Sekejap saja, seperti ada serpihan es yang menembus kulit dadanya, menancap dalam, lalu diputar perlahan.
Nyeri itu menjalar tanpa ampun, menusuk langsung ke pusat hatinya. Bukan rasa sakit yang membuat seseorang meringis, tapi jenis yang membekukan tubuh, membungkam suara.
Naura berdiri membeku beberapa detik, lalu mencoba mengangkat bahu dan menepuk dadanya ringan, seperti tak ada yang serius terjadi.
“Itu semua salah kamu sih, ribut banget,” gumamnya, dengan nada ringan yang justru terasa kontras dengan ketegangan yang mengambang di ruangan.
Dia ingin meredakan suasana, ingin kata-katanya menjadi pelipur. Tapi saat matanya menangkap wajah Mahesa yang tegang, dengan garis rahang mengeras dan mata gelap membatu, ucapannya tercekat.
Naura buru-buru mengganti ekspresi, wajahnya dipulas cemas dan nada suaranya berubah jadi lembut, memohon. “Maaf, Mahesa… aku nggak sengaja.”
“Keluar.”
Nada Mahesa dingin, tajam, seperti pecahan kaca yang
Nadira tak banyak berkata. Wajahnya datar, tenang seperti danau sebelum badai. Ia mengangkat sebuah ketapel otomatis berwarna hijau tua, hadiah dari Tara saat kumpul keluarga tahun lalu, dan mengarahkannya tanpa ragu.Gerakannya cepat dan mantap, nyaris tanpa suara. Tama sontak menunduk, berlindung di balik tubuh Gilang seperti anak ayam di bawah induknya, meski tubuh Gilang tak cukup lebar untuk jadi perisai.Di seberang ruangan, Nayaka belum selesai menyelesaikan leluconnya. Sudut bibirnya masih mengangkat sisa tawa saat matanya melirik ke arah Nadira.Tapi ekspresi sang adik membuatnya berhenti sejenak, ragu. Dahi Nadira berkerut, rahangnya mengeras.Nayaka menghela napas, mencoba meredakan tensi dengan gaya santainya yang khas. “Aku nggak pernah ngerti,” ujarnya sambil mengangkat bahu, “adik kita ini dari kecil jeniusnya nggak kira-kira. Main kecapi, catur, kaligrafi, melukis… semua langsung bisa. Guru-guru privat sampe antre minta jadi mentornya.”
"Ogah," sahut Nadira cepat, tanpa pikir panjang, suaranya tegas namun penuh gugup yang disembunyikan di balik sikap keras kepala.Ia menyilangkan tangan di dada, dagunya sedikit terangkat seperti hendak menantang siapa pun yang berani menyuruhnya."Aku nggak bisa nyanyi, nggak bisa nari. Masa aku harus pecahin batu di dada juga?"Tara yang duduk menyender di sofa sambil memainkan ujung rambutnya, menimpali dengan santai, “Bisa aja sih, kalau kamu niat.”Nadira menyambar segenggam kuaci dari mangkuk di meja dan melemparkannya ke arah Tara. Beberapa butir kuaci mengenai pipi dan rambut Tara, sisanya berceceran di lantai.“Pergi sana!” Nadira melotot, tapi senyumnya hampir tak bisa ditahan.“Kamu tuh bisa nyanyi, kok,” sahut Nayaka sambil bersandar pada kursi rotan tua yang berderit setiap kali ia bergerak.“Suaramu merdu banget. Kayak suara burung murai di pagi hari.”“Bener,” tambah Tama, yang sedang duduk bersila di lantai samb
Aroma gurih sup yang hampir matang merayap dari dapur, menyusup pelan ke sudut-sudut rumah kayu bergaya kolonial itu.Uap tipis mengepul dari panci yang dibiarkan terbuka sedikit, sesekali bergoyang halus oleh angin sore yang menyelinap dari jendela yang tak sepenuhnya tertutup.Di antara kehangatan itu, Nadira menyelipkan ketapelnya ke dalam saku apron dan tersenyum kecil.“Boleh,” katanya sambil menatap isi panci, “sebentar lagi sup-nya matang.”Seakan menjawab ucapannya, langkah kaki terdengar dari arah dapur. Dipa muncul membawa semangkuk sup hangat, aroma rempahnya langsung menguar begitu ia menjejakkan kaki ke ruang tengah.“Nona Nadira, apakah kita bisa mulai jamuannya sekarang?” tanyanya dengan nada sopan dan wajah yang berseri cerah.Nadira mengangguk, senyumnya ringan. “Bisa, kita mulai aja.”Saat meletakkan mangkuk di atas meja, mata Dipa sempat terpaku pada kalung liontin yang tergantung di leher Nadira.Liontin kec
Rambut Nadira disisir rapi ke belakang, ditata dengan presisi seperti karya seni yang nyaris sempurna, lalu disematkan penjepit berbentuk burung Fayra berwarna keemasan.Aksen kecil itu tampak hidup, seperti hendak mengepakkan sayapnya di antara helaian rambut gelap yang mengilap.Di bawah pencahayaan temaram ruangan, pundaknya tampak berpendar lembut, tertutup lapisan kain transparan yang memeluk kulitnya seperti kabut pagi.Payet merah di bagian dada gaunnya memantulkan cahaya dalam percikan halus, seolah Nadira mengenakan pecahan bintang yang dijahit dengan benang waktu.Ia berdiri di tengah ruangan seperti karakter utama dari dunia lain, sesuatu antara peri kota dan pejuang dongeng masa lalu.Tatapan tamu-tamu yang berkumpul di Warung Selera Nusantara mengarah padanya dalam senyap, seperti seisi ruangan terperangkap dalam jeda napas yang tertahan.Tiba-tiba pintu terbuka lebar. Tara masuk sambil terengah, jaket dan rambutnya bas
Gilang muncul di ambang pintu, tubuhnya setengah diterangi cahaya senja yang tumpah dari jendela kaca besar.Langkahnya ringan, tapi mantap, membawa tas selempang berwarna krem yang tampak agak menggembung.Begitu melihat sosoknya, Nayaka bangkit dari sofa dan langsung memeluknya sebentar, hangat dan penuh kerinduan, seperti dua orang yang diam-diam menyimpan banyak cerita tak terucap selama bertahun-tahun."Gil," sapa Nayaka sambil menunjuk tas yang dibawa. "Bawa apa tuh?"Dengan senyum jenaka yang mengendap-endap di sudut bibir, Gilang mengangkat tas itu sedikit. “Hadiah ulang tahun dong, buat si kecil.”Tatapan Gilang kemudian beralih ke Nadira, yang duduk bersila di atas karpet, dikelilingi pita warna-warni dan serpihan tisu kado.Senyumnya melunak saat melihat aksesori rambut Nadira—hiasan bunga laut berkilau di sisi kepala—berpadu manis dengan wajah adik perempuannya yang mulai beranjak dewasa, namun masih menyimpan binar anak kecil di
Pintu gerbang Rose Garden mengatup rapat dengan dentuman logam yang membelah udara sore. Mahesa berdiri hanya beberapa langkah dari gerbang itu, wajahnya datar, tapi matanya tajam, seperti bilah pisau yang sedang diasah.Hujan belum turun, tapi udara sudah mengandung aroma tanah basah, pertanda langit akan pecah kapan saja.“Hei, kalian ini kenapa sih?” suara Rafael menggelegar, nadanya tak bisa diredam, “Begini caranya Keluarga Wulandaru memperlakukan tamu?”Namun Mahesa tak menjawab. Ia hanya meraih kerah Rafael dengan tenang dan menggiringnya kembali ke mobil, seolah ingin menyapu sisa emosi yang sempat membuncah.Tak ada letupan marah dari mulutnya, hanya ketegangan diam yang menggantung seperti petir yang belum menyambar.Begitu duduk di jok belakang, Mahesa memberi aba-aba singkat pada sopir, “Ke Rasa Nusantara.”Restoran mewah itu bukan tempat biasa. Tempat yang tak bisa dibooking sembarangan, kecuali oleh seseorang seperti Nadira Wul