Nadira menghela napas pelan dari balik selimut yang setengah tersingkap, napasnya seperti kabut tipis di pagi yang lembut.
Ada rasa manis yang membuntutinya, tapi juga letih yang menggantung di pelupuk mata. Hari ulang tahunnya, seharusnya sederhana dan sunyi, malah jadi parade perhatian yang tak bisa dihindari.
Ponselnya bergetar pelan, lalu terus-menerus seperti jantung yang diajak maraton. Grup keluarga yang selama ini sunyi bak lorong rumah tua tiba-tiba hidup, dipenuhi ucapan ulang tahun yang muncul seperti bunga bermekaran serentak.
Ayah (Wisnu): Selamat ulang tahun, Nak! Semoga tiap tahun hidupmu makin bahagia. Ayah udah nulis cek, nanti Tama yang antar. [@Tama, jangan coba-coba ambil ya!]
Tama: [Oke] (dikirim bersama foto selfie dengan ekspresi sinis, alis terangkat sebelah)
Wisnu: Cuma cek? Kamu memang bau duit. Nadira, aku udah siapin kado, Nayaka yang anter. Nayaka,
Pintu gerbang Rose Garden mengatup rapat dengan dentuman logam yang membelah udara sore. Mahesa berdiri hanya beberapa langkah dari gerbang itu, wajahnya datar, tapi matanya tajam, seperti bilah pisau yang sedang diasah.Hujan belum turun, tapi udara sudah mengandung aroma tanah basah, pertanda langit akan pecah kapan saja.“Hei, kalian ini kenapa sih?” suara Rafael menggelegar, nadanya tak bisa diredam, “Begini caranya Keluarga Wulandaru memperlakukan tamu?”Namun Mahesa tak menjawab. Ia hanya meraih kerah Rafael dengan tenang dan menggiringnya kembali ke mobil, seolah ingin menyapu sisa emosi yang sempat membuncah.Tak ada letupan marah dari mulutnya, hanya ketegangan diam yang menggantung seperti petir yang belum menyambar.Begitu duduk di jok belakang, Mahesa memberi aba-aba singkat pada sopir, “Ke Rasa Nusantara.”Restoran mewah itu bukan tempat biasa. Tempat yang tak bisa dibooking sembarangan, kecuali oleh seseorang seperti Nadira Wul
Meski warna catnya nyaris menjeritkan selera yang dipertanyakan—ungu metalik menyilaukan dengan aksen kuning menyala di velg dan spoiler—mobil modifikasi itu meluncur lincah, menggeram lembut seperti predator yang sedang main-main dengan mangsanya.Asap tipis dari knalpotnya membentuk garis-garis samar di udara Jakarta Selatan yang mulai gelap, bercampur aroma bensin dan udara lembap setelah hujan sore.Nadira duduk di balik kemudi dengan ekspresi serius namun penuh kenikmatan. Tangan kirinya menggenggam kemudi ringan, sementara tangan kanan sesekali berpindah ke persneling dengan gerakan gesit, nyaris seperti penari yang hafal betul ritmenya.Jalanan yang basah, lampu-lampu jalan yang memantul di aspal, suara gemuruh mesin, semuanya menyatu dalam tarian liar mobil itu.Tama dan Nayaka berdiri di depan restoran kecil yang lampunya temaram, papan kayunya menggantung miring dengan tulisan "Warung Pagi Rasa Petang".Dari dalam dapur, Dipa muncul sambi
“Nayaka, sayang banget dia nggak bisa ikut makan bareng. Tapi liat deh hadiah dari kita!”Nada suaranya ringan dan ceria seperti lagu anak-anak. Dengan penuh semangat, Nayaka menyerahkan sebuah map cokelat ke tangan Nadira, seolah-olah ia baru saja menyelesaikan misi rahasia yang penting.Wajahnya memancarkan antusiasme polos, seperti anak SD yang baru saja mendapat bintang emas dari guru kelasnya.“Kita habiskan setengah hari cari ide. Dan akhirnya kita sepakat, ini dia hadiahnya!”Nadira memandangi map itu, alisnya mengernyit pelan. Jemarinya ragu menyentuh pita karet yang mengikatnya.Isinya foto? Surat? Kontrak kerja?Di seberangnya, Tama sudah tak sabar menyendokkan suapan demi suapan ke mulut sambil melirik ke arah map itu, matanya menyipit penuh rasa ingin tahu.Saat pita terlepas, Nadira menarik keluar isi mapnya dengan hati-hati. Bukan foto, bukan kontrak, bukan surat ucapan ulang tahun bergaya vintage.Melainkan… sele
Nggak ada orang yang bisa tahan lihat tatapan seperti itu.Tatapan Nadira, tajam namun dibalut kelembutan yang hanya muncul saat ia mencoba menyembunyikan peduli, menusuk tepat ke dada Dipa.Sorot matanya menyala di bawah cahaya lampu ruang tengah yang remang, membuat ekspresinya tampak lebih tegas dari biasanya.Tapi hanya lima detik—ya, lima detik sebelum garis di antara alisnya melonggar, bibirnya terangkat sedikit, dan napasnya mengalir keluar seperti menurunkan perisai."Ya sudah," katanya, suaranya melembut, “kali ini aku terima hadiahnya. Tapi ini pertama dan terakhir kali, ya. Jangan pernah bikin tangan kamu luka lagi.”Dipa langsung sumringah. Wajahnya mekar seperti anak kecil yang akhirnya dibolehkan makan permen setelah seharian menahan diri.Dia mengangguk cepat, matanya berbinar penuh semangat."Iya! Siap!"Nadira menyipitkan mata, separuh geli separuh gemas. “Anak kecil banget sih,” gumamnya sambil mengangkat tang
“Semua udah siap?” tanya Nadira, langkahnya ringan menuju dapur yang remang-remang diterangi cahaya matahari sore yang menembus kisi-kisi jendela.Aroma kayu manis dari panci kecil di atas kompor menyatu dengan wangi citrus dari sabun cuci piring yang baru dipakai.Namun, sebelum ada yang menjawab, sesuatu yang sejuk menyentuh tengkuknya. Nadira refleks berhenti.Ada yang menggantung di lehernya. Ia menunduk sedikit, lalu matanya tertumbuk pada seutas rantai emas pucat dengan liontin kecil berbentuk wajah tersenyum, menggantung ringan di kulitnya yang hangat.“Hadiah ulang tahun,” suara Dipa terdengar pelan namun jelas di telinganya. “Selamat ulang tahun, Nadira.”Nadira berbalik perlahan, napasnya terjebak sesaat. Senyum Dipa tampak malu-malu, tapi ada kebanggaan kecil yang menyembul dari sorot matanya.Jantung Nadira mencubit hangat. Tapi seperti biasa, mulutnya memilih jalur logika. “Kamu masih mahasiswa, kenapa kasih hadiah mahal begini?
Lukas hanya tertawa santai, suara tawanya ringan seperti riak di permukaan danau yang terkena angin sore.“Namanya juga muka tembok,” ucapnya sambil memasukkan kedua tangan ke saku jaket, ekspresi wajahnya seolah tak pernah mengenal kata malu.Nadira memutar bola mata dengan tajam, bibirnya membentuk seringai sinis. “Itu urusanmu. Tapi jangan GR. Kamu bahkan enggak masuk daftar cadangan,” katanya, nada suaranya seperti es yang baru saja keluar dari freezer.Tanpa ragu, ia mendorong bahu Lukas dengan sikap yang dingin, cukup kuat untuk menunjukkan bahwa keberadaannya tidak diinginkan.“Pergi sana.”Namun Lukas tetap berdiri di tempat, menyeringai penuh harap, seperti anjing rumahan yang menunggu tuannya berbaik hati.“Aku serius. Biar kakak-kakakmu lihat. Siapa tahu mereka suka dan mau jadi mak comblang buat kita.”Mata Nadira menyipit. Ia menoleh perlahan, gerakannya tenang namun tajam, seperti pisau yang baru diasah.“Kalau be