Begitu empedu ular itu masuk ke dalam mulut Buyung Kacinduaan, sang harimau putih langsung mengangkat kakinya dari leher dan dada Buyung. Dengan cepat pula, kaki harimau putih yang menekan leher itu tadi menahan kepala sang bocah.
Sekali gerakan yang penuh perhitungan tajam dari sang harimau putih sendiri, telapak kakinya yang besar dan berbantal-bantal itu mampu membuat sang bocah jadi terduduk dalam ketidaksadarannya.
Dengan kondisi yang demikian itu, empedu ular yang licin itu langsung turun ke lambung sang bocah.
Dan di sinilah perjudian yang sebenarnya dimulai.
Pertama, cacing-cacing transparan dan bercahaya kebiruan itu sendiri sesungguhnya sangat-sangat beracun andai tidak mengetahui bagaimana cara memakan yang sesungguhnya. Itu sebabnya, selama ini, sang harimau putih selalu melemparkan batu ke arah cacing-cacing itu bergelantungan di langit-langit gua.
Sang harimau putih yang sangat didewakan oleh masyarakat di sekitar Ngarai Sianok tahu p
“Uda, tenanglah,” ujar Upik Andam. “Kepingan itu ada, Upik simpan di tempat yang aman.” Masuga meraih satu tangan sang gadis. “Di mana, Upik. Di mana kepingan itu sekarang? Tolong, berikan padaku.” “Eeng…” Upik Andam terlihat gugup. “Ta—tapi, Uda.” “Upik, tolong,” kata Masuga dengan semakin kencang menggengam tangan sang gadis. “Berikan kepadaku, biar aku bisa merasa tenang.” Digenggam seperti itu saja tangannya oleh Masuga, Upik Andam sudah merasakan dadanya begitu sesak dengan wajah yang memerah. Dan ia semakin merasa sesak jika harus mengeluarkan kepingan yang diminta Masuga sekarang juga. “Upik?” ujar Masuga yang melihat kegugupan di wajah sang gadis. “Tolong Uda, Pik. Kepingan itu mandat dari Raja Minanga. Kalau Uda sampai kehilangan itu, entah apa yang akan terjadi pada Uda ini.” Upik Andam menelan ludah, wajahnya semakin terlihat tegang dan semakin merah. Lalu, lirikan mata sang gadis tertuju ke arah dadanya. Lebih tepatnya, ses
Di sisi barat daya Gunung Singgalang, di tengah-tengah jalan tanah yang biasa digunakan oleh mereka yang menunggang kuda, di antara dua sisi hutan yang begitu rimbun. Empat orang terlibat perkelahian. Tiga melawan satu.Sosok yang di tengah-tengah itu terluka di banyak sisi tubuhnya, pakaiannya pun telah banyak yang robek. Namun, sepertinya ia tetap terus bertahan untuk bisa melawan tiga orang yang mengeroyoknya.Tiga pengeroyok itu tidak lain adalah Rumada alias Siladiang Kamba, Daro alias Sijundai Bakuku Api, dan seorang pria yang memakai pakaian serbaputih begitu juga dengan tudung kepalanya yang dari kulit hewan sejenis cerpelai. Sedangkan orang yang dikeroyok itu adalah salah satu Hulubalang Kerajaan Minanga.“Kau sudah tua, Rimau Buluah,” ujar Rumada sembari menunjuk sosok di tengah-tengah dengan ujung goloknya. “Kenapa tidak menyerah baik-baik, dan katakan saja pada kami, siapa pemegang tanda khusus ketiga, hemm?”
Si Rimau Buluh menggeram kencang, namun ia tidak dapat melakukan apa-apa lagi selain berlutut seperti itu di tanah. Dua tangannya terkulai sebab remuk di dalam, dua kakinya pun telah tidak bisa ia gerakkan sebab urat-urat besar di bagian belakang lututnya telah putus.Kondisi pria setengah abad itu benar-benar menyedihkan dengan darah yang masih menetes ke bumi dari luka-luka di sekujur badannya. Ia juga mengenakan pakaian panghulu layaknya si Kuciang Ameh, namun pakaian berwarna biru itu sudah tidak berbentuk lagi.“Kini kau tahu,” ujar si orang muda kepada Rimau Buluah. “Di atas langit masih ada langit. Kau memandangku sebagai orang yang lebih muda dan mungkin dengan senang kau jatuhkan. Tapi, sayang seribu kali sayang, kau salah mengukur kemampuan orang, Rimau Buluah.”Rimau Buluah mendengus, antara tertawa dan jeritan yang menyatu, lalu lelehan darah juga muncul di sudut bibirnya.“Kalau kau mau membunuhku,” ujar Ri
“Biar kuberi tahu padamu satu rahasia, Rimau Buluah,” ujar Darna Dalun, dan kembali berdiri, menjauh dua langkah dari si Hulubalang Kerajaan itu. “Agar kau tidak mati penasaran.”Darna berbalik, tersenyum menanggapi tatapan yang masih mampu memberikan kesan membunuh yang kuat itu meski air mata masih bergulir dari sana.“Kepingan pertama dan kepingan kedua,” ujar Darna kemudian. “Kami sudah mendapatkannya.”“Ka—kau,” ujar si Rimau Buluah di tengah linangan air matanya. “Kau hanya membual saja, Darna. Kalau aku, aku sudah tua, tentu kalian mampu mengalahkanku. Tapi tidak dengan Simpai Gilo[1] dan Sialang Babega!”Darna menyeringai, ia lalu memandang pada Daro. “Perlihatkan padanya!”Daro pun mengeluarkan dua kepingan dari pecahan Teratai Abadi, tentu saja, satu kepingan adalah palsu sebab mereka tidak mendapat kepingan kedua yang dimiliki Sialang Bab
“Bagaimana dengan kuda itu?” Darna Dalun melirik ke arah kuda coklat yang sedang berada di bawah sebuah pohon.Kuda itu adalah kuda tunggangan si Rimau Buluah sebelumnya.“Tinggalkan saja,” sahut Rumada.“Tidak,” kata Daro. “Kurasa lebih baik dibawa saja.” Dan saat melihat tatapan tidak menyenangkan dari mata suaminya itu, Daro kembali berkata, “Kalian laki-laki memang tidak bisa berpikir panjang.”“Jelaskan maksudmu itu,” ujar Rumada pula sementara itu Darna Dalun hanya menyeringai saja, ini bukan hal asing lagi baginya menyaksikan dua orang gurunya itu saling bertengkar. “Perempuan!”“Apakah kalian akan merampok saja kedai-kedai makan ketika kita kelaparan nanti di tengah perjalanan, hemm?”Rumada terkekeh dan mengangguk-angguk, sekarang ia paham apa yang dimaksudkan oleh istrinya itu.“Paling tidak,” kata Daro. “Kita bi
Langkah-langkah yang gontai itu setapak demi setapak akhirnya memasuki aliran air sungai. Tanpa diminta oleh sang harimau putih sekalipun, Buyung Kacinduaan perlahan-lahan duduk di aliran air. Ya, meski baru sebatas perutnya, namun Buyung sudah merasakan kesegaran yang luar biasa.Benar, luar biasa.Buyung sedikit terkesiap sembari memandangi sang harimau putih yang berbaring di tengah-tengah aliran, hanya bagian leher dan kepalanya itu saja yang berada di atas permukaan air. Makhluk buas itu melenguh dua kali, lenguhan kedua sedikit lebih panjang.Sang bocah menelan ludah. ‘Mungkinkah Inyiak Balang tahu bahwa tubuhku memang sedang terasa panas saat ini? Panas dan begitu lemas?’Buyung beringsut mendekati sang harimau putih. Dan ketika ketinggian air mencapai lehernya, ia memang merasakan sensasi kesegaran yang lebih, seolah-olah aliran pelan dari sungai dangkal itu mampu menghanyutkan rasa panas sekaligus rasa lemas yang ia rasakan.&l
Rumada menghentikan ucapannya, Daro sengaja menyentuh tangannya sebab wanita dan pria si pemilik lapau mendatangi mereka dengan membawa beberapa makanan untuk mereka.“Mari, silakan Uni, Uda,” ujar sang wanita seraya menghidangkan ke atas meja itu beberapa piring tembikar.Satu piring berisi jagung bakar, satu piring berisi singkong rebus, satu piring berisi irisan-irisan daging rusa bakar, dan semangkuk sambal hijau. Sementara yang pria menghidangkan tiga cangkir bambu ke hadapan masing-masing orang tersebut. Ketiga cangkir itu masih mengepulkan uap tipis.Lalu, tiga mangkuk yang dibikin dari batok kelapa, dan satu cerek air. Cerek yang terbuat dari loyang. Pria itu menuangkan air dari cerek ke dalam batok kelapa yang dimaksudkan sebagai pencuci tangan tamu-tamunya itu.“Mari, Uni, Uda, silakan dinikmati,” ujar sang pria pula.“Apakah ini daging rusa?” tanya Daro sebab irisan daging itu berwarna agak gelap.
Empat orang di dalam lapau sama menelan ludah. Tiga pria berbadan besar itu dikalahkan semudah itu saja oleh ketiga orang lainnya. Bahkan, mereka tidak melihat sama sekali bagaimana caranya di pria kedua sampai terjengkang seperti itu dengan kening yang benjut besar.Apa dan bagaimana bisa demikian, tidak satu pun dari keempat orang tersebut tahu. Mereka hanya melihat di tangan pemuda berpakaian serbaputih itu sudah tidak ada lagi potongan jagung bakar yang sebelumnya ia pegang.“Selagi guru-guruku sedang berbaik hati,” ujar Darna Dalun tanpa memandang tiga bandit hutan yang mengerang-erang di tanah itu. “Lebih baik secepatnya kalian berambus[1] dari sini!”Setelah mengetahui mereka telah salah mengincar mangsa, ketiga bandit itu pun segera meninggalkan lapau tersebut. Pria ketiga dan pria kedua memapah pria pertama yang mengalami luka lebih parah, seinci di atas kemaluannya, bahkan luka bolong berjumlah lima itu masih mengucur