“Kamu tahu nggak, dia nyuruh aku berlutut semalaman di kamar mandi!”
Suara Tina meledak di udara, penuh drama dan luka yang dipamerkan. Ia mengangkat bagian bawah celananya, memperlihatkan lutut yang tampak kemerahan dan sedikit bengkak.
“Lihat ini! Bengkaknya belum turun! Terus dia maksa aku hafalin seratus aturan keluarga! Seratus, Ver! Belum cukup sampai di situ, dia juga ngancam mau pakai cambuk! Ini tuh bukan rumah, ini penjara berlapis marmer!”
Ruangan itu penuh nuansa mewah, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. Jendela tinggi dibiarkan tertutup tirai tipis berwarna gading, cahaya sore merambat perlahan, memantul di lantai kayu mengilap.
Di pojok ruangan, Veronika duduk di sofa berlapis beludru biru keabu-abuan, tubuhnya kaku, matanya berkedip pelan menatap Tina yang gelisah.
Sementara itu, di ruang pengawasan yang tersembunyi di balik panel kayu perpustakaan, Tama tertawa pendek, menepuk ringan bahu Nadira.
“Wah, kejam juga kamu ya. B
Mahesa mendadak membuka mata, seolah tersentak dari mimpi yang tak ia ingat telah dimimpikan."Rafael, umur Nadira sekarang berapa?" tanyanya, suaranya dalam dan mendesak, nyaris seperti bisikan yang tak ingin menggema tapi juga tak bisa diredam."Apa?"Rafael tertegun, keningnya mengernyit seketika. Ia menoleh, memandangi Mahesa seperti baru mengenalnya kembali.Dalam benaknya yang tercekat, timbul satu pikiran sinis tapi jujur, “Dia kan istri lo, kok lo nanya ke gue?”Tapi Mahesa tak menyahut lebih lanjut. Tatapan matanya tak bergeser dari sesuatu yang jauh, entah apa, entah di mana.Seolah pertanyaan itu bukan untuk dijawab, tapi untuk dibongkar lapis demi lapis."Istrimu itu, Nadira... dua puluh lima tahun, kan?" jawab Rafael akhirnya, pelan, masih menyisakan nada ragu.Hening sejenak. Mahesa tidak mengangguk, tidak pula menjawab. Tapi sesuatu di wajahnya berubah. Tak kasat mata, namun terasa: seperti angin tipis yang masuk
Sambil menepuk dadanya dengan semangat yang tak bisa disembunyikan, Rafael berkata, "Ini bukti pentingnya media cetak, Pak."Mahesa tak langsung merespons. Ia menunduk, matanya menatap lekat-lekat tumpukan koran tua yang kini tergeletak di meja kayu usang di ruang kerjanya.Ruangan itu dipenuhi aroma kertas lama, bercampur debu dan sedikit bau tinta yang menguar samar, seperti membawa kembali atmosfer masa lalu yang enggan dilupakan.Tangannya yang biasanya alergi pada noda dan kekusutan, kini tak ragu menyentuh lembaran-lembaran kusam itu.Ia membolak-baliknya perlahan, seolah takut melewatkan satu pun detail. Hatinya menggedor, dinding-dinding kenangan mulai berderak.Ia harus tahu. Harus.Kenapa Nadira menerima lamarannya, waktu itu?Tiga tahun lalu, dunia seperti dilanda badai yang memporak-porandakan segalanya. Bukan hanya cuaca, tapi juga nasib.Krisis ekonomi menjalar seperti penyakit, mengguncang bisnis besar h
Nadira menatap layar laptop yang perlahan meredup, lalu menekan tombol untuk mematikan kameranya.Satu tarikan napas pendek lolos dari bibirnya, seperti menyingkirkan sisa-sisa beban yang tak kasatmata.Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan sisa bara.“Nggak apa-apa,” ucapnya akhirnya, suaranya ringan namun tajam seperti bilah tipis, “lebih baik tahu sekarang daripada nanti. Setelah tahu sifat aslinya Tina, aku nggak akan segan-segan lagi.”Di seberang, Tama hanya mengangguk kecil, suaranya terpantul samar lewat speaker. “Tina itu nurun sifat buruk dari ayahnya. Cemburuan, dan nggak tahan lihat orang lain lebih sukses. Tapi Veronika, dia beda, kan?”Nadira mengangkat bahu, tubuhnya tenggelam di sofa abu-abu yang empuk, seperti hendak larut dalam ketidakpastian.Helaan napasnya menyatu dengan aroma kopi yang baru diseduh.“Aku juga nggak tahu pasti soal yang lain,” lanjut Tama, nada suaranya lebih berat kini, seolah kata-kata i
“Kamu tahu nggak, dia nyuruh aku berlutut semalaman di kamar mandi!”Suara Tina meledak di udara, penuh drama dan luka yang dipamerkan. Ia mengangkat bagian bawah celananya, memperlihatkan lutut yang tampak kemerahan dan sedikit bengkak.“Lihat ini! Bengkaknya belum turun! Terus dia maksa aku hafalin seratus aturan keluarga! Seratus, Ver! Belum cukup sampai di situ, dia juga ngancam mau pakai cambuk! Ini tuh bukan rumah, ini penjara berlapis marmer!”Ruangan itu penuh nuansa mewah, tapi tak ada kehangatan di dalamnya. Jendela tinggi dibiarkan tertutup tirai tipis berwarna gading, cahaya sore merambat perlahan, memantul di lantai kayu mengilap.Di pojok ruangan, Veronika duduk di sofa berlapis beludru biru keabu-abuan, tubuhnya kaku, matanya berkedip pelan menatap Tina yang gelisah.Sementara itu, di ruang pengawasan yang tersembunyi di balik panel kayu perpustakaan, Tama tertawa pendek, menepuk ringan bahu Nadira.“Wah, kejam juga kamu ya. B
“Aku berpikir... bisakah kita ajak Veronika ke Rose Garden beberapa hari? Dia sebentar lagi lulus kuliah, dan rasanya sudah lama kami tak kumpul. Aku kangen padanya,” ujar Tina pelan, tapi ada nada manis yang terdengar terlalu matang untuk ketulusan yang sebenarnya.Nadira menatapnya tajam, pupil matanya seperti mengiris. “Setahuku, hubungan kalian biasa saja. Bahkan sejak kecil kalian saling iri.”Tina terkekeh pendek, ringan namun berusaha terdengar tulus. “Ah, itu kan dulu. Namanya juga sepupu, wajar saling ribut. Sekarang kami sudah dewasa, harusnya bisa saling mendukung, kan?”Nadira tak langsung menjawab. Ia mengamati wajah Tina dengan diam yang berat. Ada senyuman licik yang muncul di sudut bibir sepupunya itu, terlalu halus untuk disebut lelucon, tapi cukup mencolok bagi siapa pun yang tahu sejarah keluarga mereka.Ia menghela napas dalam hati, dalam sekali, seperti mengumpulkan kesabaran yang baru.&ldqu
Tatapan Mahesa tetap tenang di permukaan, seperti permukaan danau di pagi hari, tapi dalam sorot matanya yang tajam ada kilatan waspada yang tak bisa disembunyikan.Ia sudah terlalu mengenal pola gerak keluarga Halim, keluarga yang tersenyum saat menggenggam pisau di balik punggung.Walau wajahnya tak menunjukkan kepanikan, ada kegelisahan halus yang merambat di relung batinnya.“Suruh orang kita awasi gerak-gerik mereka. Kalau ada yang mencurigakan, segera laporkan. Termasuk dari pihak Nadira,” ucapnya pelan namun mantap, suaranya seperti bara yang tak berasap.“Kirim beberapa orang ke sana untuk berjaga.”“Siap, akan saya atur sekarang juga,” Rafael menjawab cepat, lalu bergegas keluar dengan langkah yang terdengar mantap di lorong marmer.Malam telah menggulung langit Jakarta dalam selimut kelabu keperakan. Di luar, angin meniup dedaunan kering yang tertinggal di sudut taman, sementara lampu-lampu taman redup berkelip seperti bintang yang