Share

2. Rencana Pertunangan

Author: Putri Cahaya
last update Last Updated: 2024-07-22 21:37:19

“Aku yang akan menggugat cerai.”

“Kamu serius?” Terkejut, Zelda tampak tidak menyangka Naina akan menjawab seperti itu.

“Jangan mengambil keputusan saat kamu sedang kacau, Nai. Meski aku berharap kalian berpisah, tapi jangan sampai kamu menyesal nantinya. Dan lagi, pikirkan juga tentang calon anakmu.”

Naina kembali menghela napas panjang. “Aku udah mempertimbangkan baik-baik keputusan ini dengan segala resikonya termasuk masalah anak.”

“Aku akan merawat dan membesarkannya sendirian. Menjadi single mom bukan pilihan yang buruk daripada bertahan di keluarga toxic itu,” paparnya.

Zelda tersenyum. “Inilah yang kutunggu-tunggu darimu, Nai. Kamu mampu mengambil keputusan tegas. Aku akan membantumu lepas dari mereka.”

Ia memperbaiki posisi duduknya menjadi lebih condong ke arah Naina. “Tapi sebelum itu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah merubah sikap.”

“Jangan terlalu patuh yang membuat dirimu ditindas terus. Buktikan kalau kamu nggak selemah yang mereka kira.” 

Naina menyimak dengan serius semua saran dari Zelda. Ia juga menceritakan dirinya yang melakukan sedikit perlawanan akhir-akhir ini.

“Bagus, pertahankan itu. Melawan bukan berarti durhaka. Kamu harus berani membela dirimu sendiri agar tidak semakin terinjak.”

Naina mengangguk mantap. Dalam hati, ia bertekad tidak akan lagi membiarkan dirinya direndahkan. Sudah cukup.

Setelah sepakat sekaligus menghabiskan waktu bersama sahabatnya, Naina pun pulang ke rumah. 

Sudah pukul 19.00, tapi ruang tamu dan ruang makan tampak sepi.

Hanya ada pembantu dan juga pegawai di rumah. Padahal, Naina ingin menemui Dhaffin yang akhir-akhir ini sulit ditemui. 

Lesu, ia menuju kamarnya, tetapi ia tersentak kala mendengar percakapan dari arah kolam renang.

“Mama nggak sabar pengen cepat-cepat menjadikan Freya menantu keluarga ini.” Suara antusias mertua Naina terdengar keras–berbeda jauh setiap wanita itu menyebutkan nama Naina.

“Bagaimana kalau kita melaksanakan pertunangan setelah acara 40 hari Altair?”

Semua orang di sana terdengar tertawa membuat Naina menahan air mata.

Keadaan masih berduka atas meninggalnya Altair. Tapi, mereka semua berencana melangsungkan pertunangan?

Tak bisakah mereka menunggu dulu?

“Tapi, apa itu tidak terlalu cepat, Ma? Kita kan baru saja berduka atas meninggalnya Altair. Apa pantas kita mengadakan pesta pertunangan secepat itu?” 

Tiba-tiba suara Freya terdengar, sedih. 

“Freya juga tidak enak dengan Naina yang baru saja kehilangan anaknya.”

Naina tersenyum miring. Tangannya mengepal kuat menahan geram. Begitu pandai Freya bersandiwara di hadapan mereka.

Perempuan itu bahkan tersenyum mengejeknya beberapa hari lalu dan tak menunjukkan simpati. Sekarang, justru berpura-pura?

Licik! 

Freya menyembunyikan kebusukannya dibalik topeng berhati malaikat seperti yang semua orang lihat.

Ingin rasanya Naina berteriak, Freya tidak sebaik itu! Namun, ia tidak mempunyai bukti yang membuatnya tidak bisa berkutik.

“Halah, biarin aja wanita itu. Emangnya dia doang yang sedih? Kita semua bahkan jauh lebih sedih.” Ibu mertua Naina membalas dengan nada sangat ketus, lalu bertanya pada sang putra. 

“Bagaimana menurutmu, Dhafin? Apa kamu setuju?” 

Kali ini, Naina gemetar. Ia menunggu dengan cemas jawaban dari Dhafin.

Meski sudah bisa menebak, tetapi masih ada harapan kecil kalau Dhafin akan menolaknya.

Setidaknya, bersimpati pada Naina atau menunggu keduanya bercerai….

“Terserah kalian aja. Kalian atur semuanya.”

Deg!

Jawaban yang dilontarkan Dhafin membuat harapan Naina pupus seketika. Ia memegang dadanya yang berdenyut sakit. Hatinya terasa dicabik-cabik.

Keputusannya untuk bercerai ternyata sudah benar.

Ia tidak akan mampu bersaing dengan Freya. Sudah pasti Freya-lah pemenangnya.

Naina menarik napas dalam-dalam guna menetralkan perasaannya sebelum melangkah memasuki kamarnya.

Ia memantapkan hati untuk melakukan perpisahan meski sebelumnya tak pernah ia sangka harus mengalami perceraian.

Rumah tangga yang dibina selama empat tahun ini harus berakhir dengan perpisahan. Kehadirannya ternyata tak mampu meluluhkan hati Dhafin.

Sementara itu, di ruang tamu, mereka masih bersenda gurau, tanpa sadar telah menyakiti hati seseorang.

“Dhafin, mama yakin kamu akan bahagia sama Freya nanti! Lihat kelakuan istrimu, Dhafin. Dibiarkan malah semakin ngelunjak. Lebih baik kamu cepat-cepat menceraikannya dan nikah sama Freya.”

Dhafin tidak menyahut.

Diam-diam, dia memikirkan Naina yang terasa semakin menjauh.

Ia juga dengar laporan perubahan sikap Naina yang mulai melawan.

Padahal biasanya patuh, bahkan rela ketika dijadikan layaknya pembantu di rumah ini.

Belum bisa dipastikan pula apakah benar Naina yang meracuni Altair atau bukan. Rasanya tidak mungkin Naina melakukan hal itu.

Naina sangat menyayangi putranya. Tak terlihat adanya baby blues, depresi, atau segala macam yang berkaitan dengan hal tersebut.

Atau…. Mungkinkah dirinya yang tidak tahu?

Dhafin menghela napas kasar lalu akhirnya memilih pamit ke kamar.

Hanya saja, begitu masuk, pria itu menemukan Naina sudah menatapnya dalam.

“Mas, aku ingin kita pisah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (4)
goodnovel comment avatar
Louisa Janis
keputusan bagus berpisah lebih baik tetap WARAS Naina pasti perempuan itu bakal tidak pernah hamil karena JAHAT mungkin dia yang meracuni anakmu
goodnovel comment avatar
Nunyelis
teganya altair diracun.....
goodnovel comment avatar
Sartini Cilacap
Bagus naina mending bercerai
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   346. Batas Kesabaran Dhafin

    Bu Anita langsung merubah raut wajahnya menjadi datar. Ia memejamkan mata sejenak, lalu menghela napas. “Kami melakukan semua ini demi kebaikanmu, Dhafin.”Dhafin tertawa sarkas. Ia menatap ibunya dengan sorot dingin bercampur sendu. “Kebaikan? Kebaikan apa yang Mama maksud? Bagian mana yang menjadi kebaikan untukku, Ma?”Bu Anita maju satu langkah. Tangannya terulur, mengusap lembut pipi sang anak. “Dhafin, Mama mengerti banget perasaanmu yang sangat mencintai Lora. Mama ingin menyatukan kalian berdua.”Dhafin menurunkan tangan ibunya, lalu menggeleng pelan. “Aku memang mencintai Lora, tapi nggak gini caranya, Ma. Harus berapa kali aku bilang, aku udah merelakan Lora bersama yang lain.”“Aku ikhlas demi kebahagiaan Lora sendiri dan anak-anak. Karena aku tau bahagianya Lora bukan bersamaku lagi,” ucapnya masih mempertahankan intonasi agar tidak meninggi, tetapi jelas ada nada geregetan di sana.“Jangan bohong, Dhafin!” Bu Anita berseru dengan suara lantang. Ia menatap tepat di kedua b

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   345. Hanya Topeng Semata

    Pukul delapan malam, Dhafin memarkirkan mobilnya dengan sempurna di garasi rumah. Ia tidak langsung turun melainkan menumpukan kepalanya pada stir mobil dengan tangan yang masih bertengger di sana.Matanya terpejam lelah dengan dada naik-turun, mengatur pernapasan yang memburu. Tiba-tiba sekelebat perkataan Pak Ridwan saat di telepon tadi kembali terngiang.“Saya tidak tahu permainan apa yang sedang mereka jalankan, Mas. Tapi saya tahu satu hal, kontrak ini bukan ditulis untuk menyelamatkan perusahaan. Ini disusun untuk mengambilnya secara sah.”Dhafin mendesah kasar, lalu menarik tubuhnya menjadi duduk tegak. Kedua tangannya mencengkeram kuat-kuat stir hingga tampak bergetar dengan memperlihatkan ototnya.Meski sudah lewat beberapa jam lalu, tetapi kalimat itu terus-menerus bergema di benaknya melebihi vonis hukuman mati. Kerja sama yang ia pikir akan sangat menguntungkan ternyata menjadi awal kehancurannya. Rasanya sangat sulit untuk percaya. Namun, setelah ditelusuri lebih dalam,

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   344. Kejanggalan yang Terlambat Terbaca

    “Apa-apaan ini? Kenapa jadi begini?”Dhafin menatap layar laptop di depannya yang menampilkan kembali lembar-lembar MoU yang sebenarnya sudah ditandatangani beberapa minggu lalu. Meski sudah membacanya berkali-kali, tetapi ia merasa harus membacanya lagi. Baris demi baris, pasal demi pasal, seperti sedang mencari serpihan yang sempat luput dari matanya. Dan sekarang mulai terasa ada sebuah kejanggalan.Ponselnya yang tergeletak di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari salah satu manajer logistik.[Pak Dhafin, vendor pengiriman luar negeri sudah ganti. Koordinasi awal dari pihak The Bright Group langsung ke tim.]Dhafin mengerutkan keningnya dengan alis yang nyaris menyatu. Ia tidak pernah menyetujui perubahan vendor. Bahkan, dalam rapat terakhir, keputusan itu ditunda karena audit kelayakan masih berjalan.Tangannya langsung bergerak cepat. Dhafin menelusuri ulang folder-folder laporan internal, lalu membuka sistem manajemen proyek. Memang benar, terdapat serangkaian keputusan y

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   343. Kesempatan yang Disia-siakan

    Pak Raynald memutus kontak mata itu, lalu mengalihkan atensinya pada layar laptop. Ia membuka folder yang berisi berisi progres kerja sama dari sisi yang tak pernah akan masuk dalam laporan resmi.“Legal dan finansial hampir selesai. Amandemen sudah ditandatangani, dan penyertaan modal tahap kedua pun sudah masuk,” katanya pelan namun terdengar tajam.Grissham mengangguk dan ikut menatap ke arah layar. “Berapa posisi kita sekarang?”“Sekitar tiga puluh persen,” jawab Pak Raynald cepat. “Cukup untuk suara dominan di RUPS luar biasa. Meski belum mayoritas, tapi cukup untuk membuat suara keluarga Wirabuana tak lagi mutlak.”Ia menyeringai kecil lantas menambahkan, “legalitas sudah aman. Sekarang tinggal kita buktikan bahwa mereka bahkan tak benar-benar mengenal perusahaan mereka sendiri.”Grissham kembali bersandar dengan tatapan mata yang menelisik. “Dan dari dalam? Apa kita sudah menempatkan orang di posisi yang strategis?”Pak Raynald tersenyum lebar. “Sudah. Dan itu cukup untuk mulai

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   342. Di Balik Kerja Sama

    Mentari tergelincir ke ufuk barat. Cahayanya yang kekuningan menyebar hangat sebagai tanda bahwa jam kerja hari ini telah usai. Para karyawan satu-persatu mulai meninggalkan meja kerjanya untuk pulang. Ada pula karyawan yang memilih menetap dikarenakan banyak pekerjaan yang mengharuskannya lembur.Seperti itulah suasana di kantor pusat The Bright Group yang ada di Indonesia. Sama seperti perusahaan pada umumnya yang membatasi jam kerja hanya sampai pukul empat sore. Bedanya, semua karyawan di sini benar-benar terpilih dan berkualitas.Grissham duduk satu sofa luar yang ada di lantai paling atas gedung kantor ini. Sebelah kakinya ditekuk dan bertumpu pada kaki satunya, dengan tangan mengutak-atik tab. Sembari menunggu kedatangan sang pemilik perusahaan, ia tidak ingin membuang waktu dan memilih mengerjakan sesuatu. Tatapannya begitu fokus menekuri isi dalam tab tanpa terdistraksi oleh suasana sekitarnya.Lagi pula, suasana di lantai ini sangat lenggang, berbeda jauh dengan suasana d

  • Mari Berpisah, Aku Menyerah   341. Di Antara Harapan dan Bahaya

    Dhafin kembali mengurungkan niatnya dan memilih untuk duduk sejenak di sofa single. Sepertinya akan ada pembicaraan yang lebih serius. “Tentang apa, Pa?”Pak Daniel menegakkan tubuhnya yang semula bersandar. Ia menatap Dhafin dengan wajah yang tampak serius. “Tentang kerja sama dengan The Bright Group. Bagaimana progresnya sejauh ini? Lancar?”Dhafin meletakkan tangannya di lengan sofa dan tersenyum singkat. “Progresnya cukup signifikan, Pa. Sampai saat ini semuanya berjalan sesuai dengan rencana. Tim mereka responsif dan sangat profesional.”“Proyek ekspansi sedang masuk tahap finalisasi desain operasional. Suntikan dana tahap kedua sudah cair minggu lalu, dan beberapa proposal infrastruktur sedang kita tinjau ulang bareng tim mereka.”“Aku juga cukup optimis karena komunikasi antar tim sejauh ini kondusif. Kita bahkan sedang diskusi kemungkinan perluasan ke pasar Asia Timur.”Ia menatap ayahnya dengan serius namun tenang. “Kalau nggak ada halangan, kita bisa mulai running penuh bul

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status