Nadira menatap layar laptop yang perlahan meredup, lalu menekan tombol untuk mematikan kameranya.
Satu tarikan napas pendek lolos dari bibirnya, seperti menyingkirkan sisa-sisa beban yang tak kasatmata.
Wajahnya tetap tenang, tapi matanya menyimpan sisa bara.
“Nggak apa-apa,” ucapnya akhirnya, suaranya ringan namun tajam seperti bilah tipis, “lebih baik tahu sekarang daripada nanti. Setelah tahu sifat aslinya Tina, aku nggak akan segan-segan lagi.”
Di seberang, Tama hanya mengangguk kecil, suaranya terpantul samar lewat speaker. “Tina itu nurun sifat buruk dari ayahnya. Cemburuan, dan nggak tahan lihat orang lain lebih sukses. Tapi Veronika, dia beda, kan?”
Nadira mengangkat bahu, tubuhnya tenggelam di sofa abu-abu yang empuk, seperti hendak larut dalam ketidakpastian.
Helaan napasnya menyatu dengan aroma kopi yang baru diseduh.
“Aku juga nggak tahu pasti soal yang lain,” lanjut Tama, nada suaranya lebih berat kini, seolah kata-kata i
“Apa? Kamu sudah hafal semuanya?” seru Tina dengan mata membelalak, nyaris terpental dari tempat duduknya.Veronika menoleh pelan, senyum kecil menggantung di sudut bibirnya, seolah tidak menganggap itu hal luar biasa.Tapi Tina, dengan gerakan gugup dan mata penuh kecemasan, segera memberi isyarat samar, telunjuk tergigit dan pandangan menyapu cepat ke arah Nadira yang duduk tak jauh dari mereka.Aura Nadira seolah mengisi seisi ruangan dengan hawa dingin, seperti kabut tak kasatmata yang menyusup ke pori-pori.Bukan Nadira yang dulu mereka kenal, yang tertawa lepas di pagi hari sambil menyeruput teh dari cangkir retak warisan nenek.Kini tatapannya menusuk, tegas, dengan cara yang membuat siapa pun ingin menunduk tanpa disuruh.Tapi Veronika tetap tenang. Matanya jernih dan polos, seolah tidak menyadari ketegangan yang menggumpal di udara.“Saat Tina belajar tadi siang, aku ikut menghafalnya juga,” katanya ringan, nyaris seperti men
“Kamu hari ini hari kedua. Setelah makan, datang ke ruang kerja. Bawa juga cambuk yang aku berikan. Veronika, kamu ikut,” ucapnya, nada suaranya dingin dan tak menyisakan ruang untuk tawar-menawar.Tina menelan ludah, seperti hendak menelan gumpalan yang terlalu besar untuk dilewati tenggorokan. Ada semburat merah yang naik ke wajahnya, bukan karena malu, melainkan campuran antara rasa takut dan getir yang sulit dijelaskan.Ia hanya mengangguk pelan, seperti boneka yang kehilangan energinya, diikuti langkah tenang Veronika di belakangnya.Dalam diam, Tina berikrar dalam hati, Aku akan tahan semuanya. Tapi suatu hari nanti, semua penghinaan ini akan kubalas. Sepuluh kali lipat... tidak, seratus!Setelah makan malam yang terasa hambar dan hambar bukan karena kurang garam, melainkan karena tegang yang membatu di dada, keduanya melangkah ke ruang kerja.Derap langkah mereka menimbulkan gema lembut di lantai marmer, seolah dind
Nadira telah membohonginya.Bukan sekadar kebohongan kecil, tapi sebuah tabir yang disulam dengan cermat, penuh kehati-hatian. Ia bukan hanya nona keluarga Wulandaru yang anggun dan nyaris tak tersentuh.Di balik senyum tenangnya, tersembunyi sosok ahli komputer yang mampu menelusuri data seperti menyusuri lorong waktu, sekaligus tangan cekatan yang lihai meramu rasa di dapur.Tapi yang paling mengejutkan bagi Mahesa, dia adalah... gadis kecil itu. Gadis yang dulu pernah ia peluk dalam malam penuh ketakutan dan debu perang.Bagaimana mungkin Mahesa tidak tahu?Kenapa dia tak pernah memberi isyarat?Mengapa dia berpura-pura asing?Suara Mahesa terdengar tegas, hampir meledak di ujung telepon."Aku akan ke Jakarta sekarang juga. Kirim nomor HP-nya. Aku harus bicara langsung!"Nada suaranya menyimpan tekad yang tak bisa dibendung, seperti air bah yang menerjang bendungan. Ia tidak ingin menyelidiki lebih jauh lewat layar, t
Setelah mendengar spekulasi dari Mahesa, Lukas nyaris tak bisa mencerna kalimat demi kalimat yang barusan keluar dari telepon genggamnya.Ruang kerja yang remang, hanya diterangi cahaya sore dari sela tirai, terasa lebih sunyi dari biasanya. Ketika Mahesa mengangguk melalui gumaman singkat, hanya “Hmm” yang meluncur dari mulutnya, Lukas menegang seolah baru saja menelan kenyataan paling mustahil.“Kamu bilang waktu Nadira menikah denganmu dan merawatmu selama tiga tahun itu, semua cuma karena membalas budi?”Lukas menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, matanya terbuka lebar. “Karena kamu pernah nyelametin nyawanya dulu... di Greenwood?”Keheningan di ujung telepon hanya dipecah oleh suara napas Mahesa yang berat dan panjang. Lukas mengerutkan kening, matanya memicing, mencoba menyelami arti di balik gumaman itu.“Ini gila...” katanya akhirnya. Tangannya meraih cangkir kopi panas buatan ayahnya, namun jemarinya bergetar saat mengangkatnya.“Se
“Apa maksud lo… kalau gadis itu… Nadira?”Lukas terlonjak dari tempat duduknya. Kursi bergeser dengan suara gesekan yang tajam melawan lantai marmer.Keningnya berkerut, mata membelalak. Ekspresinya campur aduk, antara bingung dan tak percaya.Di sebuah restoran mewah berarsitektur modern di kawasan Sudirman, lampu-lampu gantung kaca kristal memancarkan cahaya keemasan yang hangat.Aroma keju, rosemary, dan daging panggang berbaur halus dengan harum anggur tua. Denting piano jazz mengalun lembut di sudut ruangan, menyatu dengan denting alat makan dan percakapan lirih antar meja.Tama duduk santai dengan napas tenang, potongan steak di garpunya masih mengepulkan aroma mentega gosong.Ia melirik Nadira yang di seberangnya, tampak anggun dalam gaun krem gading, menyantap salad dengan gerakan pelan namun pasti.Cahaya lilin kecil di meja membuat kulitnya tampak lebih hangat, lebih hidup.“Aku makan daging, kamu makan sayur,” ujar T
Mahesa mendadak membuka mata, seolah tersentak dari mimpi yang tak ia ingat telah dimimpikan."Rafael, umur Nadira sekarang berapa?" tanyanya, suaranya dalam dan mendesak, nyaris seperti bisikan yang tak ingin menggema tapi juga tak bisa diredam."Apa?"Rafael tertegun, keningnya mengernyit seketika. Ia menoleh, memandangi Mahesa seperti baru mengenalnya kembali.Dalam benaknya yang tercekat, timbul satu pikiran sinis tapi jujur, “Dia kan istri lo, kok lo nanya ke gue?”Tapi Mahesa tak menyahut lebih lanjut. Tatapan matanya tak bergeser dari sesuatu yang jauh, entah apa, entah di mana.Seolah pertanyaan itu bukan untuk dijawab, tapi untuk dibongkar lapis demi lapis."Istrimu itu, Nadira... dua puluh lima tahun, kan?" jawab Rafael akhirnya, pelan, masih menyisakan nada ragu.Hening sejenak. Mahesa tidak mengangguk, tidak pula menjawab. Tapi sesuatu di wajahnya berubah. Tak kasat mata, namun terasa: seperti angin tipis yang masuk