Share

Ajakan Menikah

“Kita udah putus, Dimas, dan kamu yang tinggalin aku dulu. Jadi tolong jaga sikap kamu sekarang. Aku udah punya pacar dan kamu cuma masa lalu!” bentak Annisa sebelum berbalik, “Sial banget!” makinya sambil berjalan meninggalkan Dimas yang masih terdiam.

 

“Kata siapa kita putus, Nis? Aku memang pergi, tapi aku nggak pernah mutusin hubungan kita. Kamu tetap milikku,”

 

“Aku udah pulang, jadi aku akan perbaiki semuanya. Kita bakalan terus sama-sama lagi kayak dulu,”

 

Gumam Dimas pelan sambil terus menatap hangat punggung Annisa yang berjalan meninggalkannya. Ia pun ikut beranjak dari sana dan segera memulai rencananya mendapatkan Annisa kembali.

 

Yang sebenarnya terjadi hari ini semuanya adalah rencana Adimas. Ia yang sudah kembali memanfaatkan momen reuni sekolah mereka dan meminta tolong pada Pak Rangkuti untuk memanggil Annisa agar datang ke acara tahunan sekolah, karena ia tahu Annisa tidak akan menolak permintaan guru yang dihormatinya.

 

Nyatanya, rencana Adimas berhasil. Tidak hanya melihat Annisa yang dirindu, ia bahkan bisa kembali memeluk dan mencium gadis tercinta yang ditinggalkannya.

 

*

 

Annisa tiba di rumah melewati jam makan siang. Selain kehadiran Dimas dengan segala kegilaannya, alasan Annisa meninggalkan acara reuni adalah karena setiap jam makan siang kekasihnya—Zaky akan pulang untuk makan di rumah mereka. Tapi kali ini ketika Annisa kembali, tidak ada mobil Zaky terparkir di depan rumah.

 

Setelah Annisa dan Zaky menjalin hubungan, keduanya memutuskan untuk tinggal bersama dan mengambil sebuah rumah KPR tipe 45 dengan 2 lantai. Tapi mereka tidak tidur sekamar, melainkan tidur terpisah.  Annisa di lantai bawah sedangkan Zaky di lantai atas.

 

Annisa yang memiliki prinsip kuno kalau persatuan tubuh hanya akan dilakukan setelah menikah, diterima oleh Zaky tanpa bantahan dan menurutnya itu baik-baik saja selama mereka tinggal bersama sampai akhirnya menikah nanti.

 

Hari ini Annisa sungguh lelah. Ia memutuskan mandi lalu tertidur, mencoba mengalihkan pikirannya yang kacau. Tapi belum genap satu jam ia tidur, bunyi ponsel Annisa membangunkannya. Ketika dilihat, nomor si pemanggil ternyata tidak tersimpan dalam daftar kontak.

 

“Halo?” sapanya singkat. Suara Annisa berat, khas orang bangun tidur. Tapi setelah menunggu sebentar, tidak ada jawaban dari seberang sana. Hanya suara deru napas yang sesekali terdengar.

 

“Kalau nggak ngomong, saya tutup, ya!”

 

“Aku di luar, Nis…”

 

[Deg…]

 

Detak jantung Annisa seakan berhenti sesaat ketika mendengar suara Dimas sebagai peneleponnya. Mata malasnya langsung terbuka dan ia spontan terduduk di ranjang.

 

“K-kamu mau apa—“

 

[Tuuut Tuuut Tuuut]

 

Panggilan berakhir bahkan sebelum Annisa selesai bicara. Ia langsung beranjak mendekati jendela dan benar saja, ada Dimas yang berdiri di depan rumahnya sambil bersandar di Aston Martin seharga 7 Miliar miliknya.

 

“Ya ampun, ini orang memang benaran gila apa? Mau apa lagi, sih, dia, Tuhan? Apa nggak cukup udah buat hati aku sakit? Apa kurang banyak sakit yang aku rasaian karena dia? Sakitnya aja belum hilang sampai sekarang…” gumamnya tidak berdaya. Hatinya bergemuruh bingung. Adimas memang membuatnya sesak saat ini.

 

“Nggak, biarin aja dia di sana. Aku nggak bakalan keluar,” teguhnya pada diri sendiri. Tapi kekerasan hati itu langsung luntur ketika matanya menoleh pada jam dinding yang menunjukkan pukul 3 sore. Itu adalah waktunya Zaky pulang dari rumah sakit.

 

“Terus gimana kalau Zaky pulang dan ketemu Adimas di depan? Gawat, nih!”

 

Segera ia keluar dari kamarnya dan langsung membuka pintu dengan tergesa. Yang pertama dilihatnya adalah senyum Dimas yang secerah mentari, dan itu jelas sama seperti dulu, seakan hanya bayangan Annisa yang terlihat di mata Dimas.

 

Annisa menggelengkan kepala pelan, ‘Jangan oleng, Annisa. Dia cuma ngelirik, jangan ge’er tingkat dewa kayak gini!’ hatinya berusaha menolak.

 

Ia berjalan mendekati Adimas setelah mengangkat wajahnya, “Tadi aku udah jelas banget ngomong sama kamu buat jauhin aku, kan? Jadi kenapa malah ke sini?” tanyanya ketus.

 

Senyum Adimas semakin terangkat, “Judesnya nggak berubah, ya? Masih sama kayak dulu. Gimana aku nggak langsung pengen nyosor bibir kamu coba?”

 

Annisa menaikkan alis dan membelalakkan mata seketika. Adimas juga tidak berubah sama sekali, tetap sembarangan bicara padanya. Mungkin di mata orang dia sosok yang pendiam dan tekun, tapi pada Annisa semua itu tidak berlaku, kalimatnya bahkan semberono sekali ditambah keusilan yang hanya Annisa yang tahu.

 

“Semuanya berubah kecuali kamu. Omongan kamu yang nggak bisa difilter sama sikap kamu yang semberono, cuma itu yang nggak berubah. Selain itu semuanya udah beda. Kita udah nggak ada hubungan lagi, jadi Please… jangan ganggu aku lagi!”

 

Omelan Annisa seperti tidak terdengar ke telinga Adimas dan malah semakin membuatnya gemas melihat Annisa.

 

“Aku udah pulang, Annisa Sayang. Ayo, kita nikah,” Adimas tidak lagi berbasa-basi. Ia langsung mengutarakan niatnya datang ke Annisa.

 

“Gila, ya? Siapa yang pergi ninggalin aku sendirian dulu? Tujuh tahun, Dimas, tujuh tahun! Selama itu kamu udah pergi dan nggak ada kabar apa pun lagi. Kamu memang nggak mutusin hubungan kita, tapi kepergian kamu dan hinaan ibu kamu udah mutusin semua yang ada sama kita!”

 

“Kamu pergi dan aku hancur. Rasa sakitnya pun masih ada di sini, Dimas!” sambil menepuk tubuh depannya sendiri, Annisa mulai menangis, “Dan sekarang waktu kamu balik, kamu langsung mau ngajakin aku nikah? Kamu waras, kan?”

 

“Aku selalu waras, Nis. Waktu ngambil keputusan pergi ke Amerika pun aku mikirin itu baik-baik. Aku pergi buat hari ini, buat kamu. Aku udah pulang dan sekarang kita bisa nikah. Nggak ada yang bisa pisahin kita lagi,”

 

“Nikah sama aku, ya, Nis…”

 

“Kamu kira kita masih kayak dulu? Waktu berjalan, kita udah dewasa, dan semuanya ikut berubah. Ngomongin nikah sekarang nggak segampang dulu waktu kita anak-anak, Dimas,”

 

“Menikah itu hubungan penting, sakral, bukan kayak main rumah-rumahan. Tolong bedain situasi sekarang, jangan main-main lagi sama omongan penting kayak gitu!” Annisa menasihati Adimas setelah cibiran terasa tidak membantu.

 

“Nggak masalah kalau kita main rumah-rumahan, asalkan aku selalu sama kamu. Asalkan di rumahku nanti ada kamu. Waktu aku mau tidur, kamu udah siap jadi guling yang buatku mimpi indah, dan pas buka mata pagi hari, cantiknya kamu yang langsung aku lihat. Gitu aku bernapas, aroma badan kamu yang aku hirup. Buatku, itu rumah-rumahan yang paling indah, Nis,”

 

Annisa ingin menangis saat itu juga mendengar setiap kalimat naïf yang begitu mudahnya diucapkan Adimas.

 

“Bangun, Dimas. Jangan terus diam di masa lalu. Semuanya udah berubah, aku udah punya pacar dan kami mau nikah sebentar lagi. Kamu nggak boleh terus kayak anak-anak gini,” air matanya kini lolos saat menatap Adimas saat berucap.

 

Adimas mendekat dan mengulurkan tangannya untuk menyapu air mata Annisa, “Jadi kenapa kamu nangis? Kalau nggak mau nikah sekarang, ya nggak usah nangis gini, Nis. Aku sakit lihat kamu nangis karena aku,”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status