Plak!
“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”
Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.
Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah.
Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.
Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.
“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.
Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?
Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.
Sayangnya, ia justru didorong menjauh.
Bugh!
“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”
Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.
“Lihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.”
Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.
Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.
Naina dipermalukan habis-habisan.
Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!
Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.
Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuan–mencoba menenangkan diri.
Hanya saja…. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.
Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.
Namun, ia berharap sang suami membelanya.
Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.
Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikah…..
Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.
Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.
Drrt!
Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya.
Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu.
Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.
Suami yang ia cintai… suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.
“Naina…”
Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.
“Maaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.” Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina.
“Nggak papa, aku juga baru sampai kok.”
“Loh bukannya kamu udah otw dari tadi?” tanya Zelda tampak terheran-heran.
“Iya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.”
Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.
Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu.
Sakit hati?
Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.
“Emang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.” Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.
“Ya, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.” Naina menghela napas berat.
“Aku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.” Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.
“Hei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.” Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.
Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.
“Oh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?”
Naina mengangguk yakin. “Setelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.”
Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. “Aku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.”
“Jangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.”
“Nai....” Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.
“Sekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.”
Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.
“Orang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,” lanjutnya.
“Lalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?”
Naina menggeleng pelan. “Belum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.”
“Aku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.”
“Aku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.”
Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik.
Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin.
Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.
Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja.
Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?
Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.
Tapi… apakah ia tidak pantas dicintai?
“Kalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?”
Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya.
“Aku yang akan menggugat cerai.”
Dhafin tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menyimpan banyak luka. Pandangannya kosong, terarah pada gelas di depannya. Jari-jarinya bergerak memutar sedotan dalam minuman, seperti mencari pelarian dari kekalutan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Bahkan sejak bercerai dari Lora, saya sudah hancur, Grissham,”ucapnya lirih, “hidup saya berantakan. Tidak ada arah, tidak ada tujuan.” Matanya sedikit berkaca, tapi ia cepat mengedipkannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh. “Sekarang yang tersisa hanyalah anak-anak. Si kembar… mereka satu-satunya hal paling berharga yang saya punya.” Ia menghela napas, panjang dan berat. “Yang penting bagi saya, saya masih diperbolehkan bertemu mereka, masih bisa memeluk mereka, menjadi seorang ayah yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.” Grissham menyandarkan tubuh di sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. Satu kakinya disilangkan di atas yang lain, sikapnya tenang tapi tak sepenuhnya dingin. Tatapannya menyorot pe
Ngotea AjaTempat yang dipilih oleh Grissham untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Kafe teh yang berlokasi di pusat kota ini sedang naik daun dan menjadi primadona di berbagai kalangan.Nuansanya kekinian dengan interior bergaya hangat dan nyaman, sangat cocok untuk tempat berkumpul bersama teman, keluarga, maupun untuk sekadar me time. Meski terbilang baru berdiri, kafe ini telah berhasil menarik banyak pengunjung berkat strategi pemasaran yang jitu dan atmosfer yang menyenangkan.Setiap hari, kafe ini selalu ramai. Pengunjung datang silih berganti, apalagi saat sore seperti ini.Bukan hanya anak muda, para pekerja kantoran pun kerap menyempatkan diri mampir untuk melepas penat selepas bekerja seharian penuh.Grissham termasuk salah satu pelanggan di kafe ini. Ia sudah beberapa kali datang kemari, terutama saat ingin menyendiri atau mengerjakan proyek-proyek yang bersifat rahasia. Contohnya seperti sekarang.Laki-laki itu duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela kac
Grissham tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia terdiam, menyusun kata-kata yang tepat sebagai jawaban. “Karena aku belum menemukan waktu yang tepat, Ayah. Aku berencana mempertemukan Lora dan Annelies, lalu menceritakan semuanya.”“Ayah tahu sendiri akhir-akhir ini kami sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga belum sempat,” ucapnya menjawab pertanyaan sang ayah.Pak Albern mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh penilaian. “Kali ini Ayah tidak setuju dengan tindakanmu itu.”“Seharusnya sejak awal kau sudah menjelaskannya. Ketika kau memutuskan untuk meminang Lora, di situlah seharusnya kau membuka semuanya tentang Annelies.”“Bukannya menunda-nunda yang justru memberi celah bagi musuh untuk menghancurkanmu,” balasnya.Grissham menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. “Aku juga tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini.”“Kedatangan Annelies ke sini, awalnya memang aku rencanakan untuk mempertemukan
“Grissham!”Grissham yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin meja rias menoleh ketika pintu kamarnya di buka dengan keras.Ia meletakkan sisir, lalu membalikkan badan hanya untuk mendapati sang ayah yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut menahan amarah.Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya.“Kau ini benar-benar membuat malu!” bentak Pak Albern tajam. Di tangan kirinya tergenggam sebuah iPad yang menyala, menampilkan sebuah tayangan.Grissham memegang pipinya yang terasa panas menyengat. Matanya menatap ayahnya penuh keterkejutan. “Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?”“Ada apa, katamu? Lihat ini!” Pak Albern menyodorkan iPad itu kasar ke arah Grissham. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan diri agar tidak kembali melayangkan tangan pada sang anak yang sepertinya belum tahu apa-apa.Grissham memperbaiki posisi iPad dan mulai menyimak tayangan di dalamnya. Seketika, bola mata abu-abunya membulat.Ia dibuat sangat terkejut menonton video berdurasi
Lora menghembuskan napas, lalu mengangguk patuh. “Iya, Ayah.”Melawan pun percuma. Mereka pasti akan tetap memaksanya untuk istirahat di rumah. Jika dilanggar, ayahnya pasti akan menyuruh bodyguard untuk membatasi pergerakannya.“Mama!”Lora menoleh dan mendapati dua buah hatinya berlari ke arahnya. Senyum di bibirnya mengembang lebar. Ia segera berpindah posisi menjadi berlutut sambil merentangkan tangan, bersiap menyambut keduanya.Bersamaan dengan itu, para pelayan dari dapur mulai mengantarkan sarapan yang sudah matang. Aroma sedap langsung memenuhi ruangan saat makanan ditata di atas meja.“Mama!” Dua balita itu menghambur ke pelukan ibunya, seolah baru saja bertemu setelah berpisah lama.Lora membalas pelukan mereka erat-erat, mencium kepala keduanya satu per satu. Sejak kemarin, ia sama sekali belum bertemu dengan si kembar. Rasa rindu disertai perasaan bersalah menyelinap di hatinya.Masalah yang terjadi benar-benar menguras emosi dan pikirannya. Ditambah lagi kondisi tubuh ya
“Hu-hubungan yang sangat dekat? Tanggung... jawab?”Lora tertawa pelan. Bukan karena lucu, melainkan tawa getir yang sarat kepedihan. Perkataan Grissham mungkin terdengar ambigu dan butuh penjelasan lebih lanjut. Namun, dirinya sudah tidak sanggup lagi mendengarkan apa pun yang justru hanya akan makin mencabik-cabik hatinya. Ia tak bisa lagi berpikir jernih, apalagi positif. Entah hubungan dekat macam apa yang mereka jalani, yang pasti hal itu membuat kepercayaannya hancur berkeping-keping. Ditambah lagi dengan tanggung jawab. Semua orang pun pasti akan berpikir yang tidak-tidak.“Apa… Kak Sham menyayanginya?” tanyanya lagi, seolah masih belum puas. Ia sudah tak mampu menggambarkan bagaimana bentuk hatinya kini. Terlalu sakit, sampai rasanya kebas.Grissham mengangkat kepala, menatap Lora sendu. Ia tak ingin menjawab, tetapi sorot mata wanita itu seperti memaksanya. Tatapan yang tak bisa dibantah. “Iya, aku sangat menyayanginya. Tapi–”“Cukup!” potong Lora sambil mengangkat tangan m