Pak Raynald tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya, lalu menggeleng pelan. “Ayah tidak tahu.”“Jangan bohong, Ayah.” Lora menyahut cepat. Sangat sulit dipercaya dua orang yang bersahabat lama tidak mengetahui seluk-beluk sahabatnya sendiri. Itu terdengar mustahil baginya.“Ayah tidak bohong, Lora.” Pak Raynald memperbaiki posisi duduk menjadi lebih tegak meski tubuhnya masih bersandar.“Ayah dan Om Albern memang sudah bersahabat selama bertahun-tahun. Tapi bukan berarti Ayah tahu segalanya tentang Om Albern, termasuk masalah keluarganya.”“Om Albern juga tidak pernah cerita secara rinci. Ayah hanya tahu permukaannya saja, tidak sampai ke akar-akarnya.”“Ada batasan-batasan tertentu yang tidak boleh dilanggar. Itu privasi mereka dan Ayah tidak ingin ikut campur.”“Jika untuk membantu, ya, Ayah juga pernah membantu tapi semampu Ayah dan sesuai yang mereka butuhkan.”“Lalu untuk masalah perempuan itu, Ayah benar-benar tidak tahu. Om Albern tidak pernah cerita, bahkan Ayah baru
Tok tok tok“Lora, ini Ayah. Apa Ayah boleh masuk?”Lora yang baru saja mengusapkan kedua tangan ke wajah usai berdoa menoleh ke arah pintu kamar. Mukena berwarna cokelat susu bermotif bunga masih melekat rapi di tubuhnya. “Masuk aja, Ayah. Pintunya nggak dikunci.”Tak lama kemudian, daun pintu terbuka perlahan dari luar dan muncullah Pak Raynald. Ia mengenakan baju koko berlengan pendek dipadukan dengan sarung batik.Langkahnya tenang saat memasuki kamar, lalu matanya langsung menangkap sosok putrinya yang tengah melipat mukena. Kemungkinan baru saja selesai sholat Maghrib.Lora beranjak dari tempat duduknya, menyampirkan mukena yang telah terlipat ke hanger, kemudian menggantungkannya di belakang pintu.Setelah itu, ia berjalan menghampiri sang ayah yang telah duduk di sofa dan ikut duduk di sampingnya.“Ada apa Ayah ke sini?” tanyanya pelan.Pak Raynald menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat ke arah Lora. “Ayah ingin memeriksa keadaanmu sekaligus ingin ngobrol banyak. Apa t
Dhafin tertawa kecil. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa getir yang menyimpan banyak luka. Pandangannya kosong, terarah pada gelas di depannya. Jari-jarinya bergerak memutar sedotan dalam minuman, seperti mencari pelarian dari kekalutan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. “Bahkan sejak bercerai dari Lora, saya sudah hancur, Grissham,”ucapnya lirih, “hidup saya berantakan. Tidak ada arah, tidak ada tujuan.” Matanya sedikit berkaca, tapi ia cepat mengedipkannya. Ia tidak ingin terlihat rapuh. “Sekarang yang tersisa hanyalah anak-anak. Si kembar… mereka satu-satunya hal paling berharga yang saya punya.” Ia menghela napas, panjang dan berat. “Yang penting bagi saya, saya masih diperbolehkan bertemu mereka, masih bisa memeluk mereka, menjadi seorang ayah yang baik. Itu sudah lebih dari cukup.” Grissham menyandarkan tubuh di sandaran kursi, melipat tangan di depan dada. Satu kakinya disilangkan di atas yang lain, sikapnya tenang tapi tak sepenuhnya dingin. Tatapannya menyorot pe
Ngotea AjaTempat yang dipilih oleh Grissham untuk memenuhi janji bertemu dengan seseorang. Kafe teh yang berlokasi di pusat kota ini sedang naik daun dan menjadi primadona di berbagai kalangan.Nuansanya kekinian dengan interior bergaya hangat dan nyaman, sangat cocok untuk tempat berkumpul bersama teman, keluarga, maupun untuk sekadar me time. Meski terbilang baru berdiri, kafe ini telah berhasil menarik banyak pengunjung berkat strategi pemasaran yang jitu dan atmosfer yang menyenangkan.Setiap hari, kafe ini selalu ramai. Pengunjung datang silih berganti, apalagi saat sore seperti ini.Bukan hanya anak muda, para pekerja kantoran pun kerap menyempatkan diri mampir untuk melepas penat selepas bekerja seharian penuh.Grissham termasuk salah satu pelanggan di kafe ini. Ia sudah beberapa kali datang kemari, terutama saat ingin menyendiri atau mengerjakan proyek-proyek yang bersifat rahasia. Contohnya seperti sekarang.Laki-laki itu duduk sendirian di salah satu meja dekat jendela kac
Grissham tidak langsung menjawab, membiarkan keheningan menyelimuti ruangan. Ia terdiam, menyusun kata-kata yang tepat sebagai jawaban. “Karena aku belum menemukan waktu yang tepat, Ayah. Aku berencana mempertemukan Lora dan Annelies, lalu menceritakan semuanya.”“Ayah tahu sendiri akhir-akhir ini kami sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing sehingga belum sempat,” ucapnya menjawab pertanyaan sang ayah.Pak Albern mengangguk perlahan, tetapi sorot matanya penuh penilaian. “Kali ini Ayah tidak setuju dengan tindakanmu itu.”“Seharusnya sejak awal kau sudah menjelaskannya. Ketika kau memutuskan untuk meminang Lora, di situlah seharusnya kau membuka semuanya tentang Annelies.”“Bukannya menunda-nunda yang justru memberi celah bagi musuh untuk menghancurkanmu,” balasnya.Grissham menghela napas panjang, lalu mendongak menatap langit-langit kamar. “Aku juga tidak menyangka kalau akan berakhir seperti ini.”“Kedatangan Annelies ke sini, awalnya memang aku rencanakan untuk mempertemukan
“Grissham!”Grissham yang tengah merapikan rambutnya di depan cermin meja rias menoleh ketika pintu kamarnya di buka dengan keras.Ia meletakkan sisir, lalu membalikkan badan hanya untuk mendapati sang ayah yang berjalan cepat ke arahnya dengan raut menahan amarah.Plak!Tamparan keras mendarat di pipinya.“Kau ini benar-benar membuat malu!” bentak Pak Albern tajam. Di tangan kirinya tergenggam sebuah iPad yang menyala, menampilkan sebuah tayangan.Grissham memegang pipinya yang terasa panas menyengat. Matanya menatap ayahnya penuh keterkejutan. “Ada apa, Ayah? Kenapa Ayah menamparku?”“Ada apa, katamu? Lihat ini!” Pak Albern menyodorkan iPad itu kasar ke arah Grissham. Rahangnya mengeras. Ia mengepalkan tangannya kuat, menahan diri agar tidak kembali melayangkan tangan pada sang anak yang sepertinya belum tahu apa-apa.Grissham memperbaiki posisi iPad dan mulai menyimak tayangan di dalamnya. Seketika, bola mata abu-abunya membulat.Ia dibuat sangat terkejut menonton video berdurasi