Ibarat kanebo yang direndam air, Evita merasa seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Sendi-sendi di sekujur tubuhnya terasa begitu lemas, hingga untuk memegang gagang kemoceng saja dia tidak memiliki kekuatan.
Suara benda jatuh yang tak begitu keras, membuat Evita tersadar bahwa dia masih berada di bumi. Kakinya masih berpijak di lantai granit yang setiap hari dia bersihkan.
Wanita itu buru-buru menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah dari lelaki itu.
"Maaf, Pak. Tapi itu bukan saya," ucap Evita seraya memungut kemoceng yang dia jatuhkan. Wanita itu lantas memutar badan, melanjutkan pekerjaannya dengan gugup dan masih berpura-pura tidak mengenali Grady.
"Berhenti meminta maaf, Ev. Apa begini cara kamu membalas sapaan teman lama?" tanya Grady untuk kembali menarik perhatian Evita.
Gerakan tangan Evita yang sedang membersihkan meja pun terhenti. Meski tak melihat ke arah Grady, namun dia tahu bahwa lelaki itu sedang berjalan mendekat padanya.
'Apa yang harus kulakukan? Tuhan, tolong aku!' batin Evita menjerit, seiring dengan jantung yang mengentak tak keruan. Tangannya pun semakin erat memegang kemoceng, seolah menjadikan benda tersebut sebagai pelampiasan rasa gusar.
Entakan sepatu kulit itu berhenti persis di belakang si wanita. Grady memandang punggung Evita yang tampak lebih ramping dibandingkan saat mereka bertemu dalam acara prom night. Menunjukkan bahwa fisik wanita itu sekarang sudah lebih dewasa.
"Aku tahu kamu mengenaliku. Aku sudah membaca CV kamu, dan aku yakin kamu adalah Evita Maharani, teman sebangkuku dulu," ujar Grady.
Saat di pantry, Grady merasa sangat yakin bahwa dia tidak salah mengenali. Oleh sebab itu, dia meminta data diri si wanita dari HRD untuk memastikannya.
Evita menggigit bibir dalamnya kuat-kuat seraya memejamkan mata sesaat. Bodoh sekali! Harusnya dia tahu kalau Grady akan melakukan ini. Dalam CV itu tertulis lengkap data diri yang menunjukkan bahwa dia adalah wanita yang sama dengan gadis yang dulu pernah duduk satu bangku dengan lelaki tersebut. Sehingga, aksi pura-pura ini semakin terlihat bodoh untuk dilakukan.
'Sepertinya aku memang nggak bisa mengelak lagi,' batin wanita itu.
Perlahan, Evita memutar badan. Masih dengan kepala menunduk, dia memberanikan diri untuk menghadap sepenuhnya pada lelaki itu. Lalu, perlahan dia angkat pandangan, hingga tatapan keduanya berada dalam satu garis lurus.
'Sial!' umpat Evita di dalam hati.
Adalah sebuah kesalahan, ketika dia menjatuhkan pandangannya pada netra cekung lelaki itu. Evita merasa seperti tersedot ke masa lalu, di mana dadanya selalu berdebar-debar saat sedang berdekatan dengan Grady. Ah salah! Perasaan itu sebenarnya memang tak pernah lekang dari dalam hati. Terlepas dari apa yang pernah dilakukan oleh si lelaki.
"Maafkan saya, Pak," ucapnya.
Evita tidak membenarkan ataupun menyangkal bahwa dia memang orang yang dimaksud Grady. Dia juga tetap berusaha untuk bersikap profesional di tengah gemetar yang dia rasa. Bagaimanapun juga, sekarang mereka sedang ada di kantor, yang mana Grady adalah bos sementara dia hanya office girl. Bukan teman sebangku seperti yang dikatakan lelaki itu.
"Tidak perlu bersikap formal," ucap Grady sambil menarik kedua sudut bibirnya ke atas. "Aku masih Grady yang sama dengan teman SMA kamu dulu," lanjut lelaki itu.
"Tapi sekarang Bapak adalah atasan saya. Saya harus tetap bersikap hormat kepada Bapak," balas Evita, tak berani melihat wajah Grady lagi karena khawatir akan semakin tersesat dalam kekaguman yang menyesakkan dada.
Grady melipat siku, dia lihat jarum pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan. Lalu, netranya kembali melihat pada Evita yang tertunduk dalam. Lelaki itu mendengkus pelan, melipat bibir sambil mengalihkan pandang sekilas. Sikap Evita ini mengingatkan Grady pada gadis cantik yang selalu membuatnya senyum-senyum sendiri seperti orang gila.
Berdehem untuk menahan senyum di bibirnya, Grady lantas berkata, “Sudah bukan jam kerja. Jadi … kita masih menjadi teman, kan?”
Bibir Evita terasa begitu nyeri karena terus dia gigit. Jujur saja, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Ingin sekali Evita meminjam invisibility cloak milik Harry Potter atau cincin Frodo dari film Lord of The Rings, lalu menghilang dari ruangan tak beroksigen itu. Namun, dia sadar bahwa dia tidak hidup di dunia sihir. Dia masih hidup di dunia nyata dan sekarang sedang berhadapan dengan lelaki yang menggenggam hatinya. Ini buruk, dan tidak ada hal yang lebih buruk lagi dibandingkan dengan terjebak di ruangan ini bersama Grady.
“Umh … gimana kalau habis ini kita jalan sebentar? Sudah lama sekali kita tidak ketemu. Aku pengin ngobrol sama kamu,” ajak Grady.
‘Mampus!’ rutuk Evita di dalam hati.
Jalan sama Grady? Yang ada Evita akan mati berdiri. Berhadapan dengan lelaki itu saja rasanya dia sudah tak berdaya, apalagi jika harus jalan dengannya?
“Maaf, Pak. Bukan bermaksud tidak sopan, tapi … saya masih banyak pekerjaan,” tolak Evita sebisanya.
Grady menggerak-gerakkan bibir sambil terus memandang Evita yang terlihat enggan untuk melihat dirinya. Lelaki itu pun memutar otak, mencari cara lain untuk dapat mengobrol dengan si wanita.
“Oke. Kita bisa ngobrol lain kali kalau pekerjaan kamu sudah selesai.” Grady tersenyum tipis. “Tapi … boleh aku menyela pekerjaanmu sebentar? Sebagai pemimpin Neo Creative, aku ingin bertanya tentang beberapa hal sama kamu. Oh, kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya akan bertanya beberapa hal tentang perusahaan ini,” ucap Grady.
Evita menjilat bibir. Samar-samar, dia melemaskan bahu. Jika sudah menggunakan jabatan sebagai pemimpin perusahaan ini, apa yang bisa Evita lakukan? Meski Grady mengatakan hanya ingin bertanya tentang perusahaan, tetapi Evita yakin bahwa lelaki itu memiliki tujuan yang lain.
Melihat Evita diam saja, Grady menarik satu kursi ke hadapan wanita itu. Lalu, dia tarik satu kursi lagi untuk dia duduki sendiri.
“Duduk sini,” titah Grady dengan senyuman yang membuat lelaki itu terlihat berkali-kali lipat lebih memesona.
Evita menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Tak bisa lagi menghindar, wanita itu lantas duduk di kursi yang Grady ambilkan.
Senyum di bibir Grady seakan tidak mau berhenti. Lelaki itu terlihat puas, bisa membuat Evita bersedia duduk bersamanya untuk mengobrol sebentar. Memang sedikit licik, menggunakan jabatannya untuk membuat wanita itu menurut. Namun, ini sepadan. Ketika Grady mengatakan bahwa dia ingin bertanya beberapa hal tentang perusahaan, lelaki itu mengatakan yang sebenarnya. Memang ada beberapa hal yang ingin dia ketahui tentang Neo Creative, yang tidak akan bisa dijawab oleh pegawai selain Evita.
Grady mengawali pertanyaannya dengan berdehem. Raut di wajahnya pun berubah serius, karena yang ingin dia tanyakan juga serius.
“Apa kejadian seperti tadi pagi sering kamu alami di sini?” tanya Grady tanpa basa-basi.
Sekilas Evita mengangkat wajah, terkejut karena Grady mengungkit masalah itu lagi. Padahal Willy sudah menerima SP sebagai sanksi atas perbuatannya.
“Mulai hari ini, aku yang memimpin Neo Creative. Jadi aku minta kamu jawab dengan jujur. Aku tidak mau perusahaan ini memberi makan orang-orang yang tidak bisa menghargai wanita. Bahkan jika perlu, aku akan memecat siapa saja yang melakukan tindak pelecehan semacam ini. Bukan hanya ke kamu. Jika ada pegawai lain yang mendapat perlakuan seperti itu, maka aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.” Grady menatap kedua manik Evita lekat-lekat. “Dengarkan aku, Evita. Mulai hari ini, aku tidak akan membiarkan siapa pun melakukan hal seperti itu lagi sama kamu. Aku akan melindungi kamu,” lanjut Grady yang sukses membuat hati Evita meleleh hingga ke perut.
Sikap yang sangat kontradiktif. Andai Grady tahu siapa Evita sebenarnya, apakah mungkin dia masih bisa mengatakan hal semacam itu?
Apakah semua lantas menjadi mudah, setelah Grady berjanji untuk melindungi Evita? Jawabannya adalah tidak!Memang, Willy tidak pernah lagi melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan. SP yang diterima, cukup untuk membuat lelaki itu jera. Akan tetapi, hal tersebut tidak serta merta membuat hari-hari Evita di perusahaan itu menjadi mudah. Beberapa dari para pegawai di sana justru terlihat semakin memandang rendah dirinya.“Aku nggak tahu salahku sama mereka itu apa.” Evita menghela napas panjang.Saat jam istirahat, dia dan dua temannya berkumpul di tangga darurat. Tempat yang biasa mereka gunakan untuk berkumpul dan memakan bekal makan siang bersama-sama.“Salahnya … kamu itu terlalu cantik,” balas Dewi.“Dan terlalu seksi untuk ukuran seorang office girl! Jelas saja mereka iri sama kamu,” timpal Ranti.Evita menoleh dengan tatapan malas.“Seksi apanya? Lihat, aku nggak pernah pakai riasan yang macam-macam. Seragam aja aku pakai yang gedean gini.” Wanita itu menarik ujung seragam yang
Evita dapat melihat sorot tajam di mata lelaki yang berdiri dalam diam di depan pintu ruangan. Aura yang terpancar dari lelaki itu terasa sangat mengintimidasi, membuat jantung di dalam dadanya berdentum tak keruan.Tubuh wanita itu membeku, seolah dia lupa bagaimana caranya bergerak dan bernapas. Sampai akhirnya, dia melihat perubahan ekspresi Grady setelah lelaki itu melepas napas. Dengan wajah datar, Grady berjalan melewati dirinya tanpa mengucap sepatah kata.Tak tahu mengapa, ada rasa kecewa yang menelusup di dalam dada ketika lelaki itu tak tersenyum apalagi menyapa. Namun, Evita mencoba untuk berpikir positif, bahwa lelaki itu hanya ingin bersikap profesional. Karena masih jam kerja, Grady hanya sedang memosisikan diri sebagai Bos di perusahaan itu, bukan sebagai teman lama.Menyadari kebodohan dengan tetap berada di sana sementara seisi ruangan mendadak hening, Evita pun melanjutkan langkah untuk kembali bekerja. Namun, baru saja dia keluar dari ruangan, tubuhnya berjingkat ka
Gelagat panik Evita terbaca oleh Grady. Sembari memperhatikan jalan di depan, lelaki itu menoleh sekilas pada si wanita.“Evita,” panggil Grady, meminta perhatian wanita itu.“Pak, kok saya … ini ….” Wanita itu menggulir bola mata dengan liar, bingung harus berkata apa dan mengapa bisa ada di mobil tersebut.“Hei,” panggil Grady dengan suara lebih lembut sambil meraih tangan Evita. “Tenang, oke? Aku cuma ajak kamu jalan. Janji, nanti aku bakal antar kamu pulang,” kata lelaki itu.“Ta-tapi, Pak ….” Sungguh, Evita seperti kehilangan kemampuan untuk menyusun kalimat yang tepat. Apa yang ada dalam pikirannya, tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata.“Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan panggil aku ‘Pak’.” Grady melirik malas pada wanita di sampingnya. “Kamu boleh panggil ‘Pak’ kalau lagi kerja. Kalau lagi di luar begini, panggil nama saja,” pinta lelaki itu.Kendati Grady sendiri yang meminta, tetap saja rasanya tidak enak jika harus memanggil nama. Tidak hanya soal panggilan, sekaran
Tidak tahu mengapa, sorot yang Evita lihat dalam kedua netra Grady itu membuatnya bergidik. Oke, wajah lelaki di hadapannya ini memang terlihat tidak jauh berbeda dengan saat mereka masih sekolah dulu. Selain tampilan yang lebih matang dan … semakin memesona, Grady tidak banyak berubah. Namun, Evita seperti melihat sosok lain dalam sorot mata lelaki tersebut.“Permisi, Mas. Ini martabaknya.”Grady mengerjap cepat lalu mengalihkan perhatian. Lelaki itu berpaling ke belakang, pada seorang laki-laki yang berdiri di dekat pintu mobil sambil menyodorkan kresek putih berisi satu kotak martabak.“Oh, makasih, Mang.” Grady menerima kresek tersebut lalu mengeluarkan dompet dan membayarnya. Setelah itu, Grady memutar badan ke arah Evita dengan senyum lebar di bibirnya. Kobaran api dalam netra yang semula Evita lihat, telah berubah menjadi binar indah yang mendamaikan hati.“Martabak di sini isinya penuh banget. Lihat, sampai meluber gini,” ujar Grady seraya membuka kotak martabak tersebut dan m
“Lah, itu motor kamu, kan?” Dewi yang baru keluar dari kamar untuk menjemur handuk, juga terkejut melihat sepeda motor Evita yang sudah ada di depan kamar.Evita memutar kepala. Bingung harus menjawab bagaimana, diam adalah solusi yang paling aman.“Eh, iya. Udah parkir aja di situ. Katanya mogok, terus yang bawa ke sini siapa?” Ranti yang sudah rapi pun ikut berkomentar.“Oh … ini … tadi malam aku coba cari bengkel online. Daripada nebeng sama kamu, kan,” jawab Evita sambil tersenyum bodoh.“Bengkel online?” Dewi dan Ranti sama-sama mengerutkan wajah.“I-iya. Ada kok yang pasang iklan di internet,” kata Evita lagi.“Terus kamu suruh bawa ke sini gitu?” telisik Ranti.Mau tidak mau, Evita megangguk untuk menguatkan kebohongannya.‘Ampuni aku, Tuhan. Aku banyak sekali berbohong akhir-akhir ini,’ batin wanita itu.“Ya udah, yuk, berangkat. Telat absen potong gaji lho,” ajak Evita.“Eh, bentar-bentar. Aku ambil tas dulu,” kata Dewi yang langsung berlari masuk ke kamar.Ketiga office girl
Brak!Pintu ruangan itu terbuka dengan kasar. Pelakunya bahkan sampai berjingkat dengan mulut menganga, saking terkejut dengan hasil perbuatannya. Kalau sampai pintu itu rusak, bisa habis gajinya dipotong untuk biaya perbaikan. Ruangan itu dilengkapi dengan CCTV, jadi tidak akan sulit untuk mencari tahu siapa pelaku perusakannya. Meskipun dia tidak sengaja, perusahaan tidak akan mau tahu.“Ah, sial!” rutuk Evita.Setelah keluar dari keterkejutan, wanita itu menggulir pandangannya menyapu seiri ruangan. Ekspresi di wajahnya pun langsung berubah, dengan alis yang berkerut dalam.“Kok kosong?” gumamnya.Tidak ada satu manusia pun yang dia lihat di ruangan itu. Hening, bersih, dan rapi. Aroma parfum Grady yang tertinggal di sana, membuat Evita yakin jika lelaki itu belum lama meninggalkan ruangan.“Yah … telat,” ujarnya kecewa.Dengan berat hati, Evita menutup kembali ruangan tersebut lalu memutar badan. Berjalan malas menyusuri koridor yang sepi dengan rasa kecewa yang membuatnya semakin
“Grady! Turunin aku!” Evita menahan suaranya karena khawatir akan menarik perhatian orang-orang.“Diam dan jangan berontak. Kamu mau, nanti warga pada bangun terus mengira aku sedang menculik kamu?” Grady mengangkat kedua alis. “Ini sudah hampir tengah malam, Ev. Orang-orang sudah pada tidur.”Wanita itu mengedar pandangan ke sekitar, dan benar saja gang ini sudah sepi. Ada beberapa orang yang masih tampak duduk di depan kamar kos, tapi sebagian besar sudah mematikan lampu dan mengunci pintu. Evita memutar kepala, menyembunyikan wajah di dada Grady, yang sialnya aroma parfum lelaki itu membuat dia semakin betah berlama-lama dalam posisi begitu.“Tapi aku bisa jalan sendiri,” kata Evita, seraya memandang wajah Grady.“Dan aku mau menggendongmu sampai ke kosan,” balas lelaki itu. “Lagian … coba lihat pakaian kamu. Celana kamu penjang sebelah, baret-baret lagi, jalannya pincang. Aku mana tega biarin kamu jalan sendiri?” imbuhnya.Evita mendengkus pelan dengan raut gusar. Orang-orang bisa
“Evita! Evita!” panggilan itu sejurus dengan gedoran pintu yang begitu keras.Kaget dengan suara berisik itu, Evita yang masih terlelap pun langsung membuka mata. Dan, seketika itu rasa nyeri menyerang kepala.“Ssh ... aduh,” desisnya sambil memegang kepala. “Apaan sih itu anak,” ujarnya sambil menahan rasa sakit yang menusuk.“Ev, buka pintunya! Aku tahu kamu masih hidup!” teriak Ranti sambil menggedor pintu.Netra Evita menyipit, menoleh ke arah jendela yang manampakkan siluet seseorang tengah mengintip ke dalam. Evita yakin orang itu adalah Dewi. Dia lantas menyingkap selimut, berniat untuk membukakan pintu. Akan tetapi, ketika kakinya menekuk, wanita itu kembali terduduk sambil mengaduh kesakitan. Lututnya terasa kaku, dan terasa lebih nyeri dibandingkan tadi malam.“Sakit banget, sih,” keluhnya.Mengantisipasi Ranti yang mungkin akan menjebol pintu kamarnya, Evita memaksakan diri untuk bangkit. Pelan-pelan, dia angkat badan tanpa menekuk kakinya yang terluka. Setelah berdiri, bar