Nadira mengangguk pelan, gerakannya nyaris tak terdengar, seolah menyatu dengan keheningan ruang makan yang baru saja diselimuti kehangatan sarapan pagi.
Lalu dengan suara lembut namun tegas, ia memberi instruksi, "Danu, tolong atur semuanya. Siapkan juga orang untuk menemani Jais ke sana."
Danu, seperti biasa, sigap. Tak ada keraguan di wajahnya, hanya anggukan cepat yang memberi kesan segala sudah terencana dalam kepalanya.
"Siap," sahutnya pendek, mantap.
Jais, yang duduk di sisi kanan meja makan, mendongak sekilas, lalu kembali menunduk menatap piringnya.
Sentuhan sendoknya kini lebih tenang, tak lagi tergesa. Wajahnya datar, tapi sorot matanya mengabarkan sesuatu yang tak sepenuhnya bisa disembunyikan: semacam kelegaan yang datang terlalu dini.
Selesai makan, aroma kopi yang masih menggantung di udara pun mulai tersapu langkah kaki mereka yang bersiap pergi.
Nadira mengenakan mantel panjang berwarna krem, rambutnya disanggul rapi
Lukas memalingkan wajah, rahangnya mengeras, dan napasnya mulai tak beraturan. Tangannya nyaris terangkat, jari tengah hampir menyusup ke udara, tapi ia menahannya—dengan susah payah.Aura kesal memancar jelas dari sorot matanya, namun suasana di ruangan justru terasa makin hidup, seperti bara kecil yang tersulut angin.Canda-canda yang dilemparkan membuat udara tak sepenuhnya tegang, walau tak ada aroma asmara di antara mereka, setidaknya tidak yang diakui secara terbuka."Kalian ini sebenarnya saudara, atau saingan?"Suara Jais terdengar ringan tapi tak bisa disangkal mengandung muatan provokasi. Ia menatap mereka dengan mata berbinar, seperti anak kecil yang menonton pertunjukan sulap."Kayaknya kalian berdua naksir Nadira, ya?"Mahesa mematung sejenak, dahinya berkerut. "Eh…"Lukas hanya bisa menggaruk kepala. Sebuah gestur klasik dari seseorang yang ingin menjawab, tapi tak tahu harus mulai dari mana.Nadira mendesah pelan
Nadira mengerutkan kening, bola matanya menyipit tajam seperti sedang menilai sesuatu yang menjijikkan."Masih kuliah? Umurnya berapa?" suaranya pelan, tapi getir, seperti serpihan es yang menggores kulit."Sembilan belas. Malah lebih muda dari Veronika," jawab Danu, nyaris seperti gumaman. Ia bisa merasakan hawa dingin yang perlahan menyelimuti ruangan, meski AC ruangan tak beranjak dari suhu normal.Mulut Nadira mencebik sejenak sebelum ia berbisik kasar, "Bajingan."Danu diam. Ia tak membantah. Kata itu menggema juga dalam kepalanya, tapi ia memilih menyimpannya sendiri.Bajingan itu, betapapun menjijikkannya, masih calon mertua. Dunia memang punya cara aneh merajut nasib manusia.Ia melanjutkan dengan hati-hati, seperti melangkah di atas lantai kayu lapuk, "Diana juga nggak tinggal diam. Dia diam-diam mindahin harta Elvano. Sepertinya Elvano tahu dan mereka sempat bertengkar hebat. Hubungan mereka di ujung tanduk. Diana sudah sewa pengac
“Kematian? Itu terlalu ringan buat kamu.”Suaranya pelan tapi tajam, seperti belati yang sudah diasah bertahun-tahun. Tatapan Nadira menusuk lurus ke arah Rafka, dan di balik raut wajahnya yang tenang, ada amarah yang mendidih, nyaris meledak.Bukan sekadar dendam, ini lebih dalam dari luka biasa, lebih gelap dari sekadar benci.Ia memanggil pelan, “Stephen.”Suara itu seperti mantra, dan seketika sebuah tongkat besi berpindah ke tangannya. Logam dingin itu berkilat redup di bawah hujan rintik yang masih menggantung di langit Jakarta yang murung.Dengan satu gerakan kasar, penuh tenaga dan tanpa ragu, Nadira mengayunkan tongkat itu.Prak!Suara logam menghantam tulang menggema di antara dinding-dinding beton yang lembap. Jeritan Rafka menggema, panjang, parau, melolong menembus udara yang berat dan berbau aspal basah.Suara itu bukan sekadar nyeri, tapi sebuah teriakan yang seakan ingin melawan langit yang bungkam.
Mahesa sempat mengangkat tangan, gerakannya pelan dan ragu, seolah hendak mengusap kepala Nadira.Tapi sebelum tangannya benar-benar menyentuh rambut putrinya, ia menghentikan diri. Tangan itu mengambang di udara, lalu turun perlahan.Sorot matanya sendu, suaranya tenang tapi mengandung riak dalam, “Itu hal kecil,” katanya pelan.Lampu ruang operasi padam, menyisakan cahaya temaram dari lorong rumah sakit yang lengang. Roda ranjang dorong menggesek lantai, suara logamnya bergema. Jais dibawa keluar oleh tim medis, wajahnya pucat dan tertutup masker oksigen.Senja melangkah cepat, wajahnya menegang, suaranya pecah oleh cemas, “Dok, gimana keadaan Jais?”Dokter, seorang pria paruh baya dengan garis-garis lelah di wajahnya, melepaskan sarung tangan bedah sambil menghela napas panjang.“Jais punya riwayat gangguan liver,” jelasnya dengan nada hati-hati. “Kejadian tadi memicu lonjakan fungsi hati dan tekanan darah yang tinggi, menyebabkan pendara
Langit Jakarta menggantung muram di atas kepala Nadira saat kabar itu datang. Langit senja yang biasanya menenangkan, kini terasa seperti tekanan berat yang menindih bahunya.Wajahnya langsung pucat, napasnya tercekat. Ia berdiri mendadak dari kursi ruang tamu bergaya kolonial itu, membuat cangkir teh yang belum habis terguncang di atas meja kaca.“Bagaimana keadaan Jais?” tanyanya, suaranya nyaris tak keluar.“Sudah dibawa ke rumah sakit,” jawab suara di ujung telepon, buru-buru. “Kondisinya belum pasti.”“Siapkan mobil. Kita ke rumah sakit sekarang juga!” Nadira tidak menunggu jawaban. Dengan langkah cepat, ia menyambar tasnya, dan bersama Veronika, menghilang ke balik pintu seperti hembusan angin badai.Rumah Sakit Brawijaya dipenuhi aroma disinfektan dan kesibukan yang tidak pernah tidur. Nadira dan Veronika melangkah masuk, sepatu hak mereka memantul di lantai marmer yang dingin.Detik terasa menebal ketika mereka melihat pintu ruang op
Senja menebar warna jingga redup di halaman Rose Garden, menyelinap lewat celah dedaunan beringin tua yang menjulang tenang di pinggir batuan taman.Tapi suasana tak seindah langit. Udara sore itu tegang, seolah ikut menahan napas.Di ambang pintu bengkel, Senja berdiri kaku. Matanya resah, wajahnya tegang seperti selembar kertas kusut yang tak bisa dirapikan.Nafasnya tak teratur saat ia melapor dengan suara tercekat.“Jais, Rafka datang.”Dari luar, suara teriakan Rafka terdengar lantang, menggema liar hingga menabrak dinding-dinding Rose Garden yang tidak cukup tebal untuk menahannya.“Mana Nadira? Suruh dia keluar sekarang! Ayahnya udah mati, dan sebagai pamannya, saya akan ngajarin dia sopan santun hari ini! Sama aja kayak bapaknya, pengkhianat keluarga!”Kalimat itu menghantam udara seperti cambuk. Mahesa yang masih berada di dalam bengkel mendongak, wajahnya mengeras.Tapi bukan wajahnya yang lebih mencolok—melainkan per