Annisa menurunkan tangan Adimas, “Makanya kamu sadar, dong. Jangan keras kepala terus! Aku udah punya calon suami dan kami bakalan nikah sebentar lagi. Kurang jelas gimana lagi, sih, Dimas? Aku sakit kalau kamu terus gini sama aku!”
“Makanya nikah sama aku. Aku nggak bakalan sakitin kamu lagi dan aku akan bayar semuanya sama kamu. Semua yang kamu lewatkan waktu aku pergi. Biarin aku bayar hutang janjiku sama kamu, Nis…” bujuk Adimas sambil mengambil tangan Annisa untuk ditariknya perlahan. Ia tidak ingin kalah berdebat dan seolah ucapan tentang Annisa yang memiliki calon suami selalu diabaikan Adimas. Tangisan kesal dan penolakan Annisa membuatnya sakit. Tapi dengan kesabaran akhirnya tubuh Annisa mengalah untuk dipeluk Adimas.“Jangan gini, Dimas, lepasin aku. Kita nggak boleh gini. Kita nggak punya hubungan apa pun lagi. Kamu udah mutusin hubungan kita waktu kamu pergi, dan aku udah terbiasa nggak ada kamu di hidup aku. Jadi tolong, ngertiin aku dan pergi aja, Dimas…” tolaknya sambil menangis, tapi Dimas memeluknya semakin erat.Seberapa banyak Annisa menolak dengan pengungkapan kenyataan hubungan mereka, Dimas hanya diam saja. Memeluk Annisa seperti ini adalah seperti menemukan lagi separuh jiwanya yang hilang.Annisa pun lelah. Ia tidak melawan lagi karena itu percuma, jadi dia mulai diam dan mengutuk hatinya sendiri ketika nyamannya pelukan Adimas membuat jiwanya tenang. Serpihan hati yang hilang seakan kembali menutup kekosongannya.Keduanya diam sambil berpelukan, sesaat sebelum suara pria di belakang mereka membuyarkan semuanya.“Annisa, kamu ngapain?!” itu adalah Zaky yang baru saja tiba di sana.Suara Zaky sontak membuat Annisa berbalik melepaskan rengkuhan erat Dimas darinya. Ia langsung menghampiri Zaky dengan panik. “Ky, jangan salah sangka. Nggak ada apa-apa antara aku sama dia. Percaya samaku, Ky!” Annisa buru-buru mengkonfirmasi.“Kalau benar nggak ada apa-apa ya udah, nggak perlu panik kayak gitu. Aku percaya sama kamu, kok, Nis,” Zaky menjawab tenang, “Jadi, gimana ceritanya? Aku bakalan denger sekarang,”Sikap Zaky yang tenang saat menunggunya menjelaskan membuat berat mental Annisa. Alih-alih senang karena Zaky memberinya kepercayaan tinggi, ia malah semakin merasa bersalah karena di sudut hatinya yang paling dalam, pelukan Dimas memanglah yang ditunggunya.Adapun Zaky sendiri memanglah menaruh kepercayaan tinggi pada Annisa karena ia tahu kalau Annisa adalah wanita yang sulit bergaul dengan pria. Bukan sulit, tapi memang selalu menjaga jarak. Bahkan dia sendiri berhasil memacari Annisa setelah dua tahun mengejar Annisa yang tak acuh pada hal selain pekerjaan. Jadi, ketika dihadapkan dengan situasi yang ambigu seperti tadi, ia tidak buru-buru menghakimi Annisa. Tapi jelas, di hatinya ada api cemburu yang mulai menyala, terlebih saat bertukar tatapan dengan Dimas.Annisa yang sudah akan menjelaskan hubungannya dengan Dimas pada Zaky, batal bicara karena Dimas menarik tangannya hingga Annisa mundur dan berdiri sejajar dengannya.Aura perang dingin sudah terasa saat Dimas berseringai iblis menatap Zaky, “Annisa punyaku. Nggak ada yang perlu dia jelasin.”Annisa tidak tahu lagi bagaimana caranya menyumpal mulut Dimas yang beracun. Ia kembali melepaskan tangan Dimas darinya, “Dimas, kamu gila apa? Jangan ngomong sembarangan kamu!”Zaky jelas marah dan segera menarik Annisa lagi ke sisinya, “Nis, siapa dia? Berani banget dia bilang kalau kamu punya dia. Memangnya siapa dia ngaku-ngakuin kamu di depan aku?”“A-aku... dia...” Annisa tergagu.Belum lagi menjawab, Dimas dari sisi satunya kembali menarik Annisa hingga kini wanita muda itu seperti piala yang diperebutkan dua pihak. "Lepasin tangan Annisa sebelum semuanya terlambat!” Dimas memperingatkan.“Memangnya kamu siapa? Tolong sopan sedikit! Annisa itu pacar saya, dia calon istri saya!” “Dalam mimpi! Dia punyaku, lepasin tangannya atau ini jadi peringatan terakhir sebelum kamu saya buat menyesal?” kembali, Dimas memberikan ultimatum. “Kalian bisa lepasin tangan aku? Ini sakit!” pekikan Annisa membuat Dimas seketika melepaskan genggaman tangannya pada Annisa dan membuat tubuh Annisa terhuyung ke Zaky. “Aku nggak bakalan dapet jawaban darinya, Nis, jadi tolong bilang sama aku siapa laki-laki brengsek ini? Dia berani banget tarik kamu di depan aku!”“Dia teman SMA aku, Ky. Cuma temen, nggak ada yang lain,” Annisa langsung menjawab dan jawabannya tidak sepenuhnya berbohong. Dimas memang teman sekolahnya. “Temen sekolah yang gimana sampai bisa tidur bareng? Nis, kasih tau sama dia kalau tadi kita juga...” Dimas sengaja menggantung kalimatnya, “Lipstik kamu aja masih kerasa banget di mulut aku,” “Cukup, Dimas! Kamu keterlaluan! Aku benci sama kamu, kamu pergi sekarang dari sini!” Annisa seketika membentak. Dimas benar-benar sudah keterlaluan. Bukannya pergi, ia malah menyiram bara api yang sudah jadi di hati Zaky.“Dan biarin kamu tetap tinggal sama laki-laki ini? Aku nggak gila buat setuju sama permintaan kamu dan jauhin kamu lagi. Tujuh tahun udah cukup buatku tahan rindu ini sama kamu, Sayang,” “Ayo, dong... Bilang aja sama dia kalau kita ini pacaran mulai SMA. Dan kita bakalan mulai hubungan kita lagi dengan nikah, kenapa bilang kayak gitu aja susah-” [Bugh!]“Brengsek, diam kamu!” Zaky yang sudah menahan geram sedemikian rupa ternyata tidak bisa menahan lagi, hingga pukulan mentah yang akhirnya diterima Adimas.Bukannya meringis, Dimas masih bisa berseringai sambil mengelap darah di sudut bibirnya dan kembali berdiri, “Cuma segini?” decihnya setelah meludah darah. “Dimas, kumohon jangan begini. Pergi... Pergi aja kayak dulu kamu tinggalin aku. Hidup aku udah baik-baik aja waktu kamu nggak ada. Aku mohon, Dimas...” Annisa menangis memohon pada Adimas sambil menahan kepalan tangan Zaky yang bisa saja melayang ke wajah Adimas lagi. Air mata Annisa yang sedih melihat Dimas yang terkena pukulan Zaky, serta kebingungan harus menjelaskan seperti apa yang terjadi saat ini, bagi Zaky semuanya sudah jelas di matanya.Ia menurunkan tangannya dan menghempaskan tangan Annisa yang memeganginya. Itu membuat Annisa terkesiap, “Zaky?” “Apa yang dia bilang itu benar, Nis? Dia pacar kamu yang dulu dan kalian udah pernah tidur bareng? Kalian juga kissing, padahal kamu sadar kalau kamu itu calon istri aku?” “Zaky, ini semua nggak kayak seperti yang kamu pikirin. Aku bisa jelasin semuanya sama kamu. Dia bukan siapa-siapa aku, percaya sama aku, Ky!” Annisa mencoba membujuk Zaky yang marah. Sekalipun yang terjadi itu benar, tapi ia tidak ingin Zaky hancur dengan kenyataan.“Kenapa bohong, Nis? Ini bukan sifat kamu. Jujur aja sama dia kalau kamu itu punya aku. Kita udah berbagi semuanya karena hubungan kita serius,”“Dimas, please... kamu pergi aja...” bujuknya. Bahkan kali ini Annisa menyatukan tangannya memohon, “Jangan ganggu aku setelah kesalahan kamu yang udah ninggalin aku. Pergi, Dimas... pergi,”“Ya udah, aku pergi dari sini. Tapi aku pergi karena aku mau kasih kamu waktu buat jelasin hubungan kamu sama dia. Kamu itu punyaku, Nis, cuma milik aku!” tegasnya sebelum pergi dari sana. Tapi sebelum itu Dimas masih sempat menatap hangat wajah Nissa yang banjir air mata.“Maafin aku karena udah buat kamu nangis lagi. Tapi aku janji kalau ini air mata kamu yang terakhir. Jelasin hubungan kita sama dia dan setelah itu cuma bahagia yang bakalan kamu lihat di samping aku. Sampai jumpa, Nissa sayang,” ucapnya lembut sebelum benar-benar melangkahkan kakinya.“Mau ke mana kamu, hei!” Zaky memanggil Dimas. Ia keberatan kalau Adimas pergi dari sana, tapi Nissa menahannya agar membiarkan Adimas pergi.“Biarin dia pergi, Zaky. Aku bakalan jelasin semuanya sama kamu,""Jelasin apa lagi? Jelasin kalau dia memang mantan pacar kamu waktu SMA? Ternyata dia orangnya yang buat kamu selalu nolak kalau aku ajakin nikah? Iya, kan?”Pertanyaan Zaky yang mendesak membuat Nissa diam dan menunduk. Sekalipun
“Sumpah, ya, Nis... Aku ini cinta banget sama kamu. Bahkan setelah tadi si brengsek itu bilang kalau dia yang dapetin kesucian kamu ke aku, aku masih berusaha tahan emosi aku dan bakalan dengerin penjelasan kamu. Aku udah cukup sabar tekan ego aku yang nolak kalau kamu itu bekasnya dia. Itu semua karena aku sayang sama kamu,”Semua ucapan Zaky yang meremehkannya itu membuat Nissa terdiam. Ia tidak menyangka kalau laki-laki baik yang ia kenal selama ini bisa mengatakan hal semenyakitkan itu.“Jadi, patokannya cinta dan ketulusannya aku sama hubungan kita cuma dari mau enggaknya aku buka baju di depan kamu? Mau enggaknya aku tidur sama kamu sebelum kita nikah? Itu yang ada di pikiran kamu?” tanyanya tidak percaya.“Sebenarnya enggak, tapi kamu yang buat aku tekanin hal itu sama kamu. Lagian alasan buat kamu nolak tidur bareng aku itu apa? Toh, kamu kan udah bekasnya si brengsek itu. Apa lagi yang harus kamu tutupin sama aku?” lagi-lagi Zaky memperjelas isi kepalanya pada Nissa.Nissa be
“Aku juga nggak lihat langsung, Mbak. Aku ditelepon Bik Lina kalau ibu dibawa ke sini. Bik Lina bilang sebelum pingsan, ada tamu datang. Dia orang kaya, Mbak, dan Bik Lina lihat kalau ibu sempet ngusir orang itu sambil marah-marah. Tapi habis tamunya pergi, ibu langsung pingsan,”Cerita Arul bisa dimengerti oleh Nissa dengan baik. Seperti virus, di mata ibu mereka orang kaya adalah hal yang harus dibenci dan dijauhi. Tapi semua itu memiliki sebab yang memang menghancurkan sang ibu dan keluarga mereka.“Ya udah, mbak udah di sini. Mbak masuk dulu ke dalam buat ngomong sama dokter,” Nissa menjawab yakin dan mulai bangkit. Tapi Arul kembali menahan dengan tetap memegangi tangan kakaknya.“Kalau dokter bilang ibu harus dioperasi, duitnya dari mana, Mbak? Operasi jantung pasti mahal, kan? Dan kita nggak punya uang sebanyak itu. Tapi aku nggak mau ibu kenapa-kenapa. Udah cukup ayah yang pergi, aku nggak mau kalau ibu…”“Shhh… stop ngeluarin kata-kata nggak guna. Doain aja ibu lekas sehat. I
‘Ibu anda masih bisa diselamatkan tanpa harus menerima operasi. Tapi satu kali saja pasien menerima kejutan lagi yang mengakibatkan guncangan di hatinya, mungkin pasien tidak akan tertolong,’‘Anda seorang petugas kesehatan, kan? Tolong jaga kesehatan mentalnya juga selain kesehatan fisiknya. Usia ibu anda juga sangat rentan mengingat riwayat penyakit jantung yang sudah lama pasien derita,’Pesan dokter yang menangani ibunya terus terngiang di benak Nissa. Kini ia duduk termenung di sebuah café di depan rumah sakit tempat ibunya dirawat. Tanpa memperdulikan sakit memar di pipinya, Nissa terus mengingat beberapa saat tadi setelah ia kembali menjenguk ibunya yang baru sadar dari pingsan.‘Kenapa kamu di sini? Pergi! Aku nggak sudi lihat muka kamu, tau! Arul, usir perempuan sial ini! Ibu nggak mau lihat dia di sini atau kamu mau lihat ibu jadi mayat!’‘Suruh dia balik sama laki-laki dari keluarga pembunuh ayah kamu aja. Jangan biarin dia dateng lihat ibu lagi, Arul! Ibu nyesal kenapa dul
“Sekalipun benar kalau kamu pulang untuk aku, tapi nyatanya kepulangan kamu buat aku hancur. Pernikahan aku batal dan ibu masuk rumah sakit. Aku tahu kalau ibu pasti habis ketemu kamu, kan?”“Mau kamu apa, sih? Kalau kamu berkeras cinta sama aku, tolong pergi aja. Dengan kamu pergi dan jauh dari aku, semua itu cukup buat aku bahagia!”Nissa bangkit dari tempat duduknya dan menatap Dimas sebelum pergi. Tersirat penyesalan ketika ia mengusir Dimas dari hidupnya dengan kalimat yang pastinya membuat Dimas sakit.‘Maaf, tapi aku harus buat kamu sakit dulu biar kamu pergi,’ batinnya yang ikut hancur dibawa pergi dari sana, meninggalkan Dimas yang hanya bisa tersenyum miris memandang Nissa.“Aku tahan kok, Nis. Mau kamu bilang kamu benci aku dan kamu ngusir aku, selangkah pun aku nggak bakalan pergi lagi. Aku akan tetap di sini dan jadikan kamu milik aku seutuhnya,”“Nggak ada yang bisa sakitin kamu lagi karena aku udah di sini, Nis… Dulu dan sekarang pun janji aku tetap sama. Aku bakalan bu
Nissa sampai di depan pos perawat di depan lorong Dahlia, ruang rawat ibunya. “Pagi, Mbak Nita… Saya mau tanya kondisi ibu saya yang dirawat di kamar Dahlia 4. Kata adik saya, ibu saya di off-kan besok. Itu benar, ya, Mbak?” Nissa bertanya ramah pada suster penjaga di sana. Kebetulan Nissa mengenal baik perawat di sana. Berada di satu rumah sakit dengan profesi yang sama membuat mereka harus saling mengenal, sekalipun mereka berada di departemen yang berbeda. “Iya, Mbak Nissa. Dokter udah kasih izin buat pulangin ibunya Mbak Nissa besok. Tapi dokter masih harus lihat kondisi pasien seharian ini, Mbak. Kalau belum, nanti dokter bakalan konfirmasi lagi. Tapi kalau ibunya Mbak Nissa udah pulih benar, besok pasti pulang, kok,” “Mbak Nissa konfirmasi aja dulu ke bagian RRI (Ruang Registrasi Informasi) buat selesaikan tagihannya. Biar cepet, Mbak, soalnya bagian RRI bilang banyak pasien baru masuk tapi harus di-hold karena ruangan penuh,” Suster Nita menjelaskan dengan jelas pada Nissa.
“Kenapa kamu bilang kalau saya sedang rapat? Kenapa nggak kasih ke saya aja?” Adimas sejenak mengalihkan tatapannya dari ponsel ke Akmal dengan kesal. Kalau saja tadi Akmal dengan cepat memberitahukan padanya kalau Nissa menelepon, pasti situasinya tidak akan sekesal ini. “Mulai sekarang, kalau nomor ini telepon lagi. Langsung kasih ke saya handphonenya, ya!” Dimas memperingati Akmal yang sudah ketakutan. “Rapat saya bubarkan,” ucap Dimas sebelum bangkit dan melangkah meninggalkan ruang rapat. Perangai Dimas yang berubah drastis jelas membuat semua orang bertanya-tanya. Terlebih ia juga tidak memandang siapa pun saat keluar. Pandangannya hanya tertuju pada layar ponselnya saja. Setelah Dimas keluar, seketika atmosfer di ruang rapat berubah seperti pasar. Beberapa dari mereka langsung bertukar pertanyaan, dan beberapa manager langsung berebut mendekati Akmal. “Pak Akmal, ini gimana, sih?” “Pak Wakil Presdir kenapa coba? Dia marah-marah dari kemarin tapi masa cuma karena satu tele
Nissa seharian tertidur di kamarnya. Ia membawa semua masalah hidupnya dengan tidur dan terbangun pukul sembilan malam. Ia bahkan tidak tahu kepulangan Zaky bersama Dasma karena ketika ia membuka mata, tidak ada suara apapun dan yang terlihat hanya mobil Zaky yang berada di parkiran. Ia juga mengira kalau Zaky pasti sudah tertidur pulas pada jam itu. Nissa ingin berangkat awal karena harus menemui Arul untuk menanyakan kondisi ibunya. Ia berangkat ke rumah sakit menggunakan ojek online hingga tiba di pelataran parkir rumah sakit. Nissa tidak menyadari kalau kedatangannya di sana sejak memasuki gerbang besar rumah sakit, sudah menjadi tujuan utama sepasang mata yang memandangnya hangat. “Nis?” Langkah Nissa terhenti karena panggilan di belakangnya. Itu adalah Dimas. Awalnya Nissa ingin terus melangkah, tapi ingatannya tentang biaya rumah sakit sang ibu membuatnya berbalik mendekati Dimas. “Kamu telepon aku tadi pagi?” Dimas bertanya. “Hmm, iya. Kebetulan banget kamu di sini,” uca