Langit Jakarta tampak mendung, tapi suasana di sebuah kafe sudut Blok M justru terasa hangat, meski dalam diam yang berat.
Aroma kopi hitam bercampur samar dengan asap rokok yang melayang lambat, menyatu dengan udara pagi yang belum sepenuhnya segar.
Di pojok kafe yang dindingnya dihiasi lukisan-lukisan abstrak, dua pria duduk saling berhadapan, dikelilingi meja kayu dan kursi rotan yang sudah mulai kusam oleh waktu.
Mahesa tampak lelah. Kerah kemejanya kusut, rambutnya sedikit berantakan. Lingkaran gelap di bawah matanya menegaskan malam-malam tanpa tidur yang ia lalui.
Tangannya gemetar ringan saat mengangkat cangkir kopi, lalu kembali menaruhnya tanpa menyentuh isinya.
Lukas, yang duduk bersandar malas dengan sebatang rokok di tangan, menghembuskan asap ke arah jendela.
"Aku dengar Jais sekarang tinggal di rumah Nadira di Kemang," ucapnya datar, namun tatapannya penuh makna.
"Mungkin kamu perlu pikirkan baik-baik soal ini."
Dan kini, bagaimana caranya Mahesa bisa benar-benar terhapus dari hati Nadira? Bagaimana caranya agar wanita itu, walau hanya sekilas, melirik ke arahnya, bukan hanya sebagai kenangan, tapi kemungkinan baru?Jam di dinding rumah sakit terasa tak bergerak. Jarum panjangnya seakan bermain-main di tempat, menunda detik demi detik yang mengikis harapan.Operasi itu dimulai pukul sepuluh pagi dan baru rampung saat jarum jam menunjuk angka dua. Empat jam, tapi bagi Kiandra, waktu seakan dilipat berulang kali, mengulur dan menyiksa seperti tali tak kasat mata yang mencekik pelan.Ia duduk kaku di kursi plastik biru yang dingin, tepat di depan ruang operasi. Tangannya gemetar, menggenggam erat ponsel yang tak pernah berbunyi.Wajahnya lelah, matanya sembab namun tetap enggan menitikkan air mata.Lukas, berdiri di sampingnya, mencoba mencairkan suasana dengan gaya khasnya yang ringan. "Tenang aja. Si Panca tuh udah kayak kucing, nyawa sembilan. Udah pernah
Nayaka berdiri dengan satu tangan di saku jas putihnya, tubuhnya sedikit menyandar ke dinding, sementara ekspresi wajahnya setenang cermin air sebelum dilempar kerikil.Di depannya, sebuah pemandangan yang, bahkan bagi seorang gay sekaligus mantan tentara sepertinya, terlalu dramatis untuk pagi yang belum genap lewat sarapan.Ia mengangkat alis. Gerakan kecil, tapi cukup untuk menyampaikan satu paragraf ketidaksetujuan."Kalau mau flirting," ucapnya tenang, tapi tajam seperti pisau bedah, "bisa di luar aja gak sih? Jangan bikin mata sakit di sini. Bisa ngaruh ke kesehatan mental pasien, tahu."Nadira hanya menghela napas sambil memutar tubuhnya kembali ke arah ranjang. Suaranya tak perlu keluar.Matanya saja sudah cukup bicara: bukan urusan lo.Panca, yang separuh tubuhnya masih tertimbun selimut rumah sakit, tertawa kecil, tapi segera tersedak batuk."Dr. Sora bener juga. Dari dulu kalian emang lengket banget pas di militer.
“Dalam beberapa hal, dia sangat mirip kamu,” kata Nayaka perlahan, seperti memilih setiap kata dengan hati-hati.“Makanya aku langsung terpikir menghubungimu. Aku cuma berharap Kiandra nggak mengulang kesalahanmu. Kamu tulus, kamu total. Tapi pada akhirnya, kamu juga yang paling terluka.”Hening menggantung sejenak, seolah ruangan ikut menahan napas, menanti reaksi dari lawan bicara Nayaka.Namun, tidak ada yang menjawab, hanya tatapan sayu yang menunduk, menyembunyikan getir yang tak lagi bisa dihapus waktu.Sementara itu, di lantai empat rumah sakit, suasana kamar perawatan bernomor 417 masih tenang. Lampu langit-langit yang redup menyinari ruangan bernuansa pastel, di mana bau antiseptik menggantung ringan di udara.Di sisi ranjang pasien, Lukas duduk dengan postur santai, satu kaki menyilang, sementara tangannya memainkan tutup botol minuman isotonik.Di sebelahnya, Mahesa, yang kini tampak jauh lebih bugar dibanding tiga tahun lalu, men
"Aku tetap nggak suka baunya," gumam Nadira pelan, menatap dua butir telur rebus di piringnya.Pagi itu langit Jakarta masih diselimuti kabut tipis. Di balik jendela apartemen yang menghadap ke deretan pohon angsana di tepi jalan, cahaya matahari berusaha menembus tirai tipis yang berkibar pelan.Meja makan tampak rapi, dengan piring-piring porselen putih, segelas jus buah segar, dan dua gelas susu yang kini tinggal satu, setengah penuh.“Tapi kamu butuh protein,” kata Nayaka, masih bersikukuh. Suaranya lembut namun tegas, seperti dokter yang mencoba meyakinkan pasien keras kepala.Nadira menyipitkan mata ke arahnya, lalu mengangkat sebutir telur rebus seolah sedang membuat perjanjian damai.“Kalau begitu aku makan dua. Sama saja, kan?”Nayaka hanya mengangkat bahu, bibirnya membentuk senyum kecil yang tak jelas maknanya. Ia tak berniat memperpanjang argumen.Ia pun meneguk sisa susu di gelasnya. Putihnya menyisakan jejak di pinggiran
Tapi Nadira tak menyesal. Tidak sedikit pun. Ia malah bersyukur pernah begitu berani mencintai, pernah membiarkan hatinya terbuka selebar langit sebelum badai.Kini, keberanian itu seolah telah surut bersama senja, hanya menyisakan debur halus kenangan yang memeluk diam-diam.Rumah milik Nayaka dan Lukman berada di ujung kompleks vila yang menghadap danau. Udara pagi di sana terasa sejuk dan bersih, seolah seluruh semesta sedang menarik napas panjang dan dalam.Dedaunan pinus yang menjulang tinggi melambai pelan dalam semilir angin, sementara danau di kejauhan berkilau lembut diterpa cahaya matahari yang masih malu-malu.Begitu mobil mereka berhenti di depan rumah, seekor Samoyed putih muncul dari balik pagar kayu.Bulunya tebal dan terlihat mengembang seperti kapas hangat. Ia menunduk sesaat, menilai tamu baru.Begitu mengenali Nadira bukan bagian dari bau-bauan harian rumah ini, ia langsung menyerbu ke arah gerbang, menggonggong penuh kewa
Tara: [Astaga, ngakak! Udah kuputar tiga kali videonya!]Dimas: [Lucu banget.]Grup hening sejenak, seperti menunggu siapa yang akan melempar komentar selanjutnya.Tama akhirnya muncul, [Dimas, bisa nggak kamu lepas dulu filter manismu itu?]Tara tak menunggu lama untuk menimpali, [Dimas tuh niatnya pengin lucu, tapi kosakatanya nggak nyampe. Maafkan dia ya.]Gilang menenangkan suasana dengan ringan, [Udah, udah. Emang dia imut kok. Nayaka, sekarang Nadira udah sama kamu, tolong jaga dia baik-baik.]Nayaka membalas cepat, [Tenang aja! Aku jamin berat badannya naik tiga kilo pas pulang nanti!]Belum sempat ia meletakkan ponsel, langkah kaki yang dikenalnya baik terdengar mendekat. Di tengah riuh rendah terminal keberangkatan, langkah Nadira terdengar malas dan lelah, seperti seseorang yang sudah melewati hari yang terlalu panjang.“Nayaaakaa…”Suara itu keluar dari bib