Share

Mari Berpisah, Aku Menyerah
Mari Berpisah, Aku Menyerah
Penulis: Putri Cahaya

1. Aku Lelah

Penulis: Putri Cahaya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-07-22 21:36:08

Plak!

“Dasar wanita pembunuh! Untuk apa kau di sini?!”

Baru saja Naina tiba di acara pemakaman sang putra, ibu mertuanya sudah menghampiri dan menamparnya.

Tak siap, Naina pun tersungkur di tanah. 

Hal ini membuat para tamu menatap penasaran akan pertengkaran mertua dan menantu itu.

Naina menatap ibu dari suaminya itu dengan pandangan penuh luka. Air mata yang tadinya sudah mengering kembali lolos disertai rasa nyeri menghantam dada.

“Tidak, Ma. Aku tidak mungkin membunuh putraku sendiri.” Naina menggeleng keras.

Wanita itu telah berjuang membawa putranya ke dunia. Mana mungkin, ia melakukannya?

Naina hendak meraih tangan sang mertua–mencoba menjelaskan.

Sayangnya, ia justru didorong menjauh.

Bugh!

“Tidak mungkin?! Dokter bilang Altair meninggal karena ada racun dalam tubuhnya yang berasal dari makanan!” teriak sang mertua, “hanya kamu yang menyentuh makanan cucuku. Apa kamu mau menuduh orang lain?”

Naina semakin terisak. Tubuhnya bergetar hebat mendengar perkataan menyakitkan dari ibu mertuanya.

“Lihat semuanya! Wanita sialan ini sudah membunuh cucu saya! Disaksikan semua yang ada di sini, saya berjanji akan menjebloskannya ke penjara.” 

Seakan belum cukup, Bu Anita berteriak kencang, sehingga orang-orang yang hadir di pemakaman itu, menatap jijik Naina.

Beberapa bahkan mulai mengambil ponsel mereka untuk merekamnya.

Naina dipermalukan habis-habisan.

Seorang ibu membunuh anaknya? Dia pasti wanita gila!

Kira-kira begitulah yang Naina tangkap dari gesture mereka.

Naina menggenggam kuat kedua tangannya yang berkeringat di pangkuan–mencoba menenangkan diri.

Hanya saja…. kala Naina mengalihkan pandangannya, ia menyadari Dhaffin berdiri di sudut ruangan.

Entah apa yang dipikirkan suaminya itu, Naina tak tahu.

Namun, ia berharap sang suami membelanya.

Meski pernikahan mereka tidak diharapkan.

Meski Altair pun awalnya hadir karena kecelakaan satu malam setelah menikah…..

Meski mantan tunangan yang harusnya dinikahi pria itu, telah kembali ke negara ini.

Sayangnya, harapan Naina justru pupus kala Dhafin pun menjauh dan memberikan tatapan dingin padanya.

Drrt!

Dering ponsel membuat Naina tersadar dari lamunannya. 

Diusapnya butiran bening yang tak sengaja jatuh kala mengingat suaminya yang tampak ikut menuduh dirinya di hari itu. 

Rasa perih yang tak terkira kembali menyayat hatinya. Sungguh, tiada yang lebih menyakitkan selain tidak mendapatkan kepercayaan dari suaminya.

Suami yang ia cintai… suami ia sayangi dengan setulus hati lebih memihak pada keluarganya dan memilih menjauhinya.

“Naina…”

Wanita cantik itu mendongak lantas tersenyum tipis menyambut kedatangan sahabatnya. Saking lamanya melamun sampai-sampai ia mengabaikan panggilan telepon dari Zelda, sang sahabat.

“Maaf, ya, aku baru datang. Lagi rame pelanggan soalnya, jadinya aku ikut turun tangan.” Zelda mengambil tempat duduk di hadapan Naina. 

“Nggak papa, aku juga baru sampai kok.”

“Loh bukannya kamu udah otw dari tadi?” tanya Zelda tampak terheran-heran.

“Iya, aku lebih dulu membagikan makanan hasil masakanku ke orang-orang di pinggir jalan sama Pak Yanto.”

Naina pun menceritakan kejadian tadi pagi dimana makanan yang ia masak susah payah dari subuh sama sekali tak disentuh oleh keluarga Dhafin.

Mereka terprovokasi dengan perkataan Freya yang menuduhnya memasukkan racun dalam makanan itu. 

Sakit hati? 

Tentu saja. Sudah tak terhitung seberapa banyak luka yang mereka torehkan kepadanya semenjak menikah dengan Dhafin.

“Emang benar-benar nggak ada akhlak itu keluarganya si Dhafin. Omongan mak lampir dipercaya.” Zelda berdecak kesal setelah mendengar cerita dari Naina.

“Ya, begitulah. Melawan pun percuma, nggak ada lagi yang mempercayaiku.” Naina menghela napas berat.

“Aku lelah banget, Zel. Aku nggak sanggup lagi menanggung semuanya sendirian. Rasanya aku ingin menyerah dan menyusul Altair.” Suara Naina bergetar disertai mata berkaca-kaca.

“Hei, jangan ngomong gitu, Nai. Kamu nggak sendirian. Ada aku yang siap membantumu kapanpun kamu butuh.” Zelda menggenggam tangan Naina menguatkan.

Naina tersenyum tulus bercampur haru. Ia sangat bersyukur masih mempunyai Zelda, sahabat yang senantiasa menemaninya di saat semua orang menjauh.

“Oh ya, mengenai ucapanmu semalam, apa kamu yakin Dhafin mau menceraikanmu?”

Naina mengangguk yakin. “Setelah semua yang terjadi, Mas Dhafin nggak mungkin nggak mau karena sekarang udah nggak ada lagi yang mengikat kami.”

Ia menatap sendu minuman pesanannya yang masih utuh. “Aku sama Mas Dhafin udah sangat jauh. Nggak ada obrolan di antara kami layaknya suami-istri.”

“Jangankan ngobrol, menatapku saja dia tampak nggak sudi. Sikapnya juga semakin dingin tak tersentuh.”

“Nai....” Zelda semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Naina.

“Sekarang Freya udah kembali. Pasti Mas Dhafin pengen cepat-cepat berpisah apalagi setelah fitnah keji itu mengarah padaku.”

Naina menggigit bibir bawahnya menahan sesak dalam dada. Ia memejamkan mata sejenak sembari menarik napas dalam-dalam.

“Orang tuanya juga terus mendesaknya agar segera menceraikanku. Nggak menutup kemungkinan Mas Dhafin bakal menuruti perintah mereka,” lanjutnya.

“Lalu bagaimana dengan kehamilanmu? Apa kamu belum memberitahu Dhafin?”

Naina menggeleng pelan. “Belum tentu Mas Dhafin mau menerimanya.”

“Aku kira dengan kamu hamil, hubunganmu sama Dhafin bakal ada kemajuan.”

“Aku kira juga gitu, Zel. Tapi nyatanya? Masa lalu tetap menjadi pemenangnya.”

Naina tersenyum miris. Teringat waktu Dhafin kembali menyentuhnya dalam keadaan sadar. Ia berharap hubungannya dengan sang suami akan membaik. 

Ditambah lagi setelah mengetahui dirinya mengandung. Ia sangat bahagia dan tidak sabar memberitahu Dhafin. 

Namun sayang, kebahagiaannya langsung runtuh seketika saat melihat Dhafin bermesraan dengan Freya.

Naina merasa seperti wanita penghibur yang didatangi hanya ketika dibutuhkan saja. 

Sebegitu tidak berharganya kah ia di mata Dhafin?

Naina juga sadar, dirinya hanya anak seorang pembantu yang bekerja di keluarga Freya.

Tapi… apakah ia tidak pantas dicintai?

“Kalau misalkan Dhafin nggak mau menceraikanmu bagaimana?”

Pertanyaan dari Zelda membuat Naina sedikit tersentak. Ia terdiam beberapa detik seraya menatap lekat sahabatnya. 

“Aku yang akan menggugat cerai.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (5)
goodnovel comment avatar
Dian Alv'To ReEza
mau2nya nikah diinjak2
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
makanya klu menikah jgn cinta sendirian kayak orang g waras. udah tau laki g cinta tapi msh aja menye2 kayak orang bodoh.
goodnovel comment avatar
Dinda Mardhotillah
ceritanya baguss
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   346. Batas Kesabaran Dhafin

    Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   345. Hanya Topeng Semata

    Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   344. Kejanggalan yang Terlambat Terbaca

    “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   343. Kesempatan yang Disia-siakan

    Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   342. Di Balik Kerja Sama

    Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   341. Di Antara Harapan dan Bahaya

    Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status