[Gaunnya indah sekali, terima kasih, Mark.]
Viona tersentak begitu membaca pesan di ponsel Mark, suaminya.
Tadi, Viona hanya sedang membereskan ruang kerja suaminya seperti biasa. Namun, ponsel suaminya ternyata tertinggal di ruang kerja, dan sebuah pesan muncul di layar. Dengan ragu, akhirnya Viona membuka pesan tersebut.
Beberapa detik kemudian, sebuah pesan baru kembali muncul. Kali ini menampilkan sebuah foto seorang wanita mengenakan gaun mewah berwarna merah marun dengan senyum menggoda.
Namun, bukan senyuman wanita itu yang mengusiknya, melainkan gaun yang dikenakan wanita itu.
Selama empat tahun menjadi istri Mark Dexter, Viona belum pernah merasakan diberikan hadiah, terlebih gaun seindah itu.
Viona memandangi foto itu, matanya mulai berkaca-kaca. Perasaannya campur aduk antara marah, kecewa, dan hancur. Gaun itu begitu indah, lebih indah dari apa pun yang pernah ia miliki. Ironisnya, gaun itu bukan untuknya.
Gaun itu adalah hadiah untuk Stella. Dengan tangan bergetar, Viona meletakkan kembali ponsel Mark di meja kerja, lalu mendengar suara bel rumah berbunyi. Ia menghapus air matanya dan beranjak pergi dari ruang kerja.
Kemudian Viona kembali ke kamar, dan betapa terkejutnya ia melihat Mark yang baru keluar dari kamar mandi dan hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang.
“Mengapa kau begitu terkejut?” ujar Mark seraya berjalan menuju lemari pakaian. Mark memilih pakaian santai untuk malam ini.
“A-aku … baru saja membersihkan ruang kerjamu,” Viona tidak dapat menutupi rasa gugupnya, dipikirnya, Mark masih di dalam kamar mandi
"Mark, ada yang ingin aku bicarakan," kata Viona, suaranya bergetar sedikit.
Mark hanya menoleh sedikit ke arah Viona lalu berjalan melewatinya dan melepas handuk yang melilit bawah tubuhnya.
“Aku tidak suka berbasa-basi, Viona,” sahut Mark tanpa menoleh.
Sikap Mark saat ini masih sama seperti sejak awal pernikahan. Pernikahan mereka terjadi karena kecelakaan yang membuat mereka akhirnya dijodohkan.
Meskipun begitu, Viona telah mencintai Mark sebelum mereka menikah. Setelah menikah, Viona berusaha menjadi istri yang baik, ia bahkan rela mengubur mimpinya demi menjadi istri yang patuh bagi Mark.
Setelah semua yang Viona lakukan untuk Mark, Mark tetap tidak berubah.
Viona teringat kejadian tiga tahun lalu, ketika pertama kali mengetahui sang suami berselingkuh dengan Stella, temannya.
Saat itu, ibu Viona jatuh sakit dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Viona membutuhkan bantuan Mark, namun Mark berkata tidak bisa datang karena sedang ada perjalanan bisnis.
Keesokan harinya, Viona melihat artikel yang memberitakan bahwa Mark sedang berada di Kota Harmonia bersama Stella, sebuah tempat di Negara Astrea yang terkenal dengan pemandangannya yang indah.
Sejak saat itu, Viona sadar bahwa perhatian Mark lebih tercurah pada Stella.
Hanya saja, yang membuat Viona semakin tidak mengerti adalah mengapa Mark bisa menjadi dekat dengan Stella hingga saat ini.
Sebelum Viona sempat melanjutkan, ponselnya bergetar di meja rias, menampilkan nama yang sangat dikenalnya, Paman Andy.
Viona menghela napas dalam dan melirik ke arah suami yang sudah mengganti pakaiannya dan berjalan keluar kamar, seolah tidak peduli dengan apa yang ingin Viona bicarakan.
Viona menjawab panggilan tersebut dengan hati yang berat. "Halo, Paman," sapanya, suaranya terdengar lelah namun penuh harap.
"Viona, ada kabar tentang ibumu," suara Andy terdengar serak.
"Dokter mengatakan ia membutuhkan tindakan medis lanjutan. Biayanya cukup besar, Viona."
Darah Viona berdesir. Ibunya, Maria, telah dirawat di rumah sakit milik suaminya, Berlian Hospital, sejak sakitnya semakin parah.
“Paman, aku akan cari cara,” Viona berbisik, berusaha menenangkan diri meski hatinya bergemuruh.
Keluarga Viona sedang mengalami kehancuran. Ayah Viona ditahan karena tuduhan penggelapan dana investor, sementara ibunya jatuh sakit dan membutuhkan biaya lebih dari 50 juta setiap bulan untuk perawatan.
“Viona, dia suamimu, CEO Light Corp yang memiliki banyak perusahaan di berbagai sektor industri. Harta suami adalah milik istri juga. Kamu punya hak atas uangnya,” Paman Andy memaksa Viona untuk meminta uang kepada Mark.
Namun, bagi Viona, kenyataannya tidak sesederhana itu. Bagaimana bisa ia menganggap harta Mark sebagai miliknya ketika cinta yang seharusnya menjadi landasan pernikahan mereka tidak pernah ada?
“Paman, akan aku kabari segera. Tolong jaga Ibu. Terima kasih, Paman.” Viona mematikan panggilan tersebut.
Dengan perasaan hancur, Viona memutuskan untuk menemui Mark. Seperti dugaannya, Mark berada di ruang kerja.
Dengan napas yang berat, Viona mengetuk pintu coklat di hadapannya sebelum masuk ke dalam, Viona melihat Mark yang tenggelam dalam tumpukan berkas dan layar komputer yang bersinar terang, dengan kacamata yang ia gunakan ketika membaca berkas-berkas penting.
"Mark, aku perlu bicara denganmu," suaranya terdengar lembut namun penuh keputusasaan.
Mark mengangkat pandangannya, melepas kacamata dan menyandarkan punggungnya ke kursi. Ia menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan pikiran-pikirannya lalu menatap Viona dengan tatapan datar. “Duduk.”
Viona menelan ludah, mengumpulkan keberanian, kemudian ia melangkah mendekat ke meja kerja Mark. "Mark, i-ibuku sedang—” perkataannya terpotong oleh dering ponsel Mark.
Dari posisinya, Viona melihat nama Stella di layar ponsel.
Mark melirik ke arah Viona, memberikan tanda bahwa ia harus menjawab panggilan tersebut. “Aku akan segera ke rumah sakit.” Panggilan itu pun terputus. Mark kembali mengalihkan pandangannya ke arah Viona.
“Aku harus pergi. Bicara saja lain kali,” tukasnya seraya meraih mantel. Mark berjalan melewati Viona.
“Mark, apakah kamu akan pergi untuk menemui Stella?”
Hola, Holaaa~ Selamat datang di buku baruku.. jangan lupa tambahkan ke perpustakaan dan review setelah membaca~
Suara tawa riang mengisi ruang keluarga. Mark duduk di lantai beralas karpet, kedua bayi kembarnya berada di pelukannya. Di sebelahnya, Viona tertawa kecil sambil merapikan seragam anak sulung mereka, Leo, yang sedang bersiap berangkat ke sekolah.“Ayah, aku sudah besar. Aku bisa pasang sepatu sendiri,” ucap Alleta dengan penuh percaya diri, meski tali sepatunya masih belum terikat sempurna.Mark tersenyum sambil mengangkat salah satu bayi, yang memekik kegirangan. “Benar, Nak, Ayah sekarang sibuk sama dua jagoan kecil ini. Kamu harus bantu Mama, ya?”Alleta mengangguk dengan wajah ceria, lalu melompat-lompat di tempat. “Iya, Pa. Nanti aku belajar cara mengganti popok juga!”Viona tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kau kakak yang baik untuk kedua adikmu, Alleta.”Alleta mengecup pipi ibunya, bahagia mendapatkan pujiannya.Salah satu bayi menoleh ke arah Mark dan berseru, “Ayah!” sambil meraih wajahnya dengan tangan mungilnya. Yang satunya tidak mau kalah dan berseru, “Ibu!” dengan
Satu tahun kemudian …."Ayah, lihat boneka Letta!" seru Alleta dengan suara riang, mengangkat boneka Barbie bergaun merah berkilauan. Matanya berbinar-binar, pipinya memerah karena kegirangan.Mark menunduk, mengangkat Alleta ke pangkuannya. "Siapa yang memberikan ini, hm?" tanyanya sambil tersenyum lebar."Kakek Alex!" jawab Alleta antusias, memeluk boneka itu erat. "Kata Kakek, ini spesial!""Spesial sekali, ya? Kamu harus bilang terima kasih sama Kakek Alex," ujar Mark, mengusap rambut anak perempuannya yang lebat dan hitam.Alleta bangkit dari pangkuan Mark berjalan cepat mengecup pipi Alex, "Thank you, grand Pa!" celoteh Alleta dengan suara cerianya.Alex, yang duduk di sofa bersebelahan dengan Viona, hanya terkekeh. "Anak ini benar-benar tahu bagaimana mencuri hati seorang kakek," katanya sambil mengangguk puas."Ayah saja yang terlalu memanjakannya." goda Viona sambil membawa nampan berisi minuman hangat. Bayi mungil mereka kini sedang aktif-aktifnya. Namanya Alleta, ceria dan
Mark terbangun dengan mata yang terasa berat. Ia melihat ke sekeliling kamar dengan bingung, suara tangisan bayi membelah keheningan malam. Pukul tiga pagi, pikirnya sambil mengusap wajah yang lelah."Viona?" panggilnya pelan, tapi tidak ada jawaban. Ia berbalik, menemukan sisi ranjang Viona kosong.Mark bergegas keluar kamar, menuju suara tangisan itu. Di ruang bayi, ia melihat Viona dengan sabar menggendong bayi mereka, menepuk-nepuk punggungnya yang mungil dengan lembut."Kenapa kau tidak membangunkanku?" tanya Mark, suaranya serak.Viona menoleh dengan senyum lelah tapi lembut. "Kau sudah terlalu capek, Mark. Biar aku yang mengurusnya.""Tidak, ini juga tanggung jawabku," kata Mark tegas, lalu mendekat untuk mengambil bayi mereka. Namun begitu bayi itu berpindah ke pelukannya, tangisannya malah semakin kencang."Kenapa dia makin menangis? Aku sudah pegang dengan benar, kan?" tanya Mark panik, mengayun-ayunkan bayi mereka dengan canggung.Suara melengking yang memekakkan telinga b
Viona merasakan kontraksi yang begitu kuat saat sedang duduk di sofa. Tiba-tiba, aliran hangat merembes ke bawah, membuatnya panik."Mark!" panggilnya dengan suara gemetar. "Air ketubanku pecah!"Mark, yang sedang membaca laporan di ruang kerjanya, langsung berlari ke ruang tamu dengan wajah panik. "Apa? Pecah? Apa yang harus kita lakukan?!" Serangkaian pertanyaan meluncur tanpa henti dari mulutnya.Mark mendekat namun tak tahu harus apa. Rasa panik menguasai pikirannya. "Bagaimana ini?" Sakitkah?" Pertanyaan konyol Mark malah keluar melihat wajah puas istrinya yang kembali merasakan kontraksi."Rumah sakit, Mark! Kita harus segera ke rumah sakit!" kata Viona, mencoba tetap tenang meski rasa sakit mulai menusuk.Mark mengangguk, lalu berlari ke sana kemari, mengambil kunci mobil, tas bayi, dan bahkan jas kerjanya."Di mana kunci mobil? Ah, ini! Tas? Apa kita butuh pakaian? Kenapa pakaianku yang kubawa? Ya Tuhan, aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan!"Viona tersenyum lemah
Di sebuah toko perlengkapan bayi yang megah, Mark dan Viona sibuk memilih barang untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.Usia kehamilan Viona sudah menginjak sembilan bulan, dan pasangan itu tengah dipenuhi suka cita.Mereka sengaja tidak mengetahui jenis kelamin bayi mereka, berharap mendapatkan kejutan yang manis saat kelahiran tiba.Mark memegang sepasang sepatu bayi mungil berwarna putih di tangannya. Ia memandangi sepatu itu dengan tatapan penuh rasa bangga. "Bagaimana menurutmu? Sepatu ini sempurna, bukan?"Viona yang sedang memeriksa selimut bayi bermotif bunga menoleh, alisnya terangkat. "Putih lagi, Mark? Kita sudah punya lebih dari cukup barang putih. Haruskan semuanya berwarna polos?""Putih itu elegan dan netral," Mark menjawab sambil mengangkat bahu, senyumnya lebar. "Lagipula, kita tidak tahu jenis kelamin bayi. Putih adalah pilihan yang paling aman."Viona menghela napas panjang, meletakkan selimut yang sedang ia periksa. "Mark, bayi kita juga butuh warna! Hidup itu
Mark sedang berdiri di depan jendela besar kantornya. Langit mendung di luar, menggambarkan suasana kota yang penuh hiruk-pikuk.Ia memutar gelas kopi di tangannya, pikirannya melayang. Suara ketukan pintu memecah lamunannya."Masuk," katanya tegas, tanpa menoleh.Ben, sekretaris pribadinya, masuk dengan langkah hati-hati. Wajahnya tampak lebih serius dari biasanya.“Tuan Mark, ada kabar penting yang perlu Anda ketahui,” ucap Ben dengan nada pelan tapi jelas. Ben tampak ragu namun ia harus melakukan ini.Mark mengangkat alis dan memutar tubuhnya, menatap Ben dengan ekspresi datar. “Apa itu, Ben?”Ben menelan ludah, seolah mencari cara terbaik untuk menyampaikan berita tersebut. “Tuan saya tahu anda tidak mau mendengar laporan tentang nona Stella, namun kali ini anda harus mendengarkan. Stella … dia sudah tiada.”Mark mengerutkan kening, matanya menyipit. “Maksudmu … sudah tiada? Jelaskan, Ben.”Ben menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Kondisinya semakin memburuk di rumah sakit te
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela besar di ruang tamu. Viona sedang merapikan bunga di vas ketika bel pintu berbunyi.Ia berjalan menuju pintu dan membuka perlahan, menatap sosok yang sudah familiar berdiri di depan rumah.“Ayah,” sapanya lembut. Senyum kecil menghiasi wajahnya.Alex lega melihat senyum segar Viona. Mereka berdua berpelukan dan Viona mengajak masuk mertuanya itu.Alex, dengan jas abu-abu yang rapi, mengangguk singkat. “Pagi, Viona. Maaf datang tanpa memberi tahu. Aku sengaja datang untuk melihat keadaanmu."“Tidak perlu memberi tahu juga tidak masalah, Ayah. Silakan masuk. Aku akan menyiapkan teh hijau kesukaanmu," senyum akrab keduanya bagai ayah dan anak. Viona mempersilahkan ayah mertuanya itu duduk di sofa.Alex melangkah masuk, memperhatikan interior rumah yang terasa hangat dan nyaman. Bahagia melihat keadaan menantunya yang sehat. Ia duduk di sofa, sementara Viona menuangkan teh hangat untuknya.“Ada sesuatu yang ingin Ayah bicarakan?” Viona bertanya, d
Pintu rumah megah itu terbuka dengan suara klik lembut, memperlihatkan sosok Mark yang baru saja pulang.Jas hitamnya masih rapi, meskipun ekspresi wajahnya terlihat tegang. Ia meletakkan tas kerjanya di meja ruang tamu tanpa berkata apa-apa.“Mark,” suara Viona yang lembut menyambutnya dari sofa. Wanita itu menoleh dari dokumen yang sedang ia baca, wajahnya menyiratkan kekhawatiran.Mark mengangguk singkat. “Ada apa?” tanyanya dengan nada datar, meskipun matanya sedikit melunak saat melihat Viona.Hati Mark perih melihat istrinya yang hamil dan selama ini ia acuhkan. Viona mendekat dan debar kerinduan Mark membuncah melihat wajah cantik penuh kesabaran Viona.Viona menatapnya ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara, memilih kata-katanya dengan hati-hati.“Mila meneleponku tadi siang. Dia … memarahiku, katanya semua ini salahku karena aku yang membuat putrinya kesusahan dan sakit. Jujur Mark, apa benar kau menutup akses Stella di rumah sakitmu?”Mark menghela napas berat, kemudian dud
Langit pagi yang cerah terasa kontras dengan suasana hati Mila yang kacau balau.Stella terbaring lemah di ruang perawatan sebuah rumah sakit biasa, jauh dari kenyamanan fasilitas rumah sakit mewah milik Mark. Nafas Stella masih berat, namun kondisinya perlahan stabil.Ranjang kecil dengan kasur yang tidak nyaman jauh dari kata mewah seperti yang biasa Milla terima dari rumah sakit sebelumnya.Mila sedih menatap putrinya berjajar dalam ruangan besar bersama pasien lain yang entah sakit apa.Tirai untuk privasi ruangan pasien memang mampu menutup tubuh putrinya agar tidak terlihat pasien lain tetapi malah membuat ia sangat kegerahan.Apalagi kamar mandi yang digunakan juga bersama. Mila tidak yakin keadaan putrinya membaik dengan segala fasilitas minim yang ia lihat saat ini.Mila sampai tidak bisa menyembunyikan kemarahan dan frustasinya. Ia menggenggam erat ponselnya, mencoba menghubungi Mark lagi untuk yang kesekian kalinya, tetapi tidak ada jawaban. Mila tahu Mark dengan sengaja me