menarik perhatian Evita.

Gerakan tangan Evita yang sedang membersihkan meja pun terhenti. Meski tak melihat ke arah Grady, namun dia tahu bahwa lelaki itu sedang berjalan mendekat padanya.

'Apa yang harus kulakukan? Tuhan, tolong aku!' batin Evita menjerit, seiring dengan jantung yang mengentak tak keruan. Tangannya pun semakin erat memegang kemoceng, seolah menjadikan benda tersebut sebagai pelampiasan rasa gusar.

Entakan sepatu kulit itu berhenti persis di belakang si wanita. Grady memandang punggung Evita yang tampak lebih ramping dibandingkan saat mereka bertemu dalam acara prom night. Menunjukkan bahwa fisik wanita itu sekarang sudah lebih dewasa.

"Aku tahu kamu mengenaliku. Aku sudah membaca CV kamu, dan aku yakin kamu adalah Evita Maharani, teman sebangkuku dulu," ujar Grady.

Saat di pantry, Grady merasa sangat yakin bahwa dia tidak salah mengenali. Oleh sebab itu, dia meminta data diri si wanita dari HRD untuk memastikannya.

Evita menggigit bibir dalamnya kuat-kuat seraya memejamkan mata sesaat. Bodoh sekali! Harusnya dia tahu kalau Grady akan melakukan ini. Dalam CV itu tertulis lengkap data diri yang menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang sama dengan gadis yang dulu pernah duduk satu bangku dengan lelaki tersebut. Sehingga, aksi pura-pura ini semakin terlihat bodoh untuk dilakukan.

'Sepertinya aku memang nggak bisa mengelak lagi,' batin wanita itu.

Perlahan, Evita memutar badan. Masih dengan kepala menunduk, dia memberanikan diri untuk menghadap sepenuhnya pada lelaki itu. Lalu, perlahan dia angkat pandangan, hingga tatapan keduanya berada dalam satu garis lurus.

'Sial!' umpat Evita di dalam hati.

Adalah sebuah kesalahan, ketika dia menjatuhkan pandangannya pada netra cekung lelaki itu. Evita merasa seperti tersedot ke masa lalu, di mana dadanya selalu berdebar-debar saat sedang berdekatan dengan Grady. Ah salah! Perasaan itu sebenarnya memang tak pernah lekang dari dalam hati. Terlepas dari apa yang pernah dilakukan oleh si lelaki.

"Maafkan saya, Pak," ucapnya.

Evita tidak membenarkan ataupun menyangkal bahwa dia memang orang yang dimaksud Grady. Dia juga tetap berusaha untuk bersikap profesional di tengah gemetar yang dia rasa. Bagaimanapun juga, sekarang mereka sedang ada di kantor, yang mana Grady adalah bos sementara dia hanya office girl. Bukan teman sebangku seperti yang dikatakan lelaki itu.

"Tidak perlu bersikap formal," ucap Grady sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku masih Grady yang sama dengan teman SMA kamu dulu," lanjut lelaki itu.

"Tapi sekarang Bapak adalah atasan saya. Saya harus tetap bersikap hormat kepada Bapak," balas Evita, tak berani melihat wajah Grady lagi karena khawatir akan semakin tersesat dalam kekaguman yang menyesakkan dada.

Grady melipat siku, dia lihat jarum pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Lalu, netranya kembali melihat pada Evita yang tertunduk dalam. Lelaki itu mendengkus pelan, melipat bibir sambil mengalihkan pandang sekilas. Sikap Evita ini mengingatkan Grady pada gadis cantik yang selalu membuatnya senyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Berdehem untuk menahan senyum di bibirnya, Grady lantas berkata, “Sudah bukan jam kerja. Jadi … kita masih menjadi teman, kan?”

Bibir Evita terasa begitu nyeri karena terus dia gigit. Jujur saja, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin sekali Evita meminjam invisibility cloak milik Harry Potter atau cincin Frodo dari film Lord of The Rings, lalu menghilang dari ruangan tak beroksigen itu. Namun, dia sadar bahwa dia tidak hidup di dunia sihir. Dia masih hidup di dunia nyata dan sekarang sedang berhadapan dengan lelaki yang menggenggam hatinya. Ini buruk, dan tidak ada hal yang lebih buruk lagi dibandingkan dengan terjebak di ruangan ini bersama Grady.

“Umh … gimana kalau habis ini kita jalan sebentar? Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Aku pengin ngobrol sama kamu,” ajak Grady.

‘Mampus!’ rutuk Evita di dalam hati.

Jalan sama Grady? Yang ada Evita akan mati berdiri. Berhadapan dengan lelaki itu saja rasanya dia sudah tak berdaya, apalagi jika harus jalan dengannya?

“Maaf, Pak. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi … saya masih banyak pekerjaan,” tolak Evita sebisanya.

Grady menggerak-gerakkan bibir sambil terus memandang Evita yang terlihat enggan untuk melihat dirinya. Lelaki itu pun memutar otak, mencari cara lain untuk dapat mengobrol dengan si wanita.

“Oke. Kita bisa ngobrol lain kali kalau pekerjaan kamu sudah selesai.” Grady tersenyum tipis. “Tapi … boleh aku menyela pekerjaanmu sebentar? Sebagai pemimpin Neo Creative, aku ingin bertanya tentang beberapa hal sama kamu. Oh, kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya akan bertanya beberapa hal tentang perusahaan ini,” ucap Grady.

Evita menjilat bibir. Samar-samar, dia melemaskan bahu. Jika sudah menggunakan jabatan sebagai pemimpin perusahaan ini, apa yang bisa Evita lakukan? Meski Grady mengatakan hanya ingin bertanya tentang perusahaan, tetapi Evita yakin bahwa lelaki itu memiliki tujuan yang lain.

Melihat Evita diam saja, Grady menarik satu kursi ke hadapan wanita itu. Lalu, dia tarik satu kursi lagi untuk dia duduki sendiri.

“Duduk sini,” titah Grady dengan senyuman yang membuat lelaki itu terlihat berkali-kali lipat lebih memesona.

Evita menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tak bisa lagi menghindar, wanita itu lantas duduk di kursi yang Grady ambilkan.

Senyum di bibir Grady seakan tidak mau berhenti. Lelaki itu terlihat puas, bisa membuat Evita bersedia duduk bersamanya untuk mengobrol sebentar. Memang sedikit licik, menggunakan jabatannya untuk membuat wanita itu menurut. Namun, ini sepadan. Ketika Grady mengatakan bahwa dia ingin bertanya beberapa hal tentang perusahaan, lelaki itu mengatakan yang sebenarnya. Memang ada beberapa hal yang ingin dia ketahui tentang Neo Creative, yang tidak akan bisa dijawab oleh pegawai selain Evita.

Grady mengawali pertanyaannya dengan berdehem. Raut di wajahnya pun berubah serius, karena yang ingin dia tanyakan juga serius.

“Apa kejadian seperti tadi pagi sering kamu alami di sini?” tanya Grady tanpa basa-basi.

Sekilas Evita mengangkat wajah, terkejut karena Grady mengungkit masalah itu lagi. Padahal Willy sudah menerima SP sebagai sanksi atas perbuatannya.

“Mulai hari ini, aku yang memimpin Neo Creative. Jadi aku minta kamu jawab dengan jujur. Aku tidak mau perusahaan ini memberi makan orang-orang yang tidak bisa menghargai wanita. Bahkan jika perlu, aku akan memecat siapa saja yang melakukan tindak pelecehan semacam ini. Bukan hanya ke kamu. Jika ada pegawai lain yang mendapat perlakuan seperti itu, maka aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.” Grady menatap kedua manik Evita lekat-lekat. “Dengarkan aku, Evita. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan hal seperti itu lagi sama kamu. Aku akan melindungi kamu,” lanjut Grady yang sukses membuat hati Evita meleleh hingga ke perut.

Sikap yang sangat kontradiktif. Andai Grady tahu siapa Evita sebenarnya, apakah mungkin dia masih bisa mengatakan hal semacam itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status