Share

Mantanku Seorang ASN
Mantanku Seorang ASN
Penulis: Yuwen aqsa

Eps 1

“Eh, tumben pulang jalan kaki, Wur,” sapa mbak Yuyun, tetangga yang rumahnya tepat ada di samping rumah Wuri.

Wuri tersenyum ramah. “Motorku bannya bocor, mbak. Tadi sekalian aku tinggal di bengkelnya Bang Andre.”

“Oalah, tadi pulang bareng Siti?”

“Iya, bareng dia. Masuk dulu ya, mbak. Gerah banget pengen cepet-cepet mandi.” Pamit Wuri, buru-buru membuka pagar rumahnya.

Wuri tersenyum melihat mobil milik suami yang tentu saja ada di garasi rumah, tepat ada di samping motor Wina; adik kandungnya. Santai Wuri memutar knop pintu, tapi ternyata nggak bisa, pintunya dikunci. Wuri mengambil kunci pintu yang selalu ia bawa. Ada sesuatu yang janggal muncul dari dalam hati. di rumah ada orang, tapi kenapa pintunya harus dikunci?

Begitu pintu dibuka, Wuri melangkah pelan masuk ke dalam rumah.

“Makin montok kamu, yaang.”

Langkah kaki Wuri terhenti saat sebuah suara itu ia dengar dari dalam kamar adiknya. Dan dia sangat hafal siapa pemilik suara barusan.

“Tiap hari kan dicoel-coel terus sama kamu, gimana nggak jadi montok, iihh!”

Ini adalah suara Wina. Suara khas milik adiknya, tetapi untuk sekarang terdengar sedikit manja dengan desahan yang menyusul.

“Kita mulai ya, yaang, mumpung kakakmu belum pulang.”

Lalu desahan dari Wina mulai terdengar, begitu juga suara nyaring khas dua tubuh yang bentrok. Wuri hampir saja ambruk kalau saja tak ada kursi di belakangnya. Tangannya sampai gemetar karna sangat syok dengan apa yang sekarang dihadapkan. Pelan ia menjatuhkan bokong ke kursi meja makan. Menaruh kresek berisi sate kambing serta martabak telur bebek kesukaan suami dan adiknya.

Kedua tangan mengepal menahan perih hati yang sekarang terasa seperti belati. Kedua mata memanas, sesuai dengan aliran darah yang terasa bukan lagi seperti darah normal. Pelan Wuri memejamkan mata, membiarkan bulir mengalir di kedua pipi. Kehilangan seseorang yang paling dia sayangi, itu memang sakit, tetapi akan lebih sakit jika dia kehilangan dua orang sekaligus dalam hidupnya.

Tangisnya tak bisa lagi dibendung ketika desahan demi desahan itu semakin memenuhi pendengaran. Bayangan adegan demi adegan dari dalam kamar sana, sudah memenuhi kepala Wuri.

Kurang lebih 45 menit, terdengar lengkuhan panjang dari dua manusia di dalam sana. Semua menandakan jika apa yang tengah mereka lakukan sudah usai.

“Iihh, Mas, kok dikeluarin di dalam lagi sih. Gimana kalo aku hamil! Kamu, iihh!” Wina mengomel di dalam sana.

“Tanggal ini kamu lagi nggak subur kan, sayang?”

“Eh iya, ya. Kok kamu tau, mas?”

Terdengar kekehan dari lelaki bergelar suami yang membuat Wuri semakin meremas baju di bagian dada.

“Ya hafal dong. Aku mandi di kamarku aja.”

Wuri menghapus kedua mata serta wajahnya yang sudah basah. Tatapannya fokus menatap pada pintu bercat cokelat yang tepat ada di samping meja makan.

Ceklek!

Tepat saat pintu dibuka dari dalam, seorang lelaki berkulit putih dengan badan basah karena keringat muncul di sana. Kedua mata lelaki itu melebar, seperti akan keluar dari kelopaknya melihat sang istri yang duduk menatapnya. Mulutnya yang membulat sampai terlihat bergetar saking syok dan terkejut. Mirip banget seperti kucing yang ketahuan lagi maling ikan pindang di rumah tetangga.

Untuk sesaat tak ada yang memulai bicara. Bahkan Wuri tetap diam menatap suami tanpa beralih sedetik pun. Sementara suami Wuri terlihat salah tingkah, menunduk, menatap tubuhnya yang memang bagus dan cukup membuat kaum gadis terpesona.

“Mas, kamu kenapa? Katanya mau mandi, kok malah jadi patung di situ?” tanya Wina dari dalam sana.

“Astagfirullah ….” Wuri menutup mata melihat tubuh adiknya yang terlihat tanpa penutup di depan sana. Dia memukul dada semakin kencang, berharap rasa sesak di sana tidak membuatnya mati sekarang.

“Mbak Wuri,” seru Wina dengan sangat terkejut, sama seperti suami Wuri tadi.

Ifan, lelaki yang memang tampan dan cukup pintar ini bergerak menutup pintu. Dia melangkah, mengambil duduk tepat di sebelah Wuri. Dengan tak tau diri Ifan meraih tangan Wuri, membawanya dalam genggaman.

“Wur,”

Dengan cukup kasar Wuri mengibaskan tangan Ifan. Dia menatap tajam wajah tampan yang selalu membuatnya jatuh cinta setiap saat. Hati yang sejak tadi sudah perih, sekarang jadi semakin terasa perih. Dia memalingkan wajah, mengusap bulir yang menetes di kedua mata.

“Wur,” panggil Ifan lagi. “Maafkan aku.”

Wuri menunduk, menatap kedua tangannya yang bertumpu di atas meja. Bulir-bulir kembali jatuh tanpa bisa lagi ia bendung. Seharusnya tadi itu dia mengundang warga, menggerebek suami dan adiknya yang sedang berzina di dalam sana. Hanya saja, dia tak ingin menjadi bahan pembicaraan semua orang. Apa lagi dia yang hidup di kampung seperti ini. Apa saja, pasti akan menjadi bahan bibir.

“Sejak kapan, mas?” tanya Wuri dengan suara tertahan. Dia hanya berusaha untuk terlihat lebih kuat.

Ifan menunduk, terlihat meneguk ludah lebih dulu. “Baru tiga bulan ini. Aku bisa berhenti, Wur. Aku … aku khilaf. Aku nggak akan lagi seperti ini, aku janji.”

Wuri kembali mengibaskan tangan Ifan yang berusaha menggapai tangannya. Dia sampai menggeser sedikit kursi untuk menjaga jarak dari Ifan. “Dia adikku, kalau kamu lupa.”

“Ya, aku tau. Tapi … tapi … pliis, maafkan aku.”

Wuri kembali mengusap mata yang tak mau berhenti meneteskan bulir. “Apa yang akan kamu lakukan setelah aku memaafkanmu, mas?”

Ifan menatap wajah lelah Wuri yang sudah banjir air mata. Ya, dia memang sangat mencintai Wuri, tetapi itu dulu. Dulu saat dia belum mengenal Wina. Belum tergoda oleh yang namanya nafsu dan semua milik Wina yang ternyata lebih menarik dari pada Wuri. Terkadang dia sampai menyesali, kenapa harus bertemu dengan Wuri dahulu? Andai saja dia bertemu dengan Wina lebih dulu, pasti dia tidak akan selingkuh seperti ini.

“Wur,” panggilnya, mengusap bahu Wuri yang bergetar. Ada rasa sakit di dalam hatinya melihat tangis kekecewaan Wuri. “Aku … bagaimana jika … jika aku menikahi Wina secara diam-diam.”

Permintaan pendapat, atau lebih tepatnya pernyataan jika memang Ifan tak bisa meninggalkan Wina. Wuri menoleh cepat dengan kedua mata yang memerah.

“Kamu nggak lupa kalau kamu ini ASN kan, mas?” tanya Wuri dengan nada yang sedikit meninggi.

Ifan mengangguk. “Aku sudah merebut keprawanan Wina. Aku sudah melakukan itu lebih dari sekali. Kamu kakaknya, apa kamu rela jika aku meninggalkan adikmu demi pangkatku ini? Aku bukan lelaki yang egois, Wur.”

Wuri mendesah kasar, dia menarik nafas dalam, lalu membuangnya dengan sangat kasar melalui mulut. “Baiklah jika itu pilihanmu, mas, aku akan menerimanya.”

Wajah Ifan terlihat berbinar mendengar apa yang Wuri katakan.

“Aku yang akan mengurus perceraian kita, mas,” lanjut Wuri beberapa detik kemudian.

Komen (32)
goodnovel comment avatar
Ayang Ello 😉
ada yaa orang kek ifan ...
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
gak akan aku biarkan jika hanya nampol wajahnya saja
goodnovel comment avatar
AlynGrafielloPaxon
menyesakkan dada... kalo aku jadi Wuri, dah ngereog dari sebelum mereka mulai.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status